DI SELA-SELA KESIBUKAN

Setelah berkutat dengan beberapa kegiatan, meeting program, meeting international, rasa lelah dan cape menyergap, jiwa dan raga. Akhir september 2013, aku memutuskan mengajak beberapa kawan, untuk melakukan perjalanan ke luar kota, meninggalkan bising Jakarta.

Tanggal 27 September 2013, pukul 16.30 sore hari, aku bersama dengan dua orang kawan meninggalkan Jakarta, menuju sebuah kota kecil di Jawa Barat, Majalengka namanya. Perjalanan yang tidak mudah, selain jaraknya jauh, kami memulainya terlalu sore, padahal itu hari Jum'ah, waktunya semua orang keluar dari kota, untuk libur akhir pekan, bisa jadi banyak juga yang menuju ke Majalengka, seperti kami hehehehe.

Setelah mengalami ganti bus empat kali, bahkan sempat mengalami perang mulut, dan terjadi pertumpahan air ludah di Karawang, sewaktu ganti bus menuju ke Cirebon. Akhirnya pada pukul 01.00 dini hari, sampai juga kami di desa Panyingkiran, salah satu desa yang berada di Majalengka. Di sana dua orang kawan kami sudah menunggu, karena mereka sudah berangkat dari sejak pagi. Karena sudah sangat lelah dan ngantuk, setelah bersih-bersih dan sholat, kami langsung memilih tidur, sampai pagi hari.  

Kebun Jambu
Agenda pagi, setelah sarapan nasi kuning khas Panyingkiran, plus sambel oncom yang sedap, kami berjalan melewati pematang sawah, untuk sampai di kebun jambu. Memetik jambu merah yang ranum, langsung menyantapnya di kebun. Subhanallah, nikmat dan segarnya, udara pagi yang sejuk, di sela rimbunnya daun jambu. 

Puas bermain di kebun jambu, kami meneruskan perjalanan ke desa Pajajar, untuk napak tilas, sejarah Raja Pajajaran yang terkenal "Prabu Siliwangi". Tempat itu ada di sebuah hutan lindung, yang terletak di desa Pajajar. Selain pemandangan alamnya yang menyejukan mata, di dalam hutan lindung itu ada air pancuran yang jernih. 

Airnya berasal dari mata air pegunungan. Air pancuran yang sejuk, dan dapat dinikmati tanpa harus dimasak terlebih dahulu, langsung meminumnya dari pancuran, menyehatkan dan menyegarkan. Alhamdulillah, nikmatnya tiada tara, nikmat yang patut disyukuri.
Pancuran Emas Ratu Pajajaran

Kehidupan masyarakat di desa Pajajar nampaknya tentram sekali, sangat jauh beda dengan hiruk pikuk kota Jakarta. Rumah penduduknya besar-besar, mencerminkan bahwa mereka hidup berkecukupan. Senang melihat kehidupan masyarakat, sungguh meneduhkan hati dan pikiran. Rasanya tak pantas untuk berkeluh kesah di desa yang sedamai ini.

Puas menikmati keindahan hutan dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah desa yang bernama "Jatisura". Di desa ini kami akan bertemu dengan orang-orang hebat, pak Kuwu Ginggi dan warganya. Aku kenal pak Kuwu lewat jejaring sosial FB, setelah diperkenalkan oleh seorang sahabat dari luar negeri "Teresa Birks". Seorang Kuwu Desa yang sangat progressif. 

Pak Kuwu tengah mempersiapkan warganya, untuk menyambut kehadiran Bandara International "Husen Sastranegara" yang akan dipindahkan dari Bandung ke desa Jatisura. Dari sejak bulan Mei 2013, beliau menyelenggarakan beberapa kali "Pestifal Desa" untuk melibatkan warganya dalam membuat perencanaan, ingin dibuat seperti apa desa nya 10 tahun ke depan. Pestifal itu sebenarnya workshop yang diberi nama beda, menurut pak Kuwu, biar masyarakat tertarik untuk ikut. Kalau dinamakan workshop, sepertinya terlalu hebat dan berat, dan yang pasti masyarakat awam tidak tertarik untuk mengikutinya, kreatif sekali pak Kuwu hehehehe .

Mata pencaharian warga Jatisura, kebanyakan bekerja di "pabrik genteng". Tapi ada juga yang bekerja menjadi TKI di luar negeri. Warga yang menjadi TKI di luar negeri, dulu mereka menggunakan penghasilannya untuk membangun rumah, gedung permanen dan besar. Akhir-akhir ini tujuannya menjadi bergeser, mereka bekerja untuk menyekolahkan anak-anaknya. Karena menurut mereka pendidikan anak jauh lebih penting, dibandingkan dengan punya rumah besar. Pergeseran cita-cita yang semakin sehat.

Terus terang aku sangat kagum dengan kerja pak Kuwu dan warganya, salut bahkan. Kepikir ingin belajar banyak, dari pak Kuwu. Terutama tentang bagaimana mengubah maindset "Workshop" menjadi "Pestifal" sangat menarik dan inspiratif. 

Ruang Tempat Pembuatan Genteng
Di Jatisura aku sempat berkeliling, melihat-lihat pameran seni, yang ditempatkan di rumah-rumah warga. Ini salah satu strategi pak kuwu, untuk melibatkan warganya dalam membangun dan memajukan desa. Aku juga sempat masuk ke tempat pembuatan genteng, bahkan sempat mengambil beberapa foto yang menarik, numpang eksis sekalian, hehehehe.

Sore hari, menjelang maghrib kami mengikuti diskusi di sebuah ruangan kerja pak Kuwu dan warganya. Diskusi tentang desa Jatisura 10 tahun kedepan, sesuai dengan kumpulan gambar dan cita-cita warganya. Sangat-sangat menarik, semuanya sudah dibuat dalam bentuk gambar "Tata Ruang Desa". Di mana "Tata Ruang Desa" ini yang dijadikan daya tawar pak Kuwu dan warganya, kepada pemerintah daerah, terkait dengan rencana pembangunan "Bandara International". Investasi industri pabrikan, atau rencana pembangunan apapun bisa dilakukan oleh pemerintah daerah di desa Jatisura, dengan syarat harus mengikuti "Tata Ruang Desa" yang sudah direncanakan oleh masyarakat Jatisura. Ini luar biasa!!

Foto Bersama Warga Negara Teladan
Diskusi yang menarik, mengakhiri perjalanan kami sore itu. Sebelum pamitan, kami sempat mengambil foto bersama dengan pak Kuwu dan Masyarakat Jatisura. Aku berpamitan kepada pak Kuwu dan anak-anak muda yang mewakili warga desa, seraya menyampaikan terima kasih, atas pencerahannya sore itu. 

Terima kasih Jatisura, pak Kuwu dan warga desa yang edukatif dan inspiratif. Desa ini perlu dikunjungi oleh anggota DPR RI, sebagai target "Study Banding" untuk membangun negara  ini, hahahaha.

Ba'da maghrib kami kembali ke rumah tumpangan, untuk istirahat satu malam lagi. Untuk selanjutnya besok meneruskan perjalanan pulang, kembali ke Jakarta, menyongsong kesibukan kerja, Jakarta yang hiruk pikuk. Dengan tenaga dan semangat baru, yang kami bawa dari Jatisura, hehehehe.

Pukul 08.00 pagi, kami pamit menuju pulang. Menaiki mobil engkle melewati Bandung. Kata kawan ku yang orang Bandung, mobil jenis ini sopirnya "RW" itu julukan untuk pengendara mobil jenis engkle, yang nyetirnya ugal-ugalan dan ngebut, hehehehe.

Terbukti, sepanjang jalan aku tak henti-henti membaca Istighfar, saking takutnya dibawa ngebut, dan salip menyalip oleh pak "RW" hahahaha. Majalengka - Bandung, hanya ditempuh dalam waktu 2,5 jam, luar biasa, mebuat kami sport jantung dan takut jelita (takut tapi menikmatinya sambil tertawa-tawa) hahahaha.

Selamat tinggal Majalengka, selamat tinggal Panyingkiran, selamat tinggal Jatiwangi dan Jatisura, juga desa Pajajar. Terima kasih untuk segala keramahan dan kebaikannya. Berharap suatu saat aku bisa kembali lagi.

Jakarta, 5 Oktober 2013 

Tidak ada komentar: