DI ANTARA TIGA LELAKI


Kini dia berjalan dalam kesendiriannya lagi, setelah satu demi satu dari tiga lelaki itu pergi, menuju jalannya sendiri-sendiri.

Siksaan dari seluruh cobaan, baginya hanyalah jutaan hikmah-Nya, yang terus dicari dengan kesabaran dan keikhlasan … di ujung semua peristiwa sedih ada kebahagiaan.

Begitu keyakinan hatinya yang tidak pernah bisa ditawar.


***
Hari Minggu yang cerah, hati Nelma bernyanyi bahagia. Saatnya membersihkan kamar, ruang belajar dan bantu-bantu ibunya … memasak dan menyirami tanaman hias di kebun belakang.

“Hari bebas kampus nih, nggak perlu melihat perpustakaan yang garing … isinya buku semua. Nggak perlu melayani gangguan Ira, yang akhir-akhir ini sangat menggila … Si Otak Keriting yang suka nyebelin. Yang nggak enak … tidak bisa ketemu dua lelaki yang suka ngajak debat seru di bangku taman kampus.”

Nelma bergumam, sambil asik mencongkel tanah di pot-pot bunga hias, untuk kemudian digantinya dengan tanah baru yang sudah dicampur dengan pupuk.

Sepuluh pot bunga hias ibunya … tanaman dari beberapa jenis kaktus yang bentuknya kecil-kecil, dan lucu-lucu, tumbuh sehat dalam perawatan tangan Nelma yang dingin dan cekatan. Dan ibunya sangat bangga dengan hasil kerjanya itu.

Selepas mengerjakan semua agenda hari libur minggunya, Nelma baru mandi. Kali ini dia dipaksa mandi kilat oleh ibunya, karena ayah dan ibunya udah menunggu untuk sarapan bersama. Biasanya dia mandi paling cepat menghabiskan waktu 30 menit, baru keluar dari kamar mandi. Kebiasaan Nelma sedari kecil, berlama-lama di kamar mandi.

“Nelma, cepat mandinya ya. Ayah dan Ibu nunggu kamu untuk sarapan. Ibu sudah buatkan nasi goreng dan telur mata sapi setengah mateng, kesukaan kamu.” Begitu ibunya meminta Nelma untuk bergegas mandi.

“Siap Bu!” jawabnya sambil meraih handuk di jemuran lalu bergegas masuk kamar mandi.

“Hmmm … harum dan segar banget gadis Ibu,” ibunya menggoda, ketika Nelma yang sudah rapi menghampiri kedua orangtuanya di meja makan.

“Terima kasih Ibu,” Nelma meresponnya dengan senang.

“Nelma hari ini tidak ada acara ke mana-mana? Atau kamu mau ikut Ayah dan Ibu, untuk ikut arisan keluarga di Depok? Tanya ibunya di sela-sela sarapan mereka.

“Nggak ah Bu, aku di rumah saja, lagian bosan setiap hari ke Depok,” jawab Nelma dengan senyum lebar.

Dia merasa lucu saja kalau hari Minggu pun harus pergi ke Depok. Padahal setiap hari, selama satu minggu bolak-balik ke depok … untuk kuliah.


***
Sepeninggalan ayah dan ibunya, Nelma duduk di ruang belajarnya. Menyalakan computer, lalu menghidupkan jaringan wifinya. Iseng-iseng dia mengaktikan akun facebooknya. Kalau pada hari-hari kuliah dia jarang banget online, karena waktunya padat untuk belajar. Jaringan internet hanya digunakan untuk searching materi kuliah atau tugas kampus.
Selang beberapa menit saja online, teman-temannya sudah menyerbu inbox.

Klung!

“Hai cinta, apa kabarmu sayang?” Bang Attaillah menyapa, sok mesra seperti biasa.

“Kabar baik, Abang tumben ol, biasanya anti jejaring social,” jawab Nelma.

Mengingatkan, Bang Attaillah tentang statement kerasnya soal facebook, dalam sebuah tulisannya di media kampus. Attaillah mengatakan bahwa “Facebook sebagai akar persoalan, maraknya perkosaan dan penculikan terhadap gadis-gadis ABG.”

“Ah … ini karena aku rindu kamu Nel, makanya aku bela-belain menepiskan idiologiku hahaha,” Bang Atta ngeles …”cinta itu aneh ya Nel, bisa mengalahkan akal sehatku … termasuk kemurkaanku kepada facebook bisa lumer, hanya gara-gara merindukan kamu.” Bang Atta melanjutkan gombalannya.

“Huh! Gombalmu mulai deh,” sergah Nelma.

“Aku serius Nelma, nggak pernah merasakan kalau aku jatuh cinta sama kamu?” Bang Atta mengatakannya agak serius.

“Abang bicara cintanya jangan di inbox ya, ntar rasanya menguap di dunia maya. Akhirnya hanya jadi cinta-cintaan doang dah,” Nelma menggoda, agar bisa ngelak, untuk tidak meneruskan pembicaraan cinta Bang Attaillah. Sejujurnya omongan Attaillah membuat dia jengah.

Attaillah salah seorang dari tiga lelaki yang saat ini sedang pedekate kepada Nelma. Lelaki tinggi besar dan berkulit gelap ini berasal dari Aceh. Dia mantan pemain atlit anggar nasional, yang saat ini masih kuliah pada semester akhir, satu fakultas dengan Nelma … fakultas komunikasi.

Perkenalan mereka terjadi ketika OSPEK, waktu Nelma masuk kuliah di kampus ini. Attaillah sebagai panitia yang super tengil, sempat membuat Nelma murka, waktu itu.

Untuk ukuran fisik, tidak ada yang kurang dari Attaillah. Atletis, ganteng dan cerdas. Dia juga merupakan anggota BEM, tokoh mahasiswa yang dikelilingi gadis-gadis kampus. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia sering nguntit Nelma ke perpustakaan atau ketika baca buku di taman kampus.

“Abang, kenapa sih sering banget ngikutin aku? Emang nggak ada kegiatan lain ya?” suatu ketika Nelma menanyakan ini kepada Attaillah.

“Emang ada aturannya, yang melarang aku ngikutin kamu?” Attaillah balik bertanya.

“Dihhh … Abang, ditanya itu jawab, bukan nanya balik … “dasar mahluk aneh.” Tukas Nelma, cemberut.

“Kamu bikin aku penasaran Nelma. Kalau perempuan lain nyari perhatian biar aku deketin, tapi kamu malah cuek. Eh, pake Tanya-tanya lagi ketika aku deketin, bukannya seneng.” Begitu Attaillah menyampaikan alasan irasionalnya, kepada Nelma.

Klung!

“Nelma, kamu masih di situ?” Attaillah tiba-tiba membuyarkan kenangan

“Iya Bang, maaf agak ngantuk,” jawab Nelma sekenanya.

“Oke deh, sampai ketemu besok di taman kampus ya sayang … selamat bobo siang,” klik, nyala inbox mati tanpa menunggu jawaban.

“Hmm … ini yang aku suka dari Attaillah, tidak pernah memaksakan kehendak.”

Nelma mematikan computer, kemudian terlelap dalam tidur siangnya.


***
Pukul 10.00 wib, Nelma sedang asik membaca buku Psikologi Sosial di taman kampus, ketika seorang lelaki mengendap-endap mendekatinya. Seorang pemuda tampan, berkulit bersih, rambutnya keriting agak pirang, hidungnya tidak begitu mancung, tapi menyejukan dipandang mata. Dialah Nuzul Al-Karim, peranakan Jawa Timur – Malayasia … ibunya orang Pandaan, bapaknya orang Penang Malayasia. Dia kuliah di fakultas ilmu social dan politik (FISIPOL), semester VII.

Mereka kenalan pada acara seminar, yang bertajuk ‘Kesadaran Politik Masyarakat Kampus,’ yang di selenggarakan sekolah menjelang Pemilu. Konon Nuzul jatuh kagum kepada Nelma, karena berani, bertanya dan berdebat di forum seminar, yang mayoritas pesertanya laki-laki.

Yang menyenangkan dari Nuzul bagi Nelma, suaranya merdu, pintar nyanyi ‘Yesterday’ atau ‘Hi Jude’ Bettle punya … group band kesayangannya sama. Pengetahuan politik dan sosialnya banyak, menyenangkan kalau diskusi dengan Cak Nuzul … begitu Nelma memanggilnya. Selalu mendapatkan pengetahuan baru tentang poitik dan social yang sedang berkembang dalam masyarakat.

“Hai sayang, selamat pagi,” begitu sapa Nuzul kepada Nelma, dengan suaranya yang lembut dan merdu.

“Hai Cak Nuzul, assalamualaikum, kuliah pagi juga?”

“Waalaikumsallam Nelma, iya kuliah dari pukul 8 tadi pagi. Kok masih di taman, belum mulai kelasnya?”

“Aku kuliah pukul 11 nanti Cak, masih satu jam … ngangin dulu hehehe,” jawab Nelma cengengesan.

“Masih ada kuliah Cak? Kok masih muterin kampus, bukannya pulang,” usil Nelma kumat.

“Aku masih ada rapat BEM nanti pukul 11, biasanya sampe sore baru kelar. Sesekali kamu ikut rapat sama kita Nel.” Ajak Nuzul.

“Lha aku bukan anggota BEM, emang boleh ikutan rapat? Suka ngawur aja Cak!” protes Nelma

“Boleh, sama aku … siapa yang berani melarang? Kan tinggal dikenalin pada yang lain, bahwa kamu pacar aku … hahahaha.” Nuzul menjawab sambil ngakak.

Tidak urung bikin hati Nelma dag dig dug, nggak jelas juntrungannya ....

“Duh, dasar bonek kalau ngomong asal nyablak,” celoteh hati Nelma.

“Rapat apaan sih Cak? Kelihatannya serius banget, masa sih sampe sore begitu?”

“Persiapan aksi tolak kenaikan BBM Nel, makanya ikut yuuk … mewakili rakyat Indonesia, Non!”

“Rakyat sudah diwakili DPR Cak, untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan masyarakat. Ngapain kita masih harus repot, demo segala? Kan anggota dewan sudah kita kasih mandat melalui pemilu … bukannya begitu Cak?” tukas Nelma sok tahu.

“Ah, kamu jangan terlalu lugu Nel, nggak ada DPR yang peduli sama nasib rakyat. Kamu nggak perhatikan, sudah berapa kali saja BBM naik? Tarif dasar listrik (TDL) juga naik. Ujung-ujungnya kenaikan sembako tidak bisa dihindari. Bukankah yang paling disusahkan rakyat mayoritas, Nelma?” jawab Nuzul, dengan mada gusar.

“Iya juga ya Cak. Lalu apa masalahnya pemerintah tidak bisa mengontrol harga sembako? Boleh saja dong BBM naik, kalau acuannya harga minyak dunia, tapi mustinya tidak berbanding lurus dengan harga sembako?” Tanya Nelma dengan nada protes.

“Nelma, kamu ini lagi nanya apa lagi nge-tes aku hei?” selidik Nuzul … “terang saja sembako naik, bahkan tidak mungkin dihindari kenaikannya. Dengan BBM naik ongkos produksi barang naik, karena semua mesin alat produksi pake BBM. Selain ongkos produksi yang naik, distribusi juga biayanya naik, karena transportasi mengalami kenaikan juga. Sementara upah kerja naiknya nggak seimbang, sehingga daya beli masyarakat menjadi lemah. Nah itu yang berasa mahal dan nyekik leher orang miskin. Pahamkah Tuan Putriku, Nelma?” jawan Nuzul yang membuat Nelma menyimak, tidak berkedip.

“Cak Nuzul, thanks ya pencerahannya, aku mau masuk kelas dulu,” Nelma pamit sambil ngeloyor pergi. Tidak menggubris Nuzul yang berteriak-teriak memanggil namanya.

“Duhh Nelma, belum sempat aku menyampaikan sesuatu yang penting kepadamu, udah kabur aja … dasar cewek aneh, bikin aku tambah penasaran aja.” Nuzul ngekrundel, sambil garukin kepala, nggak gatel.


***
Sore Sabtu di Mall Ciputra Citraland, Nelma sedang menggu seseorang di sebuah kedai roti yang bisa dijadikan tempat ngobrol. Waktu menunjukan pukul 16.00 wib, ketika orang yang ditunggu Nelma datang.

Kali ini seorang lelaki yang sangat ganteng kalau pake blangkon. Mas Yatno, lelaki yang halus tutur sapanya, sopan dan santun prilakunya. Dialah lelaki berasal dari Solo, yang banyak mengajari Nelma bagaimana menjalani hidup dengan prihatin dan toleran kepada sesama.

Dia berjuang dengan sangat keras untuk dapat hidup di Jakarta, mulai dari menjadi tukang bakso keliling, ikut ujian paket C, hingga kini bisa bekerja sebagai PNS di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dan sering tugas keliling, ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Hampir dua tahun yang lalu, mereka berkenalan di KRL Bogor – Tanabang, ketika suatu hari Yatno yang dalam perjalanan pulang dari Bogor, harus memberikan tempat duduknya kepada Nelma yang naik dari statsiun UI.

Setelah KRL agak longgar, akhirnya mereka duduk berdampingan. Sebelum Yatno turun di statsiun Tebet, dalam perjalanan itu mereka saling mengenalkan nama, berbagi nomor handpon dan ngobrol-ngobrol ringan. Akhirnya sering bertemu, bahkan beberapakali Yatno berkunjung ke rumah Nelma dan berkenalan dengan kedua orangtuanya.

“Selamat sore Nelma, sudah lama?” Mas Yatno menyapa, begitu sampai di meja tempat Nelma menunggunya.

“Sore Mas, belum terlalu lama kok, baru beberapa menit saja. Apa kabarmu?” Nelma berusaha untuk mengimbangi keramahan tamunya.

“Kabar saya baik, senang bisa melihat kamu lagi Nelma, setelah beberapa bulan saya pergi dari Jakarta. Bagaimana kuliahmu?”

Itu khas Mas Yatno banget, ramah dan telaten. Merasa nyaman berada disampingnya. Lebih sering merasa sebagai adiknya daripada sebagai teman perempuannya. Karena lelaki ini menjaga banget, tangannya tidak pernah usil, begitu juga perkataannya, selalu menunjukan rasa hormatnya kepada Nelma. Bagi Mas Yatno, memberi contoh yang baik itu seperti sebuah keharusan, dalam hidupnya.

“Kuliahku biasa saja Mas, baru selesai ujian semester VI, bulan depan aku sudah akan KKN. Rencananya kami akan KKN di pedalaman daerah Ciamis Jawa Barat. Di desa Panjalu namanya.” Nelma menjelaskan panjang lebar.

“Wah pasti menyenangkan itu Nelma. Berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan dengan segala persoalannya, sungguh suasana yang sangat tenang. Orang desa biasanya ramah-ramah, hidup sederhana, rukun, saling membantu tanpa pamrih. Kamu bisa membantu apa saja yang kamu bisa untuk mereka. Mengajari anak-anak membaca dan menulis, membacakan dongeng atau buku cerita untuk mereka. Selain membantu para orangtua menemukan penyelesaian masalah yang dihadapinya. Sebisa kamu. Selebihnya kamu akan banyak belajar dari mereka.”

Demikian panjang lebar Mas Yatno menjelaskan, Nelma mendengarkannya dengan takzim.

“Iya Mas, terima kasih pencerahannya, aku jadi merasa semakin siap untuk mengikuti KKN,” jawab Nelma dengan senyum manisnya.

Sejenak keadaan menjadi hening, Nelma dan Yatno sama-sama diam, seperti asik dengan pikirannya masing-masing. Hanya denting suara sendok beradu dengan cangkir, yang tengah digunakan untuk mengaduk-aduk teh panas, oleh Nelma.

“Nelma, boleh aku mengatakan sesuatu kepada kamu?” Mas Yatno bertanya sangat hati-hati.

“Boleh dong Mas, soal apa sih? Nampaknya serius banget,” Nelma mencoba menduga

“Kalau kamu anggap pertemuan kita sore ini penting, ya ini memang soal serius tentang hubungan kita.”

Beg! Ada yang terasa nonjok dalam dada Nelma, dia sibuk menduga-duga ke arah mana omongan Yatno kali ini. Apakah dia masih bisa ngeles seperti biasanya? Atau kali ini dia harus berterus terang dan jujur, sebagaimana adanya.


Hubungan mereka sudah masuk tahun ke dua. Beberapa kali Yatno mengajak Nelma bicara serius soal hubungannya, selalu tidak pernah selesai, karena Nelma selalu mengelak. Sejujurnya Nelma sangat menyayangi, mengagumi dan menghormati Yatno. Dia sering berpikir, jika suatu saat dia harus bersuami, maka lelaki yang seperti Yatno-lah yang dia inginkan jadi suaminya.

Hubungan mereka juga sudah dibahas selesai, dalam keluarga Nelma. Ibu dan ayahnya juga menyayangi Yatno, dan mereka menerimanya seperti layaknya anak. Satu hal yang menghalanginya, bahwa mereka berbeda agama. Yatno penganut nasrani yang sangat taat, keluarga Nelma juga penganut Islam yang taat. Mereka saling menghormati keyakinannya masing-masing.

Nelma dan keluarganya tidak mau meminta Yatno memeluk Islam, kalau hanya untuk keperluan pernikahan saja. Memeluk agama itu soal pilhan dan keputusan pribadi, ini soal keyakinan yang tidak bisa dipaksaakan. Dan Nelma, dengan kesadaran penuh dia memilih dan meyakini Islam sebagai agamanya, yang akan dia peluk sampai Allah memanggil untuk menghadap-Nya. Begitu keyakinan Nelma.

“Maksud Mas Yatno?” Nelma ingin penjelasan, untuk meyakinkan dugaannya.

“Nelma tahukan usiaku sudah tidak muda lagi … 36 tahun. Ibu di kampung sudah bulak-balik menanyakan. Soal kapan aku mau nikah? Aku nggak mungkin memberi jawaban, sebelum membicarakan hal ini dengan kamu. Karena perempuan yang aku cintai dan ingin kujadikan istri, adalah kamu. Jadi bagaimana selanjutnya hubungan kita Nel?”

Yatno menunggu jawaban, dengan wajahnya yang tegang, harap-harap cemas.

Nelma diam tafakur, sebelum memberi jawaban. Dia merasa sulit untuk memilih hata-kata yang tepat. Dia tidak ingin menyakiti hati Yatno yang sangat dikasihi dan dihormatinya. Dia tidak ingin kehilangan cinta Yatno, lantaran dia menyakiti hatinya.

“Mas, aku maklum dengan keadaanmu. Kamu juga tahu, betapa aku mengasihi, menyayangi dan menghormatimu. Dan jika aku diminta memilih, siapa yang ingin aku jadikan suami? Ya kamulah orangnya. Mas, aku yakin dan tidak akan pernah ragu dengan pilihanku. Tetapi Mas, kita berbeda … perbedaan itu sangat prinsip bagi aku, juga bagi kamu. Aku tidak mau kamu berpindah keyakinan karena aku, dan kamu juga pernah mengatakan hal yang sama kepadaku. Sampai hari ini kita masih kukuh pada pendirian seperti itu. Dan pernikahan berbeda keyakinan bukan pilihanku Mas, jadi maafkan aku.”

Mendengar jawaban Nelma yang lugas, Yatno tertunduk, matanya berkaca-kaca. Menahan kepedihan yang berkecamuk dalam batinnya. Demikian pun dengan Nelma, dia bukan hanya berkaca-kaca … merembak dan terisak, menahan tangis yang hampir meledak. Mereka saling menggenggam tangan dengan erat, seperti tidak ingin dilepaskan selamanya.

“Mas Yatno, selama aku mengasihimu, selama itu juga kamu menjadi kekasihku. Bagiku kasih sayang itu tidak bisa dibatasi oleh sebuah pernikahan. Selama kau membutuhkan, selama kau menginginkan, aku akan menjadi orang terkasihmu. Jika pernikahan yang kamu butuhkan, maka tidak bisa dilakukan bersamaku. Maafkan aku.”

Nelma sesenggukan dalam pelukan Yatno. Sementara butiran-butiran bening berjatuhan dari kedua kelopak mata Yatno, menderas membasahi rambut Nelma yang dipeluknya erat. Adegan itu cukup lama, berlangsung dalam sambaran tatapan mata sejumlah pengunjung kedai.

Akhirnya menyadarkan Yatno, kemudian melepaskan pelukan Nelma. Menyodorkan saputangannya untuk mengeringkan air mata Nelma yang membasahi kedua pipinya.

“Baiklah Nelma, kalau seperti itu keadaannya. Kita tidak akan mengahiri hubungan kita, meskipun nanti aku harus menikah dengan perempuan lain. Dan suatu saat kamu pun akan menikah dengan laki-laki lain. Cinta kita akan tetap menjadi cinta sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan. Kecuali dalam ikatan rasa saling menghormati dan menyayangi satu sama lain.”

Mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya, lalu berpisah … berjalan pada arah yang dipilihnya masing-masing. Disambut langit merah jingga, pada senja di Jakarta Barat, dalam kepadatan lalu lintas jalan, di depan Mall Ciputra Cirtaland.


***
Dua bulan setelah pertemuan sore itu, dikabarkan bahwa Yatno telah menikahi perempuan pilihan ibunya di Solo.

Nelma hanya bisa berdoa dengan penuh haru, tanpa bisa menghadirinya. Karena Yatno sendiri tidak mengundangnya untuk datang.

Bagi mereka, saling mencintai dan menyayangi, artinya membiarkan satu sama lain dengan pilihan yang membuat keduanya bisa hidup nyaman dan merdeka.



CitraRaya, 24 Agustus 2015




Tidak ada komentar: