APA GUNANYA KONGRES BU?!



Apa sih bu gunanya kongres untuk anggota yang paling bawah? Pertanyaan aneh dan menggelitik, sekaligus memperihatinkan. Ternyata anggota itu belum mengenal secara utuh organisasinya, pantas saja kalau selama ini selalu menjadi bulan-bulanan kebohongan "oknum". Sayang……….


Dalam organisasi, semua tindakan dan perbuatan dalam upaya pembelaan dan perlindungan anggota harus diputuskan dalam rapat-rapat organisasi, demikian diatur dalam AD/ART organisasi.



Rakor (Rapat Koordinasi Organisasi)

Untuk menyikapi hal-hal yang berkembang dan diperkirakan akan membahayakan anggota, sekurang-kurangnya harus dirapatkan per-tiga bulan sekali, dalam keadaan darurat bisa dilakukan rapat sesering yang dibutuhkan. Semua hal yang diputuskan dalam rapat harus disampaikan kepada seluruh perangkat di atasnya dan atau di bawahnya. Termasuk keputusan untuk melakukan mogok kerja atau aksi unjuk rasa, jika dalam melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap anggota tindakan itu yang dibutuhkan. Rapat ini kalau di PSP dilakukan oleh pengurus dan dihadiri oleh para PA.  Kalau di Kabupaten/Kota dilakukan oleh pengurus DPC dihadiri oleh para pengurus PSP di daerah yang bersangkutan. Di propinsi dilakukan oleh DPD dan dihadiri oleh pengurus DPC se-propinsi yang bersangkutan.


Kenapa harus disampaikan? Karena itulah system komunikasi formalnya organisasi, melalui surat menyurat. Pentingnya agar semua perangkat bisa saling berkoordinasi, dalam upaya memberikan pembelaan sesuai dengan proporsinya.


Proporsi PSP melakukan pembelaan berhadapan langsung dengan pengusaha, proporsi DPC melakukan pembelaan mendampingi PSP berhadapan dengan mengusaha, mengajukan tuntutan untuk intervensi kepada pemerintah melalui dinas tenagakerja setempat. Proporsi DPD melakukan pembelaan melalui koordinasinya dengan dinas tenagakerja propinsi untuk melalukan intervensi melalui kebijakan wilayah propinsi. 

Proporsi DPP melakukan koordinasi dengan kantor menteri tenagakerja RI untuk melakukan intervensi melalui kebijakan pusat agar memerintahkan disnaker propinsi dan kabupaten/kota melakukan tindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha terhadap anggota SPN di perusahaan yang bersangkutan. Dalam kasus PHK massal, biasanya organisasi membuat tim pembelaan terpadu yang melibatkan seluruh perangkat. Selama ini sepanjang prosedurnya berjalan, hal ini dilaksanakan oleh organisasi.


Raker (Rapat Kerja Organisasi)

Dilakukan setiap satu tahun sekali, tujuannya untuk meng-evaluasi kerja pengurus selama satu tahun, baik kegiatan-kegiatannya maupun pengeluaran dana organisasi yang dikelola dari iuran anggota. Dalam Rapat Kerja ini juga, disusun program kerja, dan dibuat juga Rencana Pendapatan dan Belanja Organisasi untuk satu tahun kedepan.


Rapat ini kalau di pabrik namanya Rakerta, dilaksanakan oleh PSP dihadiri oleh para perwakilan anggota dari setiap bagian (line) di dalam pabrik. Kalau di kota/kabupaten namanya Rakercab, yang melaksanakan DPC dihadiri oleh para pengurus PSP, bisa juga perwakilan anggota.  Di tingkat propinsi namanya Rakerda, dilaksanakan oleh DPD dihadiri oleh para pengurus DPC dan perwakilan dari PSP se-wilayah propinsi. Sedangkat di tingkat pusat namanya Rakernas, dilaksanakan oleh DPP dihadiri oleh para pimpinan DPD dan DPC, bisa juga perwakilan anggota dari tingkat PSP.


Kongres

Dilakukan pada akhir periode kepengurusan. Untuk melaksanakannya perlu dibentuk panitia khusus, yaitu panitia kongres. Kalau di tingkat nasional panitianya dibentuk pada acara Rakernas/Majenas terakhir dan disahkan dengan SK pimpinan DPP. 

Agenda Kongres: pertama menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengurus dalam satu periode kepemimpinan, kedua: menyusun program kerja, RAPBO dan Rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pimpinan satu periode mendatang. Ketiga: memilih Ketua Umum/Ketua DPD/Ketua DPC/Ketua PSP SPN yang baru untuk satu periode kedepan.


Kalau di tingkat pabrik namanya Konferta (Konferensi Anggota), Ketua baru dipilih oleh seluruh anggota, Konfertanya dihadiri oleh pengurus PSP dan seluruh Perwakilan Anggota (PA), Ketua dan sekretaris DPC hadir sebagai Narasumber dan melakukan penyumpahan dan pelantikan pada ketua terpilih dan pengurus baru, untuk satu periode mendatang.


Di tingkat Kabupaten/Kota namanya Konfercab (Konferensi Cabang), ketua cabang baru dipilih oleh delegasi yang hadir dari seluruh PSP, yang jumlahnya ditentukan oleh jumlah anggota di pabriknya masing-masing. Ketua dan sekretaris DPD hadir sebagai Narasumber dan pengambil sumpah serta janji ketua dan pengurus DPC baru untuk satu periode mendatang.


Di tingkat Propinsi namanya Konferda (Konferensi Daerah), ketua baru di tingkat propinsi dipilih oleh delegasi dari DPC dan PSP yang berada di wilayah propinsi yang bersangkutan, jumlahnya sesuai dengan jumlah anggota di PSP dan DPC sebagaimana diatur dalam AD/ART. Ketua dan sekretaris DPP hadir sebagai Narasumber dan pengambil sumpah serta janji ketua dan pengurus baru untuk satu periode mendatang.


Di tingkat pusat namanya Kongres, proses pemilihan ketua baru melalui rapat koordinasi anggota di tingkat PSP, diseleksi dalam rapat koordinasi cabang di DPC, ditetapkan dalam rapat koordinasi daerah, selanjutnya disampaikan kepada panitia SC sebagai Bakal Calon Ketua Umum. Panitia SC akan melalukan seleksi administrative (sesuai ketentuan AD/ART) selanjutnya panitia SC akan menetapkan dan mengumumkan kepada halayak, sebagai calon ketua umum yang akan maju dalam pemilihan pada kongres yang akan dilaksanakan.


Pertanyaannya balik ke atas, apakah gunanya kongres untuk anggota di tingkat bawah? Tergantung bagaimana anda mendapatkan informasi tentang kongres ini, tergantung bagaimana anda mau menggunakan forum ini, sebagai sebuah strategi untuk melakukan perjuangan, melakukan perubahan terhadap kondisi kerja anggota di dalam pabrik. Bukankah anda selalu menanyakan apa peranannya perangkat organisasi untuk memperjuangkan nasib anggota?


Mungkin perubahan strategi bisa dilakukan mulai dari memilih pemimpin baru, meletakan perioritas-perioritas persoalan dalam program kerja dan rekomendasi organisasi hasil kongres. Merencanakan pendapatan dan belanja organisasi dengan lebih cermat, sebesar-besarnya berorientasi untuk dana perjuangan organisasi, dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan anggota.


Silahkan suara dan aspirasi anda dititipkan pada delegasi yang anda utus dari tempat kerja anda.


Salam perjuangan!! Dalam satu hati, satu tekad dan satu tujuan! #Kongres




UPAH BURUH UNTUK KEKUATKAN EKONOMI MASYARAKAT

Gunjang ganjing aksi demo buruh di seluruh Indonesia, yang dimulai bulan September hingga kini masih belum usai, karena kabupaten Serang, di wilayah propinsi Banten masih akan melakukannya yanggal 9 Desember, lusa. Demo konstan ini seluruhnya difokuskan pada kenaikan upah minimum tahun 2014.

Tuntutan yang digaungkan UMK 2014 harus naik 50%, untuk wilayah Jabodetabek diserukan 3,7 juta sebagai harga mati. Hal ini merujuk pada kenaikan harga-harga akibat kenaikan BBM, yang tidak tertolakan pada pertengahan tahun 2013.

Aksi terdahsyat tahun 2013, terjadi pada tanggal 3 Desember 2013, dilakukan oleh tiga daerah Kota dan Kabupaten di wilayah Banten (Tangerang Raya dan Serang Raya), diperkirakan ada 100 ribu buruh turun ke jalan, memblokir seluruh ruas jalan tol Jakarta - Merak dan Bandara Soekarno-Hatta. Selain kemacetan sehari penuh, banyak cerita menegangkan dan mengagumkan juga. Ada cerita beberapa demonstran pingsan karena diterjang gas air mata, ada buruh yang dipentung dan dikurung di kantor polisi. Bahkan ada seorang ibu yang akan dibawa ke rumah sakit bersalin, untuk dioperasi karena baby nya sungsang, melahirkan dalam jebakan macet dengan normal, dan baby nya berputar posisi menjadi tidak sungsang lagi, Subhanallah, menakjubkan dan lucu juga hahahaha.

Mengingat-ngingat itu saya jadi senyum-senyum sendiri, ada serangkaian dialog dalam pikiran saya, dalam andai-andai keterbukaan, keadilan dan kebersamaan, rasanya indaaaah...........

Jumlah buruh formal di Indonesia diperkirakan ada sekitar 38 juta orang, selain sebagai "alat vital produksi" yang mampu menggerakan mesin produksi, menghasilkan barang berlimpah, kelompok buruh ini juga merupakan pasar yang sangat besar, dan menjanjikan keuntungan besar juga untuk perdagangan. Tapi kelompok buruh ini hanya bisa mendatangkan keuntungan yang besar, kalau mereka juga punya penghasilan yang besar (baca layak)

Kelompok buruh yang jumlahnya 38 juta orang tersebut, juga akan memberikan kontribusi jauh lebih besar pada pertumbuhan ekenomi Indonesia, jika mereka berpenghasilan tinggi, dibandingkan dengan yang dilakukan oleh kaum konglomerasi, kelompok penguasa (pejabat), golongan kaya di Indonesia. Selain jumlah mereka tidak sebanyak buruh, mereka juga punya "Trend Live Style" luar negeri mainded. Segalanya harus made in luar negeri, pakaian, kosmetik, kesehatan, bahkan hanya sekedar ngopi dan ngobrol saja pake ke Singapur. Dan tidak sedikit yang membeli properti di luar Indonesia.

Buruh Indonesia akan membelanjakan seluruh upah dan penghasilannya di negerinya sendiri, bahkan membawanya pulang ke kampung halaman. Budaya mudik atau pulang kampung, merupakan sirkulasi yang efektif untuk melakuakn pemerataan pembangunan ekonomi masyarakat, melalui buruh. 

Jika saja pemerintah belum terjerat oleh politik "Balas Budi" kalau gak mau dibilang terjerat "Rentenir Global" tentunya pemerintah bisa membangun ekonomi negeri bersama masyarakat buruh. Intervensi dan keberpihakan pemerintah terhadap perbaikan upah buruh, perbaikan kondisi kerja yang lainnya, tentu saja akan memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian bangsa. Bahkan perusahahaan-perusahaan branding bisa menjual 50% barangnya di Indonesia, karena masyaraakat Indonesia akan menjadi konsumennya. Bukan kah kondisi itu akan jauh lebih menguntungkan?

Belum sumbangan dari pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Kita bisa menanam semuanya, mengolah semuanya, sekaligus menjual kepada penduduk negeri sendiri. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta jiwa, itu merupakan pasar dalam negeri yang mampu membangun negerinya sendiri. Amazing!

Negeri kita sudah terjebak dalam "Hutang Jasa pada Rentenir Global" sistem pemerintahan kita dikendalikan oleh para pemilik modal global, sistim perdagangan dan industri, sistim pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan, semuanya harus patuh dan mengikuti kehendak negara para pemodal (baca rentenir). Bahkan bagaimana memperlakukan rakyat sendiri, buruh, petani dan nelayan harus seperti apa yang dimaui para negara rentenir itu. Dengan cara apa diaturnya? tentu saja melalui sistem legislasi (perundang-undangan) negara. Pemerintah dan DPR, akhirnya mereka sama saja, hanya menjadi robot kekuatan asing, dan kita menjadi rakyat yang dijajah asing, melalui kekuasaan pemimpin yang kita pilih sendiri. Kalau gak bisa dibilang "Gaya Bunuh Diri Modern" hehehehe.

Tidak ada kata terlambat untuk kaum buruh, menyadari kondisi ini. Serikat buruh yang sehat, yang paling mungkin untuk dijadikan kendaraan perjuangan untuk melakukan perlawanan. Buruh yang terorganisir dengan baik, memiliki sumber keuangan yang independent, harus dibangun militansinya untuk menggalang perjuangan melawan neolibralisasi, bukan hanya dalam lingkaran tembok pabrik, tetapi di gedung-gedung yang memproduk kebijakan untuk mengatur kehidupan rakyat. Wallahu'alam Bissowab

Andai saja, kita bisa bangkit bersama melakukan perlawanan ..........................

Salam perjuangan untuk kaum buruh!!

Jakarta, 7 Desember 2013 

TAN MALAKA #2

"Sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100% dari Belanda dan Sekutu"

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno mestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. "Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak," tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya seorang muslim" (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

"Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor."

Saat menyamar dan bekerja di Bayah, Banten Selatan, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400 - 500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.

Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. "Kita dapat mempraktekan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang," kata Tan suatu ketika.

Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.

Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.

Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. "Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor," ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.

Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.

"Apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang menjamin kemenangan terakhir?"

Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah, Banten Selatan. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.

Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilahkan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapatkan jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus "Pangreh Praja".

Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu.  Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?

Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.

Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin bicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan. (TEMPO, 17 Agustus 2008)


"Napak tilas pemikiran Tan Malaka, sang pendiri Republik Indonesia, memahami pemikiran-pemikiran dan sikapnya tentang perjuangan kemerdekaan rakyat jelata. Semoga dapat menginspirasi pemikiran dan sikap para penggiat kemerdekaan diri, dalam penjajahan kekinian. Meski pun berbeda bentuk dan cara, tapi hakekatnya sama saja. Penjajahan juga" (Lilis M. Usman)

Jakarta, 29 November 2013


Tulisan selanjutnya: MADILOG Naskah dari Rawajati (Tan Malaka)

TAN MALAKA #1

"Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Ia orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya"

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhamad Yamin menjulukinya "Bapak Republik Indonesia". Soekarno menyebutnya "seorang yang mahir dalam revolusi". Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.

Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.

Orde Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya bersebrangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya seringkali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.

Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Persetruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso - orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai - ketimbang Tan.

"Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia"

Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pangadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir. Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhannya yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri...... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya". (bersambung .............)

TEMPO, 17 Agustus 2008

Berharap catatan ulang ini dapat menginspirasi kaum masa kini, untuk tetap memelihara semangat perjuangan. Karena pada hakekatnya kita tetap dalam keadaan terjajah, yang mengekang.

Jakarta, 28 November 2013

SUTAN SJAHRIR #2

"Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imprealis itu."

Di Serang, Sjahrir meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: "Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imprealis itu." Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, "Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis."

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini - Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Pamflet Perdjoengan Kita tulis dan terbitkan pada 10 November 1945, lima hari sebelum Sjahrir menjadi perdana menteri, bertepatan dengan bentrok fisik para pemuda dengan tentara Inggris di Surabaya. Hari yang ditandai dengan pekik "Merdeka atau Mati" itu kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoengan Kita. Dengan jernih Sjahrir menunjukan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.

Ia mengkritik, pekik merdeka hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Proklamasi 17 Agustus 1945 ia hantam sebagai peluang menyusun kekuasaan tapi tak dipakai oleh para pemimpin karena mereka "terbiasa membungkuk dan berlari untuk Jepang dan Belanda". Sjahrir sendiri absen saat Soekarno-Hatta membacakan pernyataan Indonesia merdeka itu.

Bagian kedua pamflet ini mengurai bagaimana seharusnya Indonesia menyusun kekuatan dan menegakkan Republik. Bagi Sjahrir, kekuatan itu harus dimulai dengan "revolusi kerakyatan", revolusi yang dipimpin golongan demokratis, bukan nasionalistis  yang membudak pada fasis lain. "Politieke collaboratoren harus dipandang juga sebagai fasis, berdosa dan berkhianat pada perjuangan dan revolusi rakyat", tulisnya.

Kalimat inilah yang memicu kemarahan tokoh politik ketika itu. Jenderal Sudirman, pemimpin tentara Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang, menyebut pernyataan Sjahrir kurang bijak.

Meski ditentang kanan-kiri, Sjahrir jalan terus. Ia mengubah sistem presidensial dengan parlementer, sebagaimana keyakinannya dalam pamflet ini bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Partai-partai harus dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan berpengetahuan modern untuk membawa rakyat ke dalam revolusi.

Pada bagian akhir pamflet ini, Sjahrir menjelaskan agak tehnis soal menyusun alat-alat pemerintahan: bagaimana memfungsikan pangreh praja, polisi dan petugas agraria. Ia menyerukan buruh dan tani diperkuat melalui pendidikan politik sebagai kekuatan revolusioner yang demokratis. Pemilihan-pemilihan harus dimulai di desa. Pemuda, sementara itu, harus menyokong buruh dan tani, bukan pemimpin revolusi itu sendiri.

Ia juga menyinggung soal politik luar negeri. Menurut Sjahrir, kemerdekaan sesungguhnya harus dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Maka ia mempraktekan politik diplomasi: berunding dengan Belanda dan Sekutu serta melecut simpati dunia International.

"Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena mempunyai apa yang disebut mereka itu "kecenderungan-kecenderungan Barat" dan beberapa orang malahan mengatakan aku "kebelanda-belandaan" (Banda Neira, 9 Maret 1936)

Di Banda Neira pikiran-pikirannya ntentang Barat makin eksplisit. "Barat" bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat - yaitu dalam pengertian dinamis ini - yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya." 

Selanjutnya lihatlah bagaimana saatnya Sjahrir menerangkan "Timur". Menurut dia, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang sesungguhnya diidealisasi oleh beberapa filosof. Timur yang tenang, yang harmoni, suatu Timur yang tak pernah ada. "Timur seperti dilihat orang-orang Budhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hongkong atau Shanghai, atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo sudah dipercepat. Ketentraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok."

Kita dapat melihat orientasi dasar Sjahrir terhadap Barat itu, amat melandasi sikap-sikap politiknya, misalnya: sikapnya terhadap nasionalisme yang ekstrem. Sjahrir mengkritik perjuangan politik yang di negeri ini cenderung harus mempunyai unsur moral yang kuat. "Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi".

Ia juga mengkritik adanya kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Pada Maret 1938, Sjahrir menulis surat bagimana ia tak ingin terlibat dalam gerakan non-koopresai. Sjahrir melihat gerakan non-kooperasi sudah diangkat menjadi soal kehormatan. Baginya, itu cermin dari mentalitas inferioritas. Pada titik itu, secara tajam ia menganggap nasionalisme yang ekstrem bisa menjadi timbul dari rasa rendah diri ini.

Ia menulis: "Aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar dari propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional."

Semoga dapat menangkap intisari, untuk direnungkan, bisa jadi daur ulang pemikiran-pemikiran sang pejuang negeri, masih diperlukan. Wallahu'alam Bissowab.

Jakarta, 27 November 2013
 
 




 

CATATAN AKHIR TAHUN, AKHIR MASA TUGAS

Tabiat manusia, ketika kita tidak menyadari bahwa setiap saat akhir kehidupan bisa terjadi, kita akan lalai. Tidak disiplin, tidak taat aturan, tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Tidak peduli terhadap orang lain, tidak perduli dengan kebaikan dan kebenaran yang disampaikan orang lain pada kita. 

Suka emosi kalau diingatkan, arogan dan merasa benar sendiri. Ketika diberi musibah, diberi penyakit, apalagi divonis dokter, bahwa penyakitnya sudah stadium akhir, paling bisa bertahan hanya beberapa bulan. Baru mulai sibuk, meminta waktu kepada Tuhan, untuk dapat memperbaiki semuanya. Berjanji untuk bertaubat, memulainya dari awal, melakukan semua kebaikan, rajin menjalankan perintah dan lain-lain. 

Berikan kesempatan yang ke dua ya Allah, kami akan berbuat baik, melaksanakan kebenaran, menjunjung tinggi amanah masyarakat, menjalankan kewajiban, memberikan hak setiap orang. 

Waktu tidak bisa diulang, semuanya sudah terlambat, semuanya akan segera berakhir. 

Tak terasa lima tahun berlalu sudah, kepemimpinannya akan segera berakhir pada 2014. Serasa begitu cepat waktu berlalu, banyak pekerjaan yang belum dikerjakan, banyak persoalan yang belum diselesaikan, banyak janji yang belum dipenuhi, banyak hak yang belum diberikan, karena kewajiban tidak dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. 

Selama ini, kita hanya membuang-buang waktu, membuang-buang energi, bahkan membuang-buang biaya yang tidak sedikit, hanya untuk berdiam diri dan malas-malasan. Tidak ada pekerjaan yang benar-benar dilakukan dengan baik dan serius, kecuali banyak komentar. Mengomentari semua hal yang dilakukan orang lain. Menghujat semua hal yang dilakukan orang lain, yang tidak menyenangkan kita. Terkadang bukan hanya komentar, tetapi juga sumpah serapah dan hujatan.

Apakah semuanya bisa selesai hanya dengan dikomentari? apakah semua persoalan bisa terjawab, ketika kita menghujat dan menyumpahi, berserapah?

Ayo bergerak kawan! Lakukan perubahan! menuju hari esok yang lebih baik dan lebih maju.

Kembali pada diri sendiri, periksa semua peralatan diri. Apakah nurani kita masih jernih? apakah pikiran kita masih bersih? apakah komitment kita masih setia pada kebenaran? apakah kita masih punya intergritas terhadap perjuangan bersama? Ataukah kita sudah berubah menjadi seorang monster? mahluk "kanibal" di tengah-tengah gerakan massa, memangsa jenis kita sendiri?

Mari lakukan instrospeksi diri, jangan memaksakan kehendak diri lagi, dengan memaksa orang lain untuk menguasakan hidupnya pada kita. Sudah terbukti, kesempatan dan amanah yang mereka berikan pada kita, sudah tersia-siakan begitu saja.

Jika kita tidak mampu menjalani tugas kekhalifahan dalam komunitas kita, maka serahkanlah pada mereka. Jangan lagi menorehkan luka dan kekecewaan pada mereka, yang sudah percaya dengan tulus, membayar perubahan nasibnya, yang tak kunjung kita lakukan.

Biar Tuhan bekerja dengan kekuasaan TanganNya, mengatur kehidupan kita selanjutnya.

Renungan siang, dalam helatan ujung perjalanan.

Tangerang, 24 November 2013

Peran Besar Bung Kecil

Sutan Sjahrir

adalah satu dari tujuh "Bapak Revolusi Indonesia". Dia mendesak Soekarno - Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang "Bapak Revolusi" lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia.

Sjahrir telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik. Ia mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam pamfletnya yang terkenal, Perjoeangan Kita, ia menulis, "Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita."

Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil - begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.

"Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan" 

Pada Juli 1942, atas permintaan Soekarno, yang baru kembali dari pembuangan di Sumatera, Sjahrir, Hatta dan Soekarno melakukan rapat di rumah Hatta. Asma Hadi, orang kepercayaan Soekarno, ikut dalam pertemuan itu. Malam itu ketiganya sepakat: Soekarno bersama Hatta akan bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir tetap menyusun perlawanan di bawah tanah.

Sebagai motor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Selain di rumahnya sendiri, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Peserta tetapnya antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr. Soejitno, Ali Budiardjo, dokter Soedarsono, Zainal Abidin, Hamdani, dan dokter Toha.

Jika tidak di Maggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas. Ini rumah Halim, salah satu kerabat Sjahrir. Ikut dalam lingkaran diskusi Sjahrir: mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.

Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Tapi Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir jengkel. Maka, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tokoh komunis itu juga menolak.

"Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan penghisapan oleh manusia"      

Dalam banyak esainya, terutama dalam buku Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982), Sjahrir menyerang pelbagai hal dengan sederet argumentasi yang meyakinkan. Ia menyerang komunisme sebagai ideologi yang menghianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan, seperti Stalin di Rusia, Mao Zedong di Cina, Pol Pot di Vietnam. "Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan penghisapan oleh manusia," tulisnya.

Para penentangnya mengejek Sjahrir dengan sebutan "soska" alias sosialis kanan karena keterpukauannya kepada segala yang berbau Barat: mengkritik kekolotan, tradisi, dan primordialisme. Sejak muda, tokoh kelahiran Padang Panjang pada 5 Maret 1909 itu menyatakan telah berpisah dengan adat Minang.


"Pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar"

Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: "Kaum sosialis kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia". Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.

Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hirarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi seringkali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar. 


"Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan"

Perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu Sjahrir memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya , seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam kenyataannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hirarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.

Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekersan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

"Yang diincar Persatuan Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno".

Dalam banyak hal, Sjahrir berbeda dengan Tan Malaka. Sjahrir melihat pengakuan kedaulatan dari negara lain itu penting, sehingga jalur diplomasi termasuk dengan Belanda perlu dibuka. Bagi Tan Malaka, pengakuan kemerdekaan, "Bukanlah syarat eksistensi Republik Indonesia". Dus, berunding dengan Belanda tidak ada perlunya. 

Namun "permusuhan" keduanya sebenarnya panas karena salah paham. Ketika Tan mendeklarasikan program minimum dan Peraturan Perjuangan pada 15 Januari 1946, banyak kalangan melihat itu sebagai oposisi terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Tapi, menurut Subadio, Perjuangan hanyalah panggung untuk mendongkrak popularitas Tan. Dan yang diincar Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno.

Hubungan Sjahrir dengan Tan tambah buruk ketika sebulan setelah Persatuan Perjuangan berdiri, Tan dan beberapa anak buahnya ditangkap dan dibui. Tak jelas apa alasannya sebab tak ada pengadilan atas mereka. "Saya tidak mengerti siapa yang melakukan itu, mengapa dan atas wewenang apa", kata Tan, dua tahun kemudian.

Surat perintah penangkapan Tan diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Menurut Amir, dia bertindak berdasarkan perintah tertulis Sjahrir. Entah betul atau tidak pengakuan Amir, sebab tak pernah ditunjukkan surat perintah dari Sjahrir. Pengikut setia Tan, Adam Malik, meyakini penangkapan itu ulah Amir.

Semoga menjadi bahan renungan, selain untuk mengenang jasa-jasanya sebagai pahlawan, bisa mempelajari pemikiran-pemikirannya juga, sebagai bahan rujukan. Karena banyak hal yang masih relevan dengan kekinian.

Selamat Hari Pahlawan!

Tangerang, 10 November 2013

(Sutan Sjahrir: Titian Sosialisme ke Demokrasi, Ignes Kleden. TEMPO, 15 Maret 2009)      
 

UNTUK KAWAN KU, YANG SEDANG KECEWA BERTON -TON

Clink ! clink! clink! begitu terus, bunyi smartphon "BB-Ku" sementara hari masih pagi, saatnya aku jalan-jalan pagi, sambil santap "Lontong Cap Gomeh" di Warung Gudeg Kota Seni Citra Raya.

Kulihat, ada beberapa tanda pesan masuk, kubuka satu persatu, oooh my God! semuanya pengaduan kawan-kawan, tentang kekecewaan minggu ini, karena merasa dibohongi, oleh orang-orang yang menurut mereka, harusnya jadi teladan. Bahkan ada yang bilang "Saya Kecewa Ber-ton2" artinya kecewa banget kali ya, hehehehe.

Aku merenung, bertanya dalam hati, apa sebenarnya yang telah terjadi pada kawan-kawanku? sambil sibuk menyuap lontong, aku tulis status di facebook ku "Hanya bisa prihatin, ketika ada yang merasa dibohongi. Gunakan akal, pikiran dan hati sendiri saja dalam menyikapi setiap persoalan, agar tidak menjadi target kebohongan orang lain. Belajarlah dari pengalaman pahit dan manis, yang pernah kita lewati"

Menurut pikiranku (sebagai orang Thinking), kalau setiap orang bisa independen, menggunakan kecerdasannya sendiri, menggunakan cara kecerdasannya bekerja, seharusnya tidak jadi korban penipuan (kebohongan), dalam menghadapi persoalan hidup ini. Menyandarkan harapan dari setiap penyelesaian persoalan, secara berlebihan kepada orang lain, bukan cara yang aman dari penderitaan kekecewaan. Ketergantungan yang paling aman hanya pada Allah S.W.T. Berusaha dengan menggunakan kecerdasan yang Allah berikan, memohon agar Allah meng-intervensi seluruh usaha kita, seperti hasil yang kita inginkan. Bertawakal bukan berarti pasrah, tetapi berkeyakinan dalam berusaha, bahwa Allah akan menolong kita, dalam setiap usaha yang kita lakukan.

Berpikir seperti ini, aku jadi ingat ajaran kakek Jamil Azzaini, dalam buku berjudul "ON" beliau banyak memberikan strategi menyelesaikan masalah hidup, atau strategi mewujudkan impian. Bagaimana kita bisa "MoveOn" (berubah menjadi lebih baik) dalam kehidupan kita, tanpa harus merugikan orang lain, tidak perlu saling membodohi atau saling membohongi satu sama lain.

"Move On" bergerak, untuk berubah menjadi lebih baik, penting untuk dilakukan. Karena kalau kita tidak mau melakukannya, orang lain dan kehidupan akan terus berubah, meninggalkan kita. Kalau tidak percaya silahkan bercermin, fisik kita juga terus berubah. Dulu, waktu masih muda, wajah kita cerah ceria, tanpa kerutan sedikit pun, lihat sekarang sudah berapa kerutan dalam wajah kita? sudah berapa lembar warna putih menghiasi rambut kita? Dulu perut kita langsing, rata, atletis indah. Sekarang sudah berlemak, menggelembung seperti ibu hamil tua, hehehehe.

Lalu apa yang harus dilakukan, agar kita bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang tidak mungkin dielakan, dalam kehidupan ini?

Sebuah situs pengembangan diri livestrong.com, menuliskan hal yang perlu kita persiapkan agar mampu mengatasi perubahan-perubahan yang selalu hadir dalam kehidupan kita. Pertama, menditeksi diri apakah kita sudah mengalami perubahan yang signifikan menuju ke arah yang sesuai, ataukah malah mengalami penurunan dalam perubahan?

Kedua, set up ulang diri kita mengikuti perubahan dari luar dengan cara perlahan-lahan mengubah kebiasaan dan segala sesuatu yang diperlukan. Mulailah sedikit demi sedikit, dari hal-hal yang terkecil, sampai akhirnya kita bisa mengikuti perubahan yang besar. 

Untu dapat melakukan "diteksi diri" kita memerlukan "empat-ON", apa sajakah itu?

Pertama, visi-ON (keinginan, impian atau cita-cita), di dalam hidup, kita memiliki banyak impian (keinginan), di antara banyak keinginan itu ada yang paling besar yang ingin kita wujudkan, itulah "visi-ON". Temukanlah "visi-ON" kita, maka dia akan menjadi energi, motivasi dan kompas dalam hidup kita. Mengarahkan, kemana arah yang hendak dituju, apa saja yang harus kita lakukan, berapa waktu yang dibutuhkan, kemampuan dan matrial apa saja yang kita perlukan?

Kedua, acti-ON (tindakan atau kegiatan) yang harus dilakukan untuk meraih "visi-ON" kita. Dengan waktu yang terbatas, dan segala keterbatasan lainnya, maka dalam menentukan "acti-ON" diperlukan membuat skala prioritas. Mana yang harus didahulukan, mana yang bisa ditunda. Dan yang paling penting "acti-ON" itu harus sejalan atau sesuai dengan "visi-ON" yang ingin kita raih. Kalau "visi-ON" nya ingin jadi jago bulutangkis nasional, maka "actio-ON" nya tidak akan cocok kalau latihan tinju atau sepak bola yang dilakukan. Jaka sembung naik kerbau, tidak nyambung brow!! hehehehe.

Ketiga, passi-ON (sesuatu kegiatan yang membuat kita enjoy dan asik melakukannya), karena itu kita rela mengorbankan waktu, tenaga dan uang untuk melatihnya, untuk menjadi keahlian, hoby dan sekaligus pekerjaan kita. Setiap orang dilahirkan dengan satu passion, sebagai anugerah dari Allah, maka temukan passion kita mulai sekarang. Karena pekerjaan yang cocok untuk mengejar impian atau cita-cita itu, adalah yang sesuai dengan passion kita. 

Keempat, collaborati-ON (bekerja sama untuk saling melengkapi) dengan berbagai komponen yang ada. Collaboration terbaik diawali dari rumah, bersama pasangan hidup, dan keluarga kita. Setelah itu tetapkan siapa yang akan dijadikan partner sukses kita. Bergurulah kepada orang yang bisa membantu tercapainya vision kita. Berguru juga kepada orang yang ahli untuk mengasah passion kita. Bergabung dengan komunitas-komunitas yang seirama dengan vision, action dan passion kita. Tanpa kolaborasi, energi kita akan cepat redup. Karena sumber energi dan semangat itu datang dari diri sendiri dan juga dari lingkungan pergaulan. 

Nah sahabat-sahabatku, semuanya ada pada diri kita sendiri. Mulai sekarang putuskan apa yang terbaik untuk kehidupan kita. Letakan impian kita, sebagai pedoman dan motivasi yang bisa mengarahkan kita, untuk memilih kegiatan yang sesuai dengan bakat dan minat kita. Untuk menyiapkan waktu, tenaga dan materil yang terukur. Untuk terus menerus belajar dan berlatih. Untuk memperjelas siapa partner yang bisa kita ajak seiring dan sejalan.

Hidup kita seharusnya tidak digunakan untuk mengejar impian orang lain, tetapi gunakanlah untuk mengejar impian kita sendiri. Sebagai orang yang percaya kepada Allah, berkolaborasilah dengan kekuasaanNya. Impian kebahagiaan bukan hanya untuk kehidupan dunia, tetapi untuk kehidupan akhirat juga. 

Berhentilah dari rasa kecewa, manusia itu hanya memanen apa yang ditanamnya. Dari seluruh peristiwa, penghianatan, kekecewaan, dan kegagalan yang kita alami, mari lakukan introspeksi diri. Kekecewaan yang kita rasakan, tidak semuanya merupakan tindakan dzolim orang lain, bisa juga merupakan buah perbuatan yang kita tanam sebelumnya.

Saatnya "move-ON", untuk berubah, bertumbuh dan berkembang, menuju kehidupan yang lebih baik. Gunakan pikiran, dan hati kita dengan tawakal dan penuh syukur kepada Allah, Tuhan yang telah memberikan keduanya kepada kita. 

Wallahu'alam Bissowab, semoga menjadi catatan yang berguna bagi kita semua.

Tangerang, 03 November 2013


Disarikan dari buku "ON" tulisan pak "Jamil Azzaini"