SUTAN SJAHRIR #2

"Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imprealis itu."

Di Serang, Sjahrir meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: "Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tidak ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imprealis itu." Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, "Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis."

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini - Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Pamflet Perdjoengan Kita tulis dan terbitkan pada 10 November 1945, lima hari sebelum Sjahrir menjadi perdana menteri, bertepatan dengan bentrok fisik para pemuda dengan tentara Inggris di Surabaya. Hari yang ditandai dengan pekik "Merdeka atau Mati" itu kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoengan Kita. Dengan jernih Sjahrir menunjukan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.

Ia mengkritik, pekik merdeka hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Proklamasi 17 Agustus 1945 ia hantam sebagai peluang menyusun kekuasaan tapi tak dipakai oleh para pemimpin karena mereka "terbiasa membungkuk dan berlari untuk Jepang dan Belanda". Sjahrir sendiri absen saat Soekarno-Hatta membacakan pernyataan Indonesia merdeka itu.

Bagian kedua pamflet ini mengurai bagaimana seharusnya Indonesia menyusun kekuatan dan menegakkan Republik. Bagi Sjahrir, kekuatan itu harus dimulai dengan "revolusi kerakyatan", revolusi yang dipimpin golongan demokratis, bukan nasionalistis  yang membudak pada fasis lain. "Politieke collaboratoren harus dipandang juga sebagai fasis, berdosa dan berkhianat pada perjuangan dan revolusi rakyat", tulisnya.

Kalimat inilah yang memicu kemarahan tokoh politik ketika itu. Jenderal Sudirman, pemimpin tentara Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang, menyebut pernyataan Sjahrir kurang bijak.

Meski ditentang kanan-kiri, Sjahrir jalan terus. Ia mengubah sistem presidensial dengan parlementer, sebagaimana keyakinannya dalam pamflet ini bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Partai-partai harus dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan berpengetahuan modern untuk membawa rakyat ke dalam revolusi.

Pada bagian akhir pamflet ini, Sjahrir menjelaskan agak tehnis soal menyusun alat-alat pemerintahan: bagaimana memfungsikan pangreh praja, polisi dan petugas agraria. Ia menyerukan buruh dan tani diperkuat melalui pendidikan politik sebagai kekuatan revolusioner yang demokratis. Pemilihan-pemilihan harus dimulai di desa. Pemuda, sementara itu, harus menyokong buruh dan tani, bukan pemimpin revolusi itu sendiri.

Ia juga menyinggung soal politik luar negeri. Menurut Sjahrir, kemerdekaan sesungguhnya harus dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Maka ia mempraktekan politik diplomasi: berunding dengan Belanda dan Sekutu serta melecut simpati dunia International.

"Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena mempunyai apa yang disebut mereka itu "kecenderungan-kecenderungan Barat" dan beberapa orang malahan mengatakan aku "kebelanda-belandaan" (Banda Neira, 9 Maret 1936)

Di Banda Neira pikiran-pikirannya ntentang Barat makin eksplisit. "Barat" bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat - yaitu dalam pengertian dinamis ini - yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya." 

Selanjutnya lihatlah bagaimana saatnya Sjahrir menerangkan "Timur". Menurut dia, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang sesungguhnya diidealisasi oleh beberapa filosof. Timur yang tenang, yang harmoni, suatu Timur yang tak pernah ada. "Timur seperti dilihat orang-orang Budhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hongkong atau Shanghai, atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo sudah dipercepat. Ketentraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok."

Kita dapat melihat orientasi dasar Sjahrir terhadap Barat itu, amat melandasi sikap-sikap politiknya, misalnya: sikapnya terhadap nasionalisme yang ekstrem. Sjahrir mengkritik perjuangan politik yang di negeri ini cenderung harus mempunyai unsur moral yang kuat. "Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi".

Ia juga mengkritik adanya kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Pada Maret 1938, Sjahrir menulis surat bagimana ia tak ingin terlibat dalam gerakan non-koopresai. Sjahrir melihat gerakan non-kooperasi sudah diangkat menjadi soal kehormatan. Baginya, itu cermin dari mentalitas inferioritas. Pada titik itu, secara tajam ia menganggap nasionalisme yang ekstrem bisa menjadi timbul dari rasa rendah diri ini.

Ia menulis: "Aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar dari propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional."

Semoga dapat menangkap intisari, untuk direnungkan, bisa jadi daur ulang pemikiran-pemikiran sang pejuang negeri, masih diperlukan. Wallahu'alam Bissowab.

Jakarta, 27 November 2013
 
 




 

Tidak ada komentar: