Peran Besar Bung Kecil

Sutan Sjahrir

adalah satu dari tujuh "Bapak Revolusi Indonesia". Dia mendesak Soekarno - Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang "Bapak Revolusi" lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia.

Sjahrir telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik. Ia mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam pamfletnya yang terkenal, Perjoeangan Kita, ia menulis, "Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita."

Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil - begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.

"Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan" 

Pada Juli 1942, atas permintaan Soekarno, yang baru kembali dari pembuangan di Sumatera, Sjahrir, Hatta dan Soekarno melakukan rapat di rumah Hatta. Asma Hadi, orang kepercayaan Soekarno, ikut dalam pertemuan itu. Malam itu ketiganya sepakat: Soekarno bersama Hatta akan bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir tetap menyusun perlawanan di bawah tanah.

Sebagai motor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Selain di rumahnya sendiri, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Peserta tetapnya antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr. Soejitno, Ali Budiardjo, dokter Soedarsono, Zainal Abidin, Hamdani, dan dokter Toha.

Jika tidak di Maggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas. Ini rumah Halim, salah satu kerabat Sjahrir. Ikut dalam lingkaran diskusi Sjahrir: mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.

Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Tapi Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir jengkel. Maka, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tokoh komunis itu juga menolak.

"Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan penghisapan oleh manusia"      

Dalam banyak esainya, terutama dalam buku Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982), Sjahrir menyerang pelbagai hal dengan sederet argumentasi yang meyakinkan. Ia menyerang komunisme sebagai ideologi yang menghianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan, seperti Stalin di Rusia, Mao Zedong di Cina, Pol Pot di Vietnam. "Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan penghisapan oleh manusia," tulisnya.

Para penentangnya mengejek Sjahrir dengan sebutan "soska" alias sosialis kanan karena keterpukauannya kepada segala yang berbau Barat: mengkritik kekolotan, tradisi, dan primordialisme. Sejak muda, tokoh kelahiran Padang Panjang pada 5 Maret 1909 itu menyatakan telah berpisah dengan adat Minang.


"Pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar"

Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: "Kaum sosialis kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia". Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.

Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hirarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi seringkali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar. 


"Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan"

Perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu Sjahrir memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya , seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam kenyataannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hirarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.

Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekersan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

"Yang diincar Persatuan Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno".

Dalam banyak hal, Sjahrir berbeda dengan Tan Malaka. Sjahrir melihat pengakuan kedaulatan dari negara lain itu penting, sehingga jalur diplomasi termasuk dengan Belanda perlu dibuka. Bagi Tan Malaka, pengakuan kemerdekaan, "Bukanlah syarat eksistensi Republik Indonesia". Dus, berunding dengan Belanda tidak ada perlunya. 

Namun "permusuhan" keduanya sebenarnya panas karena salah paham. Ketika Tan mendeklarasikan program minimum dan Peraturan Perjuangan pada 15 Januari 1946, banyak kalangan melihat itu sebagai oposisi terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Tapi, menurut Subadio, Perjuangan hanyalah panggung untuk mendongkrak popularitas Tan. Dan yang diincar Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno.

Hubungan Sjahrir dengan Tan tambah buruk ketika sebulan setelah Persatuan Perjuangan berdiri, Tan dan beberapa anak buahnya ditangkap dan dibui. Tak jelas apa alasannya sebab tak ada pengadilan atas mereka. "Saya tidak mengerti siapa yang melakukan itu, mengapa dan atas wewenang apa", kata Tan, dua tahun kemudian.

Surat perintah penangkapan Tan diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Menurut Amir, dia bertindak berdasarkan perintah tertulis Sjahrir. Entah betul atau tidak pengakuan Amir, sebab tak pernah ditunjukkan surat perintah dari Sjahrir. Pengikut setia Tan, Adam Malik, meyakini penangkapan itu ulah Amir.

Semoga menjadi bahan renungan, selain untuk mengenang jasa-jasanya sebagai pahlawan, bisa mempelajari pemikiran-pemikirannya juga, sebagai bahan rujukan. Karena banyak hal yang masih relevan dengan kekinian.

Selamat Hari Pahlawan!

Tangerang, 10 November 2013

(Sutan Sjahrir: Titian Sosialisme ke Demokrasi, Ignes Kleden. TEMPO, 15 Maret 2009)      
 

Tidak ada komentar: