BELAJAR DARI PERISTIWA KEMATIAN

Dikagetkan dengan satu berita duka cita pada Sabtu siang dari Tambun Bekasi. Selagi aku asik ngetik, tiba-tiba smartphone BB ku bergetar, guling-guling, tandanya ada panggilan masuk. Assalamu'alaikum, aku menjawab telphon, mah Catur meninggal! blaaarrrr! Innalillahiwainnaillaihi roojiuuuun, spontan aku mengucapkan lafadz musibah. Itu tadi suara Siti, yang sedang menghadiri acara pesta hitanan ponakannya di Bekasi. Sedangkan yang dia sebut-sebut Catur itu ponakannya dari Bandung, yang sama-sama hadir dalam acara pesta hitanan anak pamannya.

Dengan masih terhenyak, aku mengucap Astaghfirullahaladziiim, sebegitu mudahnya Allah membuat pristiwa dahsyat dalam kehidupan manusia, menghentikan dan memulai kehidupan manusia, mengubah tawa ria pesta menjadi duka nestapa kematian, bagi-Nya bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Untuk anak semuda Catur sekali pun. Catur baru ber-usia 27 tahun, dia baru menikah, dan baru saja dikarunia seorang putri cantik, ber-usia 3 bulan. Memang satu tahun terakhir ini dia sering sakit-sakitan, karena dia mengidap penyakit jantung coroner. Penyakit yang juga telah menjadi penyebab kematian ayah dan kakak nya, beberapa tahun yang lalu. Terbayang betapa duka nya mbak Umi, ibunya Catur, baru satu setengah tahun kehilangan anak pertamanya, yang juga meninggal masih belia, dalam usia 30 tahun, baru menikah dan baru dikaruniai putri pertamanya, berusia dua tahunan. Apa yang bisa kita tolak, jika Allah sudah berkehendak?

Peristiwa yang kedua, terjadi pada minggu siang, kira-kira pukul 12.00 wib. Tengah aku duduk-duduk dekat kipas angin, untuk mengeringkan keringat di badan, setelah nyapu-nyapu dan ngisi air untuk mandi. Tiba-tiba Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, speaker mesjid memberi maklumat, Innalillahiwainnaillaihi roojiun, telah meninggal dunia ibu Marso, yang beralamat di blok F7 No. 9D RT 03/06, hah?! itu kan tetanggaku, yang semalam baru di bawa pulang dari rumah sakit, setelah dirawat beberapa hari selepas lebaran, karena penyakit fourtifikasi, liver, jantung, ginjal dan asmanya kambuh. Astagfirullahaladziim, dua hari aku menjalani hidup dalam minggu ini, dua kali kaget dengan peristiwa yang sama.

Buru-buru aku mandi dan menunaikan sholat dzuhur, selanjutnya ta'ziah ke rumah tetanggaku. Di depan rumah ku sudah banyak orang, berbondong menuju rumah duka. Aku mengikuti alur orang berjalan, mengikuti ke rumah duka. Di sana sudah rame orang berta'ziah, ada yang memanjatkan do'a dan ada yang membacakan surah Yasin, dihadapan jenazah almarhumah. Aku langsung duduk disamping jenazah, berdoa dan membaca qur'an bersama-sama. 

Di sebrang tempat duduk ku, duduk ibunda almarhumah yang sudah sepuh, kira-kira usia 70 tahunan, disampingnya duduk Wulan, gadis SMA kelas satu dan Wawan, dua-duanya anak almarhumah. Mereka ber-urai air mata, bahkan Wulan terus meratap, mengatakan bahwa ibunya belum meninggal, mamah masih hiduup! sambil terus menangis.

Di tengah-tengah ramainya para pelayat, hati ku terus merenung. Kehidupan manusia ternyata sangat singkat, kematian bisa terjadi kapan saja, tanpa bisa ditolak, bahkan ditunda. Tidak akan ada yang tersisa dari kehidupan manusia, jika raga sudah tak bernyawa. Keluarga, saudara dan tetangga akan menyegrakan kita, untuk secepatnya mengubur ke dalam tanah. Setelah itu lenyap, senyap, bahkan terlupakan .................

Hahikat kehidupan seseorang, baru akan terasa ketika orangnya sudah meninggal. Untuk mengenang orang yang sudah tiada, kita butuh alasan, butuh sesuatu yang bisa dikenang, butuh sesuatu yang berharga bagi kehidupan orang-orang yang masih hidup. Dan itu bukan harta kekayaan, tetapi sesuatu yang langgeng. Mungkin ilmu pengetahuan, mungkin amal kebaikan. Inilah hakikatnya, kenapa Allah memerintahkan kita untuk ber-ilmu dan ber-amal baik dalam menjalani kehidupan. Catur dan ibu Marso, dua orang yang berpulang, dengan diiringi do'a-do'a orang banyak, dan ditangisi, bukan hanya oleh sanak keluarganya. Karena semasa hidupnya mereka orang-orang yang sangat baik, dan suka membantu orang lain.

Sepulang ta'ziah, aku meneruskan lamunan di rumah. Apa sebetulnya yang dicari dari kehidupan ini, jika besok atau lusa maut menjemput, semuanya tidak akan terbawa. Kita hanya butuh 14 meter kain kafan, sebagai pakaian pulang. Kita hanya butuh 2 meter tanah kuburan, untuk tempat tinggal. Tetapi kita butuh kesiapan untuk menghadapi pengadilan Allah yang berkepanjangan. Di sana sudah tidak ada lagi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bisa kita mintakan bantuan. Di sana adalah pengadilan privat yang harus kita hadapi sendiri. Kita harus mampu membela diri, tanpa bantuan mulut yang menyampaikannya.

Semua organ tubuh kita, yang kita gunakan selama masih hidup, akan memberikan kesaksian, sedangkan mulut kita dikunci rapat-rapat. Kenapa mulut dikunci rapat? karena lidah kita sangat flexible, bisa mendustakan kebenaran dan membenarkan pendustaan. membulak balik perkataan, memelintirnya, sehingga manusia terperdaya.

Dalam renungan, dalam heningnya duka, aku ber-do'a sendiri "Ya Allah, matikan aku ketika aku sedang bersujud padamu, matikan aku ketika aku dalam keadaan sehat jasmani dan sehat rohani, matikan aku pada waktu yang Engkau mulyakan, matikan aku dalam Husnulhotimah. Bimbinglah hati, pikiran, tangan dan lisan ku ya Robb, agar aku tetap dalam kehidupan yang Engkau perintahkan" 

Tak terasa air mata ku jatuh, tiba-tiba aku merasa sendirian, membayangkan kematian ku, mungkin akan datang besok atau lusa. Wallahu'alam Bissowab.

Tangerang, 26 Agustus 2013

Tidak ada komentar: