DI ANTARA TIGA LELAKI


Kini dia berjalan dalam kesendiriannya lagi, setelah satu demi satu dari tiga lelaki itu pergi, menuju jalannya sendiri-sendiri.

Siksaan dari seluruh cobaan, baginya hanyalah jutaan hikmah-Nya, yang terus dicari dengan kesabaran dan keikhlasan … di ujung semua peristiwa sedih ada kebahagiaan.

Begitu keyakinan hatinya yang tidak pernah bisa ditawar.


***
Hari Minggu yang cerah, hati Nelma bernyanyi bahagia. Saatnya membersihkan kamar, ruang belajar dan bantu-bantu ibunya … memasak dan menyirami tanaman hias di kebun belakang.

“Hari bebas kampus nih, nggak perlu melihat perpustakaan yang garing … isinya buku semua. Nggak perlu melayani gangguan Ira, yang akhir-akhir ini sangat menggila … Si Otak Keriting yang suka nyebelin. Yang nggak enak … tidak bisa ketemu dua lelaki yang suka ngajak debat seru di bangku taman kampus.”

Nelma bergumam, sambil asik mencongkel tanah di pot-pot bunga hias, untuk kemudian digantinya dengan tanah baru yang sudah dicampur dengan pupuk.

Sepuluh pot bunga hias ibunya … tanaman dari beberapa jenis kaktus yang bentuknya kecil-kecil, dan lucu-lucu, tumbuh sehat dalam perawatan tangan Nelma yang dingin dan cekatan. Dan ibunya sangat bangga dengan hasil kerjanya itu.

Selepas mengerjakan semua agenda hari libur minggunya, Nelma baru mandi. Kali ini dia dipaksa mandi kilat oleh ibunya, karena ayah dan ibunya udah menunggu untuk sarapan bersama. Biasanya dia mandi paling cepat menghabiskan waktu 30 menit, baru keluar dari kamar mandi. Kebiasaan Nelma sedari kecil, berlama-lama di kamar mandi.

“Nelma, cepat mandinya ya. Ayah dan Ibu nunggu kamu untuk sarapan. Ibu sudah buatkan nasi goreng dan telur mata sapi setengah mateng, kesukaan kamu.” Begitu ibunya meminta Nelma untuk bergegas mandi.

“Siap Bu!” jawabnya sambil meraih handuk di jemuran lalu bergegas masuk kamar mandi.

“Hmmm … harum dan segar banget gadis Ibu,” ibunya menggoda, ketika Nelma yang sudah rapi menghampiri kedua orangtuanya di meja makan.

“Terima kasih Ibu,” Nelma meresponnya dengan senang.

“Nelma hari ini tidak ada acara ke mana-mana? Atau kamu mau ikut Ayah dan Ibu, untuk ikut arisan keluarga di Depok? Tanya ibunya di sela-sela sarapan mereka.

“Nggak ah Bu, aku di rumah saja, lagian bosan setiap hari ke Depok,” jawab Nelma dengan senyum lebar.

Dia merasa lucu saja kalau hari Minggu pun harus pergi ke Depok. Padahal setiap hari, selama satu minggu bolak-balik ke depok … untuk kuliah.


***
Sepeninggalan ayah dan ibunya, Nelma duduk di ruang belajarnya. Menyalakan computer, lalu menghidupkan jaringan wifinya. Iseng-iseng dia mengaktikan akun facebooknya. Kalau pada hari-hari kuliah dia jarang banget online, karena waktunya padat untuk belajar. Jaringan internet hanya digunakan untuk searching materi kuliah atau tugas kampus.
Selang beberapa menit saja online, teman-temannya sudah menyerbu inbox.

Klung!

“Hai cinta, apa kabarmu sayang?” Bang Attaillah menyapa, sok mesra seperti biasa.

“Kabar baik, Abang tumben ol, biasanya anti jejaring social,” jawab Nelma.

Mengingatkan, Bang Attaillah tentang statement kerasnya soal facebook, dalam sebuah tulisannya di media kampus. Attaillah mengatakan bahwa “Facebook sebagai akar persoalan, maraknya perkosaan dan penculikan terhadap gadis-gadis ABG.”

“Ah … ini karena aku rindu kamu Nel, makanya aku bela-belain menepiskan idiologiku hahaha,” Bang Atta ngeles …”cinta itu aneh ya Nel, bisa mengalahkan akal sehatku … termasuk kemurkaanku kepada facebook bisa lumer, hanya gara-gara merindukan kamu.” Bang Atta melanjutkan gombalannya.

“Huh! Gombalmu mulai deh,” sergah Nelma.

“Aku serius Nelma, nggak pernah merasakan kalau aku jatuh cinta sama kamu?” Bang Atta mengatakannya agak serius.

“Abang bicara cintanya jangan di inbox ya, ntar rasanya menguap di dunia maya. Akhirnya hanya jadi cinta-cintaan doang dah,” Nelma menggoda, agar bisa ngelak, untuk tidak meneruskan pembicaraan cinta Bang Attaillah. Sejujurnya omongan Attaillah membuat dia jengah.

Attaillah salah seorang dari tiga lelaki yang saat ini sedang pedekate kepada Nelma. Lelaki tinggi besar dan berkulit gelap ini berasal dari Aceh. Dia mantan pemain atlit anggar nasional, yang saat ini masih kuliah pada semester akhir, satu fakultas dengan Nelma … fakultas komunikasi.

Perkenalan mereka terjadi ketika OSPEK, waktu Nelma masuk kuliah di kampus ini. Attaillah sebagai panitia yang super tengil, sempat membuat Nelma murka, waktu itu.

Untuk ukuran fisik, tidak ada yang kurang dari Attaillah. Atletis, ganteng dan cerdas. Dia juga merupakan anggota BEM, tokoh mahasiswa yang dikelilingi gadis-gadis kampus. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia sering nguntit Nelma ke perpustakaan atau ketika baca buku di taman kampus.

“Abang, kenapa sih sering banget ngikutin aku? Emang nggak ada kegiatan lain ya?” suatu ketika Nelma menanyakan ini kepada Attaillah.

“Emang ada aturannya, yang melarang aku ngikutin kamu?” Attaillah balik bertanya.

“Dihhh … Abang, ditanya itu jawab, bukan nanya balik … “dasar mahluk aneh.” Tukas Nelma, cemberut.

“Kamu bikin aku penasaran Nelma. Kalau perempuan lain nyari perhatian biar aku deketin, tapi kamu malah cuek. Eh, pake Tanya-tanya lagi ketika aku deketin, bukannya seneng.” Begitu Attaillah menyampaikan alasan irasionalnya, kepada Nelma.

Klung!

“Nelma, kamu masih di situ?” Attaillah tiba-tiba membuyarkan kenangan

“Iya Bang, maaf agak ngantuk,” jawab Nelma sekenanya.

“Oke deh, sampai ketemu besok di taman kampus ya sayang … selamat bobo siang,” klik, nyala inbox mati tanpa menunggu jawaban.

“Hmm … ini yang aku suka dari Attaillah, tidak pernah memaksakan kehendak.”

Nelma mematikan computer, kemudian terlelap dalam tidur siangnya.


***
Pukul 10.00 wib, Nelma sedang asik membaca buku Psikologi Sosial di taman kampus, ketika seorang lelaki mengendap-endap mendekatinya. Seorang pemuda tampan, berkulit bersih, rambutnya keriting agak pirang, hidungnya tidak begitu mancung, tapi menyejukan dipandang mata. Dialah Nuzul Al-Karim, peranakan Jawa Timur – Malayasia … ibunya orang Pandaan, bapaknya orang Penang Malayasia. Dia kuliah di fakultas ilmu social dan politik (FISIPOL), semester VII.

Mereka kenalan pada acara seminar, yang bertajuk ‘Kesadaran Politik Masyarakat Kampus,’ yang di selenggarakan sekolah menjelang Pemilu. Konon Nuzul jatuh kagum kepada Nelma, karena berani, bertanya dan berdebat di forum seminar, yang mayoritas pesertanya laki-laki.

Yang menyenangkan dari Nuzul bagi Nelma, suaranya merdu, pintar nyanyi ‘Yesterday’ atau ‘Hi Jude’ Bettle punya … group band kesayangannya sama. Pengetahuan politik dan sosialnya banyak, menyenangkan kalau diskusi dengan Cak Nuzul … begitu Nelma memanggilnya. Selalu mendapatkan pengetahuan baru tentang poitik dan social yang sedang berkembang dalam masyarakat.

“Hai sayang, selamat pagi,” begitu sapa Nuzul kepada Nelma, dengan suaranya yang lembut dan merdu.

“Hai Cak Nuzul, assalamualaikum, kuliah pagi juga?”

“Waalaikumsallam Nelma, iya kuliah dari pukul 8 tadi pagi. Kok masih di taman, belum mulai kelasnya?”

“Aku kuliah pukul 11 nanti Cak, masih satu jam … ngangin dulu hehehe,” jawab Nelma cengengesan.

“Masih ada kuliah Cak? Kok masih muterin kampus, bukannya pulang,” usil Nelma kumat.

“Aku masih ada rapat BEM nanti pukul 11, biasanya sampe sore baru kelar. Sesekali kamu ikut rapat sama kita Nel.” Ajak Nuzul.

“Lha aku bukan anggota BEM, emang boleh ikutan rapat? Suka ngawur aja Cak!” protes Nelma

“Boleh, sama aku … siapa yang berani melarang? Kan tinggal dikenalin pada yang lain, bahwa kamu pacar aku … hahahaha.” Nuzul menjawab sambil ngakak.

Tidak urung bikin hati Nelma dag dig dug, nggak jelas juntrungannya ....

“Duh, dasar bonek kalau ngomong asal nyablak,” celoteh hati Nelma.

“Rapat apaan sih Cak? Kelihatannya serius banget, masa sih sampe sore begitu?”

“Persiapan aksi tolak kenaikan BBM Nel, makanya ikut yuuk … mewakili rakyat Indonesia, Non!”

“Rakyat sudah diwakili DPR Cak, untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan masyarakat. Ngapain kita masih harus repot, demo segala? Kan anggota dewan sudah kita kasih mandat melalui pemilu … bukannya begitu Cak?” tukas Nelma sok tahu.

“Ah, kamu jangan terlalu lugu Nel, nggak ada DPR yang peduli sama nasib rakyat. Kamu nggak perhatikan, sudah berapa kali saja BBM naik? Tarif dasar listrik (TDL) juga naik. Ujung-ujungnya kenaikan sembako tidak bisa dihindari. Bukankah yang paling disusahkan rakyat mayoritas, Nelma?” jawab Nuzul, dengan mada gusar.

“Iya juga ya Cak. Lalu apa masalahnya pemerintah tidak bisa mengontrol harga sembako? Boleh saja dong BBM naik, kalau acuannya harga minyak dunia, tapi mustinya tidak berbanding lurus dengan harga sembako?” Tanya Nelma dengan nada protes.

“Nelma, kamu ini lagi nanya apa lagi nge-tes aku hei?” selidik Nuzul … “terang saja sembako naik, bahkan tidak mungkin dihindari kenaikannya. Dengan BBM naik ongkos produksi barang naik, karena semua mesin alat produksi pake BBM. Selain ongkos produksi yang naik, distribusi juga biayanya naik, karena transportasi mengalami kenaikan juga. Sementara upah kerja naiknya nggak seimbang, sehingga daya beli masyarakat menjadi lemah. Nah itu yang berasa mahal dan nyekik leher orang miskin. Pahamkah Tuan Putriku, Nelma?” jawan Nuzul yang membuat Nelma menyimak, tidak berkedip.

“Cak Nuzul, thanks ya pencerahannya, aku mau masuk kelas dulu,” Nelma pamit sambil ngeloyor pergi. Tidak menggubris Nuzul yang berteriak-teriak memanggil namanya.

“Duhh Nelma, belum sempat aku menyampaikan sesuatu yang penting kepadamu, udah kabur aja … dasar cewek aneh, bikin aku tambah penasaran aja.” Nuzul ngekrundel, sambil garukin kepala, nggak gatel.


***
Sore Sabtu di Mall Ciputra Citraland, Nelma sedang menggu seseorang di sebuah kedai roti yang bisa dijadikan tempat ngobrol. Waktu menunjukan pukul 16.00 wib, ketika orang yang ditunggu Nelma datang.

Kali ini seorang lelaki yang sangat ganteng kalau pake blangkon. Mas Yatno, lelaki yang halus tutur sapanya, sopan dan santun prilakunya. Dialah lelaki berasal dari Solo, yang banyak mengajari Nelma bagaimana menjalani hidup dengan prihatin dan toleran kepada sesama.

Dia berjuang dengan sangat keras untuk dapat hidup di Jakarta, mulai dari menjadi tukang bakso keliling, ikut ujian paket C, hingga kini bisa bekerja sebagai PNS di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dan sering tugas keliling, ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Hampir dua tahun yang lalu, mereka berkenalan di KRL Bogor – Tanabang, ketika suatu hari Yatno yang dalam perjalanan pulang dari Bogor, harus memberikan tempat duduknya kepada Nelma yang naik dari statsiun UI.

Setelah KRL agak longgar, akhirnya mereka duduk berdampingan. Sebelum Yatno turun di statsiun Tebet, dalam perjalanan itu mereka saling mengenalkan nama, berbagi nomor handpon dan ngobrol-ngobrol ringan. Akhirnya sering bertemu, bahkan beberapakali Yatno berkunjung ke rumah Nelma dan berkenalan dengan kedua orangtuanya.

“Selamat sore Nelma, sudah lama?” Mas Yatno menyapa, begitu sampai di meja tempat Nelma menunggunya.

“Sore Mas, belum terlalu lama kok, baru beberapa menit saja. Apa kabarmu?” Nelma berusaha untuk mengimbangi keramahan tamunya.

“Kabar saya baik, senang bisa melihat kamu lagi Nelma, setelah beberapa bulan saya pergi dari Jakarta. Bagaimana kuliahmu?”

Itu khas Mas Yatno banget, ramah dan telaten. Merasa nyaman berada disampingnya. Lebih sering merasa sebagai adiknya daripada sebagai teman perempuannya. Karena lelaki ini menjaga banget, tangannya tidak pernah usil, begitu juga perkataannya, selalu menunjukan rasa hormatnya kepada Nelma. Bagi Mas Yatno, memberi contoh yang baik itu seperti sebuah keharusan, dalam hidupnya.

“Kuliahku biasa saja Mas, baru selesai ujian semester VI, bulan depan aku sudah akan KKN. Rencananya kami akan KKN di pedalaman daerah Ciamis Jawa Barat. Di desa Panjalu namanya.” Nelma menjelaskan panjang lebar.

“Wah pasti menyenangkan itu Nelma. Berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan dengan segala persoalannya, sungguh suasana yang sangat tenang. Orang desa biasanya ramah-ramah, hidup sederhana, rukun, saling membantu tanpa pamrih. Kamu bisa membantu apa saja yang kamu bisa untuk mereka. Mengajari anak-anak membaca dan menulis, membacakan dongeng atau buku cerita untuk mereka. Selain membantu para orangtua menemukan penyelesaian masalah yang dihadapinya. Sebisa kamu. Selebihnya kamu akan banyak belajar dari mereka.”

Demikian panjang lebar Mas Yatno menjelaskan, Nelma mendengarkannya dengan takzim.

“Iya Mas, terima kasih pencerahannya, aku jadi merasa semakin siap untuk mengikuti KKN,” jawab Nelma dengan senyum manisnya.

Sejenak keadaan menjadi hening, Nelma dan Yatno sama-sama diam, seperti asik dengan pikirannya masing-masing. Hanya denting suara sendok beradu dengan cangkir, yang tengah digunakan untuk mengaduk-aduk teh panas, oleh Nelma.

“Nelma, boleh aku mengatakan sesuatu kepada kamu?” Mas Yatno bertanya sangat hati-hati.

“Boleh dong Mas, soal apa sih? Nampaknya serius banget,” Nelma mencoba menduga

“Kalau kamu anggap pertemuan kita sore ini penting, ya ini memang soal serius tentang hubungan kita.”

Beg! Ada yang terasa nonjok dalam dada Nelma, dia sibuk menduga-duga ke arah mana omongan Yatno kali ini. Apakah dia masih bisa ngeles seperti biasanya? Atau kali ini dia harus berterus terang dan jujur, sebagaimana adanya.


Hubungan mereka sudah masuk tahun ke dua. Beberapa kali Yatno mengajak Nelma bicara serius soal hubungannya, selalu tidak pernah selesai, karena Nelma selalu mengelak. Sejujurnya Nelma sangat menyayangi, mengagumi dan menghormati Yatno. Dia sering berpikir, jika suatu saat dia harus bersuami, maka lelaki yang seperti Yatno-lah yang dia inginkan jadi suaminya.

Hubungan mereka juga sudah dibahas selesai, dalam keluarga Nelma. Ibu dan ayahnya juga menyayangi Yatno, dan mereka menerimanya seperti layaknya anak. Satu hal yang menghalanginya, bahwa mereka berbeda agama. Yatno penganut nasrani yang sangat taat, keluarga Nelma juga penganut Islam yang taat. Mereka saling menghormati keyakinannya masing-masing.

Nelma dan keluarganya tidak mau meminta Yatno memeluk Islam, kalau hanya untuk keperluan pernikahan saja. Memeluk agama itu soal pilhan dan keputusan pribadi, ini soal keyakinan yang tidak bisa dipaksaakan. Dan Nelma, dengan kesadaran penuh dia memilih dan meyakini Islam sebagai agamanya, yang akan dia peluk sampai Allah memanggil untuk menghadap-Nya. Begitu keyakinan Nelma.

“Maksud Mas Yatno?” Nelma ingin penjelasan, untuk meyakinkan dugaannya.

“Nelma tahukan usiaku sudah tidak muda lagi … 36 tahun. Ibu di kampung sudah bulak-balik menanyakan. Soal kapan aku mau nikah? Aku nggak mungkin memberi jawaban, sebelum membicarakan hal ini dengan kamu. Karena perempuan yang aku cintai dan ingin kujadikan istri, adalah kamu. Jadi bagaimana selanjutnya hubungan kita Nel?”

Yatno menunggu jawaban, dengan wajahnya yang tegang, harap-harap cemas.

Nelma diam tafakur, sebelum memberi jawaban. Dia merasa sulit untuk memilih hata-kata yang tepat. Dia tidak ingin menyakiti hati Yatno yang sangat dikasihi dan dihormatinya. Dia tidak ingin kehilangan cinta Yatno, lantaran dia menyakiti hatinya.

“Mas, aku maklum dengan keadaanmu. Kamu juga tahu, betapa aku mengasihi, menyayangi dan menghormatimu. Dan jika aku diminta memilih, siapa yang ingin aku jadikan suami? Ya kamulah orangnya. Mas, aku yakin dan tidak akan pernah ragu dengan pilihanku. Tetapi Mas, kita berbeda … perbedaan itu sangat prinsip bagi aku, juga bagi kamu. Aku tidak mau kamu berpindah keyakinan karena aku, dan kamu juga pernah mengatakan hal yang sama kepadaku. Sampai hari ini kita masih kukuh pada pendirian seperti itu. Dan pernikahan berbeda keyakinan bukan pilihanku Mas, jadi maafkan aku.”

Mendengar jawaban Nelma yang lugas, Yatno tertunduk, matanya berkaca-kaca. Menahan kepedihan yang berkecamuk dalam batinnya. Demikian pun dengan Nelma, dia bukan hanya berkaca-kaca … merembak dan terisak, menahan tangis yang hampir meledak. Mereka saling menggenggam tangan dengan erat, seperti tidak ingin dilepaskan selamanya.

“Mas Yatno, selama aku mengasihimu, selama itu juga kamu menjadi kekasihku. Bagiku kasih sayang itu tidak bisa dibatasi oleh sebuah pernikahan. Selama kau membutuhkan, selama kau menginginkan, aku akan menjadi orang terkasihmu. Jika pernikahan yang kamu butuhkan, maka tidak bisa dilakukan bersamaku. Maafkan aku.”

Nelma sesenggukan dalam pelukan Yatno. Sementara butiran-butiran bening berjatuhan dari kedua kelopak mata Yatno, menderas membasahi rambut Nelma yang dipeluknya erat. Adegan itu cukup lama, berlangsung dalam sambaran tatapan mata sejumlah pengunjung kedai.

Akhirnya menyadarkan Yatno, kemudian melepaskan pelukan Nelma. Menyodorkan saputangannya untuk mengeringkan air mata Nelma yang membasahi kedua pipinya.

“Baiklah Nelma, kalau seperti itu keadaannya. Kita tidak akan mengahiri hubungan kita, meskipun nanti aku harus menikah dengan perempuan lain. Dan suatu saat kamu pun akan menikah dengan laki-laki lain. Cinta kita akan tetap menjadi cinta sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan. Kecuali dalam ikatan rasa saling menghormati dan menyayangi satu sama lain.”

Mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya, lalu berpisah … berjalan pada arah yang dipilihnya masing-masing. Disambut langit merah jingga, pada senja di Jakarta Barat, dalam kepadatan lalu lintas jalan, di depan Mall Ciputra Cirtaland.


***
Dua bulan setelah pertemuan sore itu, dikabarkan bahwa Yatno telah menikahi perempuan pilihan ibunya di Solo.

Nelma hanya bisa berdoa dengan penuh haru, tanpa bisa menghadirinya. Karena Yatno sendiri tidak mengundangnya untuk datang.

Bagi mereka, saling mencintai dan menyayangi, artinya membiarkan satu sama lain dengan pilihan yang membuat keduanya bisa hidup nyaman dan merdeka.



CitraRaya, 24 Agustus 2015




LAYANG-LAYANG PENAKLUK TIRANI


"Kek buatkan layang-layang!"

Pintaku pada kakek, ketika kakek sedang asik meraut potongan-potongan bambu untuk dijadikan layang-layang kakak dan adik lelakiku.

"Huss ...! Ngapain anak perempuan main layang-layang? Nggak boleh, pamali!"

Begitu jawab kakek untuk menolak. Aku diam termangu, tidak mengerti. Dalam hati bertanya-tanya, apa ya pamali itu? Rasanya sering banget kakek mengatakannya. Terutama kalau diminta membuatkan mainan yang sama dengan kakak dan adik lelaki. Waktu diminta membuatkan gagang pancing, juga jawabannya-pamali. Tentang pamali, sangat mengganggu pikiranku setiap hari.

***

Dok! dok! dok!

Kupotong-potong bambu, menggunakan golok, seperti yang dilakukan kakek. Potongan bambu diraut, biar halus, pake pisau tajam. Layang-layang ini harus cepat selesai sebelum kakek datang dari sawah. Kalau kakek melihat pasti dia akan mengatakan 'pamali' lagi padaku. Huh! apaan sih pamali? Tidak masuk akal amat, dilarang main layang-layang karena pamali.

Crek! crek! crek!

Kupotong kertas minyak, warna warni. Dengan getah anak pohon kiray (enau), ujung-ujungnya kurekatkan. Dipasang pada kerangka layang-layang dengan cepat. Lalu kupasang benang pada rangka tulang layang-layang. Kerangkanya ditimbang dengan telunjuk, untuk memastikan bahwa layang-layang bersayap seimbang ... kanan dan kirinya.

"Wah,layang-layang selesai!" Tidak sadar, aku memekik bahagia.

Bug! bug! bug!

Aku berlari di pematang sawah dengan menenteng layang-layang, dan gulungan benang cap kudamas. Dengan berdebar-debar aku bentangkan menuju arah angin.

"Hup ... horeeeee!!" Aku berteriak kecang meluapkan kebahagiaan ... "layang-layangku terbang!"

Hahahahaha. Aku tertawa, terbahak sendiri, seakan ingin memecahkan angkasa raya.

Kakek yang saat itu sedang memotong rumput, setengah melompat memburuku ….

"Hai ... kembalikan layang-layang itu!!" Serunya setengah membentak, bikin aku kaget.

"Tidak mau! ini layang-layangku!!"
Sepontan, aku lari menghindar. Kakek mengejar … aku lari semakin cepat, sambil membawa layang-layang. Berusaha sejauh mungkin terhindar dari jangkauan kekek.

Setelah lelah main layang-layang, aku pulang ... jalan mengendap-endap, lewat belakang rumah. Agar bisa masuk ke dalam lumbung padi. Di sana kusembunyikan layang-layang. Lalu diam-diam aku masuk rumah melalui pintu dapur.

Srettt! awwwww! Aku berteriak keras.

Tiba-tiba kupingku dijewer dari belakang dan rasanya pedes, wah ini pasti tangan ibu. Aku tidak berani menoleh. Dan benar saja, seperti biasa selain menjewer kuping, ibu juga mendamprat habis-habisan, dengan kata-katanya yang lebih pedes daripada jewerannya. Di ujung bale-bale dapur aku melihat kakek dengan senyum jahatnya.

"Hmmm ini dia biang keladinya," gumamku dalam hati.

"Ke sini, serahkan layang-layangnya!" bentak kakek.

"Gak ada!" Jawabku tidak kalah kerasnya.

Jetet! jetet! jetet! Tiga cubitan, pedih mendarat di paha.

"Awww!!" jeritku sambil meronta.

Lalu, kabur berlari ke luar ... terus berlari melewati pematang sawah, dan kebun pisang di ujung kampung. Akhirnya sampai di tepi sungai. Aku segera lompat ke atas batu besar di pinggir sungai, dan tiduran tengkurep, sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal, karena berlari tanpa henti, dari rumah. Sambil berbaring di atas batu, aku bertanya dalam hati ....

"Apa yang salah dengan membuat layang-layang, lalu menerbangkannya? Apa karena 'pamali' maka, aku mengalami jeweran dan cubitan ibu hari ini?"

Saat itu aku tidak merasa sedih sedkitpun. Tapi aku pikir, harus menjelaskannya pada Ibu dan Abah, perihal layang-layang itu. Kapan ya? abah jarang di rumah. Dia selalu bepergian ke luar kota. Konon kata orang, abah itu tokoh pemuda di daerah tempat kami tinggal. Di salah satu kabupaten, bagian dari Propinsi Jawa Barat ... tepatnya di kampung Parakanpolos, Kabupaten Pandeglang.

***

Sore-sore, udara cerah. Abah sudah pulang, sekarang sedang duduk-duduk, di amben depan rumah kami. Menemani aku belajar nulis, pake kapur putih di papan tulis yang berwarna hitam. Selain menulis angka dan huruf-huruf aku juga suka membuat gambar. Gambar layang-layang hahaha, dasar otak layang-layang.

"Gambar apa itu teh?"

Tanya abahku dengan menggunakan panggilan teteh, untuk membahasakan adik-adikku.

"Itu layang-layang Bah, aku membuatnya sendiri.”

"Emang Teteh bisa?" tanya Abah.

"Bisa Bah, waktu itu aku membuatnya, bagus loh dan bisa terbang. Tapi dimarahi kakek dan diomelin serta dicubit ibu," ... "emang anak perempuan tidak boleh main layang-layang Bah?" Tanyaku tiba-tiba.

"Emang Teteh suka main layang-layang?" Abah bukannya menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya.

"Iya aku suka Bah, suka sekali" Abah hanya memandangi saja ketika aku jawab begitu."Kata kakek kalau perempuan main layangan itu pamali. Pamali, apa sih Bah?"

Setelah berpikir sejenak abahku menjelaskan ….

"Menurut abah tidak apa-apa sih Teteh, sesekali main layang-layang, tapi setelah terlebih dahulu membantu pekerjaan Ibu di rumah. Nyuci piring, nyapu, nyuci baju adik-adik, baru main.”

"Hah! … bener boleh Bah?" aku melompat kegirangan.

"Boleh, tapi ingat tidak boleh sering-sering, karena kamu anak perempuan harusnya lebih banyak bantu Ibu di dapur.”

"Iya Bah, tidak apa-apa, yang penting bisa main layang-layang,” aku lompat-lompat kegirangan.

"Aku boleh main layang-layang ya, Bu?" Tanyaku pada Ibu.

"Terus … kalau Ibu jawab tidak boleh, kamu bakal nurut?" Ibuku balik bertanya, hehehe aku nyengir.

"Mubazir ngelarang kamu, nggak ada pengaruhnya.”

Ibu menggerutu sambil mendelik kepada Abah. Sedangkan aku sudah berlari kabur, membawa layang-layang, untuk menantang angin di pematang sawah.

Ooooh indahnya mengenang keberhasilan menaklukan tantangan di dunia kecilku. Untuk pertama kalinya, pada saat usiaku 6 tahun.

Betapa badungnya aku, melawan tirani ‘pamali’ kakek, dengan layang-layang. Dan itu kemenangan yang membekas sangat kuat dalam jiwa, membuat aku selalu ingin membuktikan diri, pada setiap menghadapi tantangan hidup ... hingga saat ini.



CitraRaya, 16 Januari 2015

Mengenang Sekelumit Pengalaman Dunia Kecilku

PERSONALITY #3



Ini cerita tentang hari Senin yang bikin males, kata orang-orang kantoran. Pasalnya setelah dua hari libur, malah jadi males kerja … pengen libur terus. Hahahaha—kelakuan.

Lain dengan yang aku rasakan, ketika jadi orang kerja—Senin justru hari yang sangat mengasikan, karena bisa bincang-bincang asik dengan boss besar, yang biasanya duduk di singgasananya, dengan malas-malasan.

Sakata Sang, begitu aku memanggilnya. Dia berkebangsaan Jepang, usianya kira-kira 45 tahunan. Orangnya saklek mendekati kaku, bahasa parasnya. Walaupun manis, tapi kurang asik untuk menyegarkan mata … dingiinnn.

***
“Ririsu, boleh mingta kohi?”


Tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku. Lidah Jepangnya tidak biasa melafalkan huruf konsonan, jadi bunyi panggilannya Ririsu. Hahaha … lucu. Seperti biasa minta dibuatkan kopi, pagi. Dia suka dengan kopi buatanku, kata dia gulanya pas … tidak terlalu manis.


“Siap, Sang!” Jawabku, sambil menyilangkan telapak tangan di dahi tanda hormat. Biasanya dia akan tertawa lebar, melihat tingkah anehku.

“Sang, malam minggu banyak minum anggurkah?” aku membuka percakapan, sambil meletakan kopi di hadapannya.

“Tidak yaa, cumang empatu botor saja.” Jawabnya sambil cengengesan.

“Empat botol? Wow … banyak itu Sang, anda pasti mabuk berat!” Godaku

“Mabuk, sedikitu, tidak apa-apa.” Dia ngeles.

Sebagai ekspatriat, jauh dari istri dan anak-anak, orang-orang Jepang yang bekerja satu perushaan dengan kami, biasa menghabiskan hari liburnya dengan minum-minum, main golf dan cari kesenangan lainnya.

Lama-lama aku bisa nandain mereka … kalau liburannya diisi dengan mabuk-mabukan, dan senang-senang dengan perempuan penghibur, tampangnya loyo dan males-malesan. Tetapi kalau hari libur main golf atau menyelam, kulitnya nampak coklat tetapi kelihatan segar dan gesit, bekerjanya. Tapi kami lebih suka kalau dia loyo, dan malas-malasan. Bisa kerja santai.

***
“Ririsu, biru minum dame ya, kamisama marahkah?” (“Lilis tidak boleh minum bir ya, Tuhan kamu marah?”) Tiba-tiba Sakata Sang, nanya aku.


Sejurus aku berpikir, sebelum menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin juga dijawab dengan bahasa dan alasan agama, dia tidak mengenal ajaran Islam. Sakata Sang, penganut agama Sinto. Selain itu menurutku tidak pada tempatnya menjawab pake alasan ajaran agama, dalam hal ini.


“Tuhanku tidak marah, Sang. DIA sangat tidak dirugikan apa-apa ketika orang minum bir. Tapi orang bisa saja rugi kalau meminumnya.”

Sampai di situ aku terdiam, memperhatikan air mukanya.

“Maksudu Ririsu apa? Benarkah DIA tidak marah?”

Tampangnya kelihatan penasaran, heran. Mungkin informasi yang selama ini dia terima, kalau orang Islam tidak mau diajak minum, karena dimarahi Tuhan-nya. Aku sendiri memahaminya tidak seperti itu.

“Sang, berapa banyak kandungan alcohol pada minuman yang diminum semalam?” tanyaku tiba-tiba.

“Mungking banyaku, Ririsu.” Dia menjawab tergagap … “watasi tidak ingak ya, semalang diantar Andar ke kamar.” Dia kelihatan bingung, menjawab pertanyaanku.

Andar, nama sopir perusahaan yang ditugaskan khusus mengantar Sakata, kapan saja, dan kemana saja dia perlu diantar.

“Sakata Sang pasti mabuk berat ya? Sampai Andar harus antar ke tempat tidur.” Sakata mengangguk malu-malu.

“Sang, itu alasannya kenapa Tuhan larang minum bir. Karena kalau aku minum, apalagi banyak-banyak—pasti mabuk dan lupa. Tidak tahu harus pergi ke mana, akan melakukan apa? Kita akan kehilangan akal sehat, ketika mabuk. Bisa pukul orang, bisa tabrak orang, bisa bunuh orang, dan bisa juga perkosa ona ya, hahaha.”

Dia nampak manggut-manggut, mendengarkan omonganku.

Karena dia terus diam, aku melanjutkan penjelasan tentang minuman menurut pemikiranku. Agar dia paham sikapku, selama ini.

“Sang, alcohol dalam kadar yang tinggi kalau dimasukan ke dalam tubuh, bisa merusak organ kita. Mungkin jantung, paru-paru, ginjal, hati, empedu dan sarap kita rusak. Ketika itu terjadi, apakah Sang tidak merasa susah?”

Mendengar kalimat terakhirku dia nampak kaget, dan berdiri mendekat.

“Ririsu, itu benar … di Japan orang banyaku meningal, jantung sakitu yaa. Orang Japan suka minum biru banyak-banyak.”

***
Banyak yang dia jelaskan tentang penyakit-penyakit yang timbul, menurutnya akibat mengkonsumsi alcohol terlalu banyak. Tapi ribet di kuping, karena bunyi kalimatnya banyak yang lucu, hahahaha.

“Alhamdulillah ....”

Batinku bersyukur, karena tidak harus menjelaskan susah payah. Membacakan ayat atau apa pun juga, yang belum tentu bisa diterima oleh Sakata.

Ternyata dengan menggunakan logika bodohku, dia bisa paham. Bahwa Tuhan melarang manusia minum bir bukan karena marah, tetapi karena sayang. Agar manusia tidak sakit jantung atau hilang akal, hahahaha. Begitu kira-kira kesimpul Sakata, di akhir obrolan kami.

***
“Ririsu, terima kasih … watasi pikir Islamu bagus ya, kasih pelajaran orang. Watasi senang kamu kasih tahu dengan baik.”


Sambil membungkuk berkali-kali, Sakata—boss besar menyalami dengan jabatan tangan sangat erat.

“Terima kasih Sakata Sang, kalau sudah paham.” Kataku, dengan senang hati.

“Terima kasih ya Allah, telah memberikan kefasihan lidahku saat itu. Jika tidak … bisa membayangkan apa jadinya, kalau harus berdebat dengan orang yang tidak fasih ngomong pake huruf konsonan.” Hahahahaha ….

“Sakata Sang, personality-mu tidak bermasalah, meskipun suka ngombe dengan lebaayy!”



CitraRaya, 22 Pebruari 2016.
Mengenang peristiwa tahun 1997 di sebuah pabrik perajutan, di mana aku pernah bekerja.

PERSONALITY #2

"Hai ... kau ada di rumah? Aku mau datang." Begitu pesan WA kukirim pada seseorang yang sudah lama tidak bertemu.

"Ke siniiii ... aku ada, dan senang menyambutmu, hahahaha." Pesanku dibalas dengan gempita ... "jangan lupa capingku dibawa sekalian ya," pesan bersambung.


"Yap! Aku bawa sekalian capingmu, biar cepat dapat bonus," hihihi ... senangnya.

Dengan semangat bonus hari Minggu, aku telusuri jalan yang menjaraki rumahnya dan rumahku. Meskipun belum pernah datang, tidak menjadi kawatir karena dia janji akan menjemput di antara deretan ruko itu.

***
Sudah satu jam lebih aku menunggu di antara deretan ruko. Di bawah sengatan matahari pukul 12:00. Pesan WA terkirim, tapi tidak dibaca, ditelepon nadanya masuk, tapi tidak diterima.


"Pak, apa tahu rumah Tong Bajul, temanku?" kutanya seseorang di dekat pedagang rujak serut.
"Di blok apa rumahnya, Mbak?"

"Wah ... saya tidak tahu, Pak. Dia tadi meminta saya menunggu di sini, sudah satu jam tapi tidak muncul-muncul." Jawabku, agak kesal.

"Susah Mbak kalau tidak tahu blok-nya, ini perumahan ... orang jarang saling mengenal." Jawab lelaki setengah baya itu.

"Telepon lagi aja, Mbak. Mungkin sekarang sudah ada orangnya." Sarannya.

"Terima kasih, Pak." Aku pergi meninggalkannya.

***
Tong Bajul, teman lamaku. Sudah lama sekali kami tidak saling jumpa. Dia seorang yang baik dan peduli terhadap sesama. Segala rupa kegiatan sosial di masyarakat dia ikuti. Baginya kebahagian adalah, ketika bisa membantu orang lain. Sayang ... dia suka berubah pikiran mendadak, dan ketika dia berubah bisa bikin urusan nggak beres. Seperti hari ini, yang dilakukannya padaku ....


Tik ... tik ... tik, kutelepon ulang Tong Bajul ....

"Hah! Telepon tidak aktif? Mati aku! Setelah menunggu hampir dua jam." Hampir kubanting HP

"Mengapa tidak dibatalkan selagi aku masih di rumah, kalau kau tidak siap bertemu denganku, Tong Bajul?" aku bertanya pada angin.

Sudah sekian puluh tahun tidak berjumpa, ternyata dia belum berubah. Suka membatalkan janji tanpa pemberitahuan, apalagi alasan. Baginya cukup dengan mematikan seluruh jaringan teleponnya, dan tidak peduli apa yang dialami korbannya. Bagi Tong Bajul meminta maaf dan berterima kasih itu bukan hal yang penting. Berubah pikiran kapan saja, seolah jadi hak mutlak baginya, dan orang lain tidak boleh keberatan. Penyakit macam apa yang menghinggapi dia bertahun-tahun, dan sudah seakut ini?

****
"Tong Bajul, kau sosok personality yang bermasalah!" Hahahaha.





CitraRaya, 21 Pebruari 2016

PERSONALITY #1



Menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) "Sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain."


***

"Eeee ... Elu kayanya punya masalah personality ya?" Dani dengan marah menudingku.


"Maksud Elu apa?" tanyaku, tak kalah berang.


"Mengapa selalu gampang ngobral janji sih? Lalu seenaknya Lu ingkar juga, itu masalah personality Elu!" Kemarahan Dani memuncak.


Aku tertunduk diam. Sejujurnya kebohongan yang aku lakukan hanya untuk menyembunyikan ketidakberdayaan saja. Sementara orang lain tahunya, bahwa aku orang mampu. Anak kandung RD. Prawiro--pejabat bea cukai, dan Ny. Siska--Kepala SMAN Favorit di kota pelajar ... Yogjakarta.


****

Dari awal aku sudah terlanjur menyembunyikan identitas diri. Tidak mengatakan yang sebenarnya, bahwa Bapak hanyalah seorang pensiunan Guru SD, sementara Ibu seorang petani, yang sesekali bakulan sayur mayur di pasar desa. Aku hanya terobsesi oleh kehidupan Putri Salju, yang aku baca dalam buku dongeng.


Sedari SMP aku sudah terbiasa mencipatakan cerita yang dimelas-melaskan. Tujuannya agar kawan-kawan terenyuh, lalu jatuh kasihan. Mendapatkan jajanan gratisan itu menyenangkan, terkadang bisa dapat pinjaman uang yang cukup lumayan, untuk nyiblek ... malam mingguan, hahaha. Bahkan hingga SMA kebiasaan yang mengasikan ini selalu kuulang-ulang.


Selepas SMA, aku mengenal dunia lebih luas, lebih bebas, dan lebih berpotensi untuk mengarang cerita. mempengaruhi pikiran dan hati orang, dengan cerita indah, cerita sedih, cerita horor, dan juga cerita romantis ... agak-agak mesum dikit, dunia maya. Ya facebook ... ini abad facebooker.


Sudah tidak terbilang jumlahnya korbanku, korban fisik, korban mental, korban jiwa, bahkan korban harta. Semua bertekuk lulut, hanya dengan membaca cerita karanganku. Mereka marah, menjerit histris, menangis meraung-raung. Bahkan mencaci maki dengan dengki. Tetapi tidak satu pun yang mampu menyentuhku. Aku di sini, dari kegelapan hatiku tersenyum puas, dengan jumawanya seorang ibis ... wahahahahahaha.


****
"Hai! ... ternyata kamu di sini toh? Aku sudah satu jam muter-muter nyari." Tiba-tiba Zulfikar mengagetkan.


"Yaa ... eeh ... maaf, aku lupa pamit kamu tadi." Jawabku asal.


Dengan sisa senyum yang sulit dipahami, aku beranjak menggamit tangan Zulfikar duren beranak dua, pemilik dealer mobil terbesar di kota Samarinda.


Hari ini sebuah mobil Grand Livina keluaran terbaru akan segera ada di tanganku, dengan nama tercantum dalam BPKB "Putri Salju."


Aku adalah sosok Personality yang bermasalah. Hahahahaha.







CitraRaya, 21 Pebruari 2016


MENDUNG HARI INI



Dua pertiga malam yang kesekiankalinya dalam minggu ini, yang terbelah tanpa pasrah. Bara itu terus menyala, siang malam menghunjami dada, tidak terpadamkan kata-kata, atau pun goda yang menjenaka.

Di penghujung malam, aku mengendap mendekati dinding kecil di kotak hitam. Kutsentak mesra bidadari malam, dengan setulus kebencianku akan binalnya. Dia selalu menyambut dengan seringai culas.

“Hai, Lintang ingat pagi ini aku harus menghadap Bang Danmiri, dia meminta aku ketemu pukul 09:00 pagi nanti. Aku mohon kamu kirimi uang dulu kepadanya, biar nanti dia melunak hatinya. Karena seminggu ini dia sudah membuat aku stress dengan BBM warningnya, yang tidak henti setiap hari.”

“Iyee,” hanya itu jawaban Lintang, seperti biasa.

Jawaban yang tampak tak bersalah, membuat dadaku semakin bergolak, karena merasa dilecehkan. Padahal kecemasanku membayangkan amukan Bang Danmiri yang tanpa ampun, telah membuat aku tidak bisa tidur saban malam, selama seminggu.

“Aku tidak butuh iyee-mu di inbox, Lintang! Aku mau kamu kirim saja uang kepada Bang Danmiri, sekarang. Biar ketika besok aku bertemu dengannya, dia akan membukakan pintuku!”

Di sebrang sana bidadari malam terdiam, mungkin dia sedang senyum-senyum riang merayakan kemenangan, atau sedang menghirup aroma kematian tuan renta, dalam jeratan.

Dari Istighfar sampai umpatan aku berondongkan di dinding kecil, layaknya suara petasan cabe, di penghujung malam. Lintang hanya menjawab dengan enteng, tanpa beban tanpa penyesalan apalagi kekhawatiran.

Hingga subuh pun tiba, aku bergegas membasuh mulut, muka dan tangan. Mensucikan diri dari jelaga dosa yang tidak terjaga. Karena setan yang bersinggasana di dada, selalu menyemai bara, menyala.

“Asholatu Khoirumminannauum,” panggilan syahdu mengumandang, bahwa sholat lebih baik daripada tidur. Kuimami subuh kali ini dengan tidak khusuk—separuh pikiranku selalu digoda oleh bayangan Bang Danmiri, yang sadis tak kenal ampun itu, hingga aku lupa baca doa kunut. Masya Allah, urusan dunia sangatlah mengganggu.

****
Dengan senyum yang tersisa, kusambut pagi dengan secangkir teh Tongji. Rasanya sepet tanpa gula, seperti lengket di lidah dan tenggorokan. Selain itu telah tersaji sayur asem,ikan asin, tempe goreng, sambal dan lalap pete. “Wuiiiih enaknya jadi rakyat jelita hehehe.”

“Ma, jadi ketemu Bang Danmiri pagi ini?” tanya anakku, ketika kami sarapan.

“Ya wajib jadi, kalau pun mama tidak ke kantornya, dia yang akan datang ke rumah kita”

“Jam berapa janji ketemu, Ma?” Anakku melanjutkan tanyanya.

“Jam 09:00 nanti … kalau kamu mau kerja, biar kita keluar bersama saja,” ajakku

***
Setibanya di depan kantor Danmiri, aku sudah melihat tampang sepet dari luar, melalui kaca ruang kerjanya. Wajah yang kaku tanpa senyum, membuat hatiku bergidik, aku komat-kamit membaca doa, sebelum mengetuk pintu untuk meminta ijin masuk.

“Selamat pagi, Bang,” salamku setiba di ruangannya

“Pagi,” jawabnya tanpa ekspresi

“Silahkan duduk, Bu,” tanpa keramahan sedikit pun Bang Danmiri mempersilahkan aku duduk.

“Bu, silahkan ini ditandatangani,” Bang Danmiri dengan wajah kakunya, menyodorkan selembar kertas untuk aku tandatangani.

Kubaca dengan teliti kertas yang disodorkannya, sebelum ditandatangan

“Hah, Astagfirullah!” Aku terbelalak memperhatikan tulisannya, pada baris isi ‘masuk daftar antrian ….’

“Bang Danmiri, apakah tidak ada jalan lain selain masuk daftar antrian …?” Tanyaku, dengan wajah memohon.

“Tidak, Bu! Ini sudah kesekiankalinya Ibu terlambat, selama ini saya sudah terlalu memberikan toleransi,” jawabnya dengan ketus.

Deg! Kehormatanku merasa terinjak. Wajahku serasa dibakar, dadaku bergemuruh, bagai suara api membakar hutan. Dengan mulut terkatup, kutandatangani surat pernyataan bersedia menerima sanksi. Bergegas aku meninggalkan Bang Danmiri, yang matanya menukikan rasa jijik, tepat di kornea mataku. Siang yang menistakan harga diriku.

***
Langit Citra Raya mendung, sedari pagi. Tetapi menjadi semakin gelap setelah pertemuanku dengan Bang Danmiri.

Sungguh kejamnya sebuah penghianatan, tanpa bersedia menoleh ke belakang, ketika kepercayaan diberikan dengan penuh welas asih dan keikhlasan. Hatiku robek dibelah rasa, bingar siang menggantung, sunyi.

Mendung hari ini menjadi misteri esok hari, masihkah ada rasa yang perlu dipertahankan? Jika rasa saling percaya dan kesetiaan sudah diabaikan.




CitraRaya, 5 Oktober 2015