Negarawan yang Menulis

Mohammad Hatta

Setelah kemerdekaan, Hatta lebih bertindak sebagai seorang "administratur", yang mencoba menerapkan pengalaman akademisnya yang luas ke alam nyata. Dia terlibat dalam penyusunan konstitusi dan menyumbangkan beberapa pasal penting, seperti "hak berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya alam", yang dua-duanya mencerminkan kepeduliannya pada kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka.

Memenuhi sumpahnya hanya kawin setelah Indonesia merdeka, dia melamar Rachmi Rahim pada November 1945. Hatta menghadiahi calon istrinya emas kawin yang tidak akan dipikirkan orang lain: buku "Alam Pikiran Yunani" yang ditulisnya sendiri.

Pada awal kemerdekaan itu Hatta juga terlibat dalam pergulatan politik yang diwarnai perpecahan di kalangan pendiri negara. Terpaksa menjadi perdana menteri setelah beberapa kali kabinet jatuh-bangun, Hatta harus menghadapi soal rumit: pemberontakan Madiun, agresi Belanda, diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, dan pembentukan tentara nasional.

Namun, di sela-sela kesibukannya, dia masih menulis artikel ataupun buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari politik, koperasi dan perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Dia setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurnal prestisius international tentang kebijakan luar negeri. Di situlah Hatta menyodorkan konsep politik luar negeri yang "bebas dan aktif", yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.

Ketika wafat pada tahun 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan peribadi, sebagai warisannya yang termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.

"Perubahan nama itu menunjukan meningkatnya keberanian para aktivis untuk menggunakan kata Indonesia sebagai nama organisasi" 

Bilderdikjstraat letaknya tak jauh dari kampus Universitas Leiden. Berawal dari pertemuan-pertemuan kecil di tempat itulah Perhimpunan Indonesia berdiri. Mula-mula bernama Indische Vereeniging, lalu Indonesische Vereeniging sebelum beralih nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Perubahan nama itu menunjukkan meningkatnya keberanian para aktivis untuk menggunakan kata Indonesia sebagai nama organisasi.

 Selain menjalin gerakan, mereka juga menerbitkan banyak publikasi. Satu di antaranya Gedenkboek Indonesische Vereeniging - buku yang terbit pada April 1924, seiring dengan ulang tahun organisasi itu. "Aku masih sempat membuat karangan untuk buku peringatan itu dalam bahasa Melayu. Judulnya, 'Indonesia di Tengah-Tengah Revolusi Adia'," kenang Hatta. Terbitnya buku itu disambut oleh kritik keras pers Belanda. Mereka menuduh de Inlandsche stidenten telah dihinggapi semangat revolusioner yang sudah dikikis.

" Is Hatta Marxist?" 

Tahun 1938. Setumpuk majalah Sin Tit Po yang dipesan Mohammad Hatta tiba di Banda. 

Hatta terkesiap. Sebuah karangan dengan judul provokatif, Is Hatta Marxist, dimuat bersambung di edisi April dan Mei. Penulisnya: Mevrow Vodegel Sumarah. Alamatnya: Besancon, Prancis.

Artikel itu menyerang tulisan Hatta: Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw ("Segi-Segi Utama Ekonomi Dunia"), yang dimuat di Sin Tit Po edisi 6, 7, 8 dan 9. Hatta yakin Mevrow Sumarah adalah nama samaran. Ia curiga sang pengarang berdomisili di Jawa. Ia lalu membalas dengan risalah berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?")

Itulah Hatta sang pemikir. Dalam pembuangan pun ia berpolemik.

Enam puluh empat tahun silam, di Banda, dalam rangka kursus, Hatta menulis risalah tentang teori Marx. Kritiknya terhadap Marx: Marx tak memperhitungkan munculnya banyak faktor irasionalitas dalam masyarakat. Buruh yang dibelanya, dalam kasus Jerman, malah mendukung fasisme dan menindas kelas mereka sendiri. Irasionalitas memang ada di mana-mana.

"Hatta yakin partai-partai nasionalis justru akan menjadi kuat dengan saling bersaing dalam ide dan program" 
  
Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno.

Dalam banyak hal perbedaan dua tokoh yang dikenal sebagai Dwitunggal ini memang sejauh bumi dan langit. Keduanya sering tak sejalur dalam pandangan politik ataupun cara perjuangan.

Perbedaan itu, menurut Mavis Rose dalam bukunya Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, telah tampak pada periode 1920-an. Soekarno dan kelompok studi umum kerap bersebrangan pendapat dengan kelompok eks Perhimpunan Indonesia Belanda, tempat Hatta terhimpun di dalamnya, terutama soal konsep pembentukan partai dan keanggotaannya. Soekarno lebih suka cara-cara penggalangan kekuatan massa, sedangkan Hatta-Sjahrir percaya pendidikan dan kaderisasilah yang harus diutamakan.

Bagimana mereka memandang persatuan, menurut John Ingleson (Jalan ke Pengasingan), juga kontras. Hatta tak dapat menerima pendirian Soekarno bahwa semua pokok pertengkaran partai harus disingkirkan. Hatta yakin partai-partai nasionalis justru akan menjadi kuat dengan saling bersaing dalam ide dan program.

"Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan."

Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bersidang di Pejambon, terlibat dalam debat panas (lihat Risalah Sidang BPUPKI, SetNeg R.I. 1992); Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis - hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan hak berserikat - ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? Soekarno (dan Supomo) dengan gigih menolak, sedangkan Hatta (Muhammad Yamin, dan lain-lain) mendukung.

Menarik sekali melihat argumentasi masing-masing. Soekarno mendasarkan penolakannya pada dua argumen. Pertama, menyatakan bahwa warga negara secara individual memiliki hak-hak dasar tertentu sama dengan membuka pintu bagi individualisme: "Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu" (Risalah 207). Kedua, menurut Soekarno, rakyat memerlukan keadilan sosial, padahal kebebasan-kebebasan itu "tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan".

Mohammad Hatta pun menolak liberalisme. Tetapi ia mengajukan suatu kekhawatiran yang rupa-rupanya di luar bayangan Soekarno. Hatta: "Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan" (Risalah 209). Hatta mengkhawatirkan munculnya negara kekuasaan. Soekarno tidak menanggapi kekhawatiran Hatta ini. Apakah karena ia tidak dapat membayangkan bahwa sesudah kaum kolonialis diusir, para pemimpin Indonesia sendiri bisa menjadi diktator dan penindas?. 

"Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya."
  
Hatta tidak mau mempertentangkan keadilan sosial dengan hak-hak demokratis. Dalam sebuah pidato di Aceh (1970), ia menulis: "Apakah yang dimaksud dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat."

Hatta di sini menyadari sesuatu yang amat penting: Keadilan sosial, dan sebagai akibatnya, kesejahteraan rakyat, justru mengandaikan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.

Menolak pemastian hak rakyat untuk menyuarakan sendiri apa yang dibutuhkan dan diharapkannya akan menghabiskan "negara penyelenggara" ala Orde Baru, ketika rakyat disuruh dengan diam menerima penyelenggaraan kesejahteraannya oleh elite dari atas yang tanpa mengenal malu memanfaatkan ketidakberdayaan rakyat untuk mengalihkan semakin banyak dari hasil kerja sosial ke dalam kantong mereka sendiri.

"Bicara tentang "demokrasi aseli" Indonesia bisa melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat di mana rakyat lagi-lagi tidak berdaulat"
  
Topik "kolektivisme" masyarakat Indonesia, "demokrasi aseli Indonesia" atau "demokrasi desa" sering menjadi acuan para pendiri Republik. Adalah Hatta yang, berhadapan dengan pelbagai kedangkalan yang lazim didengung-dengungkan, merincikan dengan jernih apa yang dimaksud. Ia memakai istilah "demokrasi desa", tetapi (dalam Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat) ia menolak omongan tentang "demokrasi asli Indonesia" sebagai "semboyan kosong tidak berisi."

Distingsi itu penting. Istilah "demokrasi aseli" bisa memberi kesan seakan-akan di wilayah Nusantara sejak dulu ada sistem pemerintahan demokratis. Tetapi struktur kekuasaan tradisional di Nusantara tentu selalu feodal dan otokratis, dan rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja. Hatta sangat anti feodalisme. Ia mempersalahkan "kaum ningrat" atas penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan ia sangat khawatir jangan sampai "kalau Indonesia sampai merdeka! Implikasinya: Bicara tentang "demokrasi aseli" bisa melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat di mana rakyat lagi-lagi tidak berdaulat.

Lain halnya "demokrasi desa". Demokrasi itu merupakan kenyataan dalam lingkungan komunal desa. Demokrasi desa terdiri atas tiga hal: "Musyawarat dan mufakat", "hak rakyat" untuk mengadakan "protes", dan "cita-cita tolong-menolong". Demokrasi desa itu bagi Hatta bukan sebuah model negara demokratis seakan-akan daripadanya bisa dibangun demokrasi yang lain daripada "demokrasi Barat". Melainkan demokrasi desa merupakan medan latihan untuk mengembangkan sikap-sikap d  emokratis. Di situ rakyat sudah bisa mengambil keputusan bersama, berkompromi, berdebat, dan akhirnya mendukung mufakat bersama, untuk mengembangkan sikap-sikap yang memang diperlukan dalam demokrasi modern.

"Apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas, para pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat?"

Apakah kedaulatan rakyat bagi Hatta terwujud dalam "demokrasi Barat"? Ya dan tidak. Ya dalam pengertian politik. Yang menjadi masalah adalah bahwa Barat membatasi kedaulatan rakyat pada dimensi politik. Namun Hatta menegaskan bahwa rakyat tidak akan berdaulat betul-betul kecuali juga berdaulat dalam bidang ekonomi. Di sini terletak keterbatasan paham kedaulatan rakyat di Barat.

Apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas, para pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat? Inilah kritik paling mendasar Hatta terhadap pengertian masyarakat demokratis di Barat. Dan meskipun sampai hari ini, apalagi dengan keambrukan semua sitem sosialisme, pengertian "demokrasi ekonomi" tetap belum dapat dibumikan, siapa yang dapat menyangkal bahwa kritik Hatta tersebut mengenai sebuah masalah dan tantangan terbesar bukan hanya bagi Indonesia, melainkan, memang, bagi segenap masyarakat yang betul-betul mau demokratis?

(Bung Hatta dan Demokrasi, Franz Magnis-Suseno, S.J.)
TEMPO, 18 Agustus 2002

 
 

Tidak ada komentar: