SENJA HARI YANG SENYAP


Tiada celoteh anak-anak yang memanggil nenek dan kakek, tidak ada anak-anak yang memanggil Ibu dan Ayah, hanya ada bayangan kelabu masa lalu berkelebat memenuhi ruangan kalbu, mengambang pada langit-langit kenangan.

***
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun duduk di pinggiran kolam, tengah asik melempari ikan-ikan dengan batu kerikil … ikan berkecipak berdesakkan, memburu air yang jatuh dari pancuran bambu. Indah, dengan beraneka warna--hitam gelap, merah menyala, putih, kuning, bersisik warna mas kombinasi dengan hitam dan banyak lagi warna-warna sisiknya yang menakjubkan.

Nelma! tiba-tiba sebuah panggilan mengagetkannya, dia langsung menengok ke arah suara yang menyebut namanya tadi … serrrr, tiba-tiba dadanya berdesir jantungnya berdegup kencang … sejurus dia memandangi seorang gadis kecil usia 5 tahun yang tersenyum menghampirinya, “Ohhh Denok” dengan gugup Nelma menyebut nama gadis kecil itu. Denok gadis kecil dengan rambut keriting menyerupai indomie, kulitnya hitam, giginya putih kecil-kecil dan senyumnya manis. Setiap kali melihat Denok hati Nelma berdesir hebat dan jantungnya serasa mau copot.

Selalu hari-hari yang membahagiakan bagi Nelma ketika seharian bisa bermain dengan Denok … main rumah-rumahan. Dengan menggunakan kain panjang ibunya, Nelma akan membangun sebuah tenda sebagai rumahnya yang mereka huni berdua. Denok dengan cekatan membersihkan pekarangan tendanya, lalu membuat tungku-tungkuan dari batu. Selanjutnya Denok akan berkutat memasak di dapur kecilnya itu. Nelma dengan cekatan membawakan ranting-ranting pepohonan untuk kayu bakar dan dedaunan untuk dimasak. Sementara Denok masak Nelma akan duduk atau tidur-tiduran dalam tenda mempehatikan Denok memasak, kadang Nelma menatap dengan mata tak berkedip ke arah Denok seakan tidak mau melepaskannya walau sedetik.

“Bahagia rasanya bisa memandangi Denok dengan cara seperti ini,” gumam Nelma dalam hati.

Sedang asik-asiknya main berdua tiba-tiba saja, … “Nelma! Nelm!” suara Ibu sudah mengguntur.
Nelma langsung bangun dan menyahut “iya Bu!” teriaknya sambil keluar tenda.

“Ayo mandi, sebentar lagi ngaji ini udah sore,” Ibu Nelma memerintah.

“Denok ayo pulang, udah sore” sambil membuka tendanya Nelma mengajak Denok pulang.

”Iya Nelma tunggu,” dengan malas-malasan Denok beranjak keluar dari dalam tenda.

“Besok kita main lagi ya Denok,” kata Nelma sambil menatap Denok, sebelum dia meninggalkannya.

Oooh Denok teman bermain yang menyenangkan, telah Nelma tinggalkan ketika orang tuanya harus berpindah rumah ke kampung lain. Sangat sedih rasanya waktu pamitan kepada Denok untuk pergi, seakan hidup Nelma akan sepi selamanya.

***
Byuurrr!Byurrr!

Satu-satu anak usia 8 tahunan lompat dari jembatan ke dalam kali, seperti dalam turnamen renang nasional, bahkan ada yang pake gaya jempalitan di udara—di antara jarak jembatan dan air sebelum akhirnya nyebur.

“Hore Nelma menang! Nelma menang!” Begitu sorak sorai anak-anak yang berkerumun di atas jembatan. Rupanya jagoan renang hari ini Nelma yang umurnya sudah menginjak 8 tahun, dengan postur tubuh tinggi kecil dan kulit sawo matang, kelihatan lebih legam karena banyak berendam di air kali.

“Nelmaaa!” Seorang gadis seusianya berteriak sambil berlari menghampiri. Nelma menyambutnya dengan mengembangkan tangan, lalu mereka berpelukan.

“Hei Usti kapan kamu sampai di sini?” Tanya Nelma kepada anak gadis berkulit putih, kira-kira usia 7 tahunan, yang ternyata bernama Usti.

“Aku dari tadi nonton kamu terjun dari jembatan Nelma, aku senang melihat kamu jempalitan tadi hahaha,” Usti menjawab sambil terbahak.

“Dihhh kamu koq nggak bilang-bilang kalau mau datang ke sini” protes Nelma kepada Usti.

”Nggaklah, kalau aku bilang-bilang kamu pasti nggak ikutan lomba, iya kan?” Usti menggoda … Nelma tersipu malu, menunduk tetapi melihat Usti dengan kerling matanya.

Degg … serrrr! Jantungnya berdegup, ada desiran halus yang membuat Nelma seperti melayang … entah apa dia tidak memahaminya, tetapi hatinya sangat bahagia.

“Nelma ayo pulang!” Usti meraih tangan kanan Nelma dan mengenggamnya, lalu mereka berjalan bergandengan, pulang bersama.

Usti anak gadis yang lincah dan suka bercerita, sepanjang jalan dia tiada hentinya bercerita, sesekali tertawa menggoda Nelma. Sementara Nelma hanya mendengarkannya sambil senyum-senyum bahagia. Karena bagi Nelma berdekatan dengan Usti lebih nyaman diam, sambil nyuri-nyuri pandang dengan sudut matanya, ketimbang berkata-kata. Entah kenapa Nelma selalu merasa nyaman dan bahagia ketika berada berlama-lama di samping Usti.

Hingga suatu hari, Nelma harus meninggalkan Uati. Dengan sedih, dia berpamitan. Karena selama sekolah harus tinggal di asrama.

“Usti besok aku harus mulai tinggal di asrama, karena terlalu jauh kalau aku harus bersekolah dari sini, kita akan berpisah Usti.” Nelma berpamitan sambil berurai air mata, demikian pun dengan Usti.

“Tidak apa-apa Nelma, kamu kan harus meneruskan sekolah. Kita akan selalu ketemu kalau kamu pulang liburan, jadi nggak usah terlalu sedih.”

Usti mencoba menghibur Nelma, meskipun dia juga merasa sedih bakal jauh dengan Nelma. Saat itu usia Nelma 11 tahun dan Usti sudah 10 tahun, mereka baru saja lulus dari Sekolah Dasar (SD)

Bayangan demi bayangan masa lalu berkelebat, bagaikan pertunjukan film seri love story sepanjang perjalanan hidup Nelma. Suka duka jatuh cinta dialaminya, semua hanya menjadi rahasia hatinya yang gelap.

Dari mulai cinta monyet hingga menjelang dewasa … pada usia 20 tahun, Nelma baru menyadarinya, bahwa rasa cinta yang dia alami adalah berbeda. Nelma mencintai Denok, Usti, Eti, Dian dan masih banyak lagi teman-teman gadis sebayanya … dan itu cinta yang absurd, salah dan terkutuk. Cinta bertepuk sebelah tangan, yang tak mungkin dapat diwujudkan dan dibawa ke pelaminan, seperti layaknya cinta sepasang suami istri.

Satu demi satu gadis yang dicintainya pergi, menemui jodohnya … sementara Nelma hanya menangis perih di dalam hati.

***
“Nelma, besok kita akan kedatangan tamu, keluarga besar Pak Dirga, kawan Ayah. Mereka akan makan siang di sini. Kamu jangan ke mana-mana ya, bantu Ibu masak untuk mempersiapkan makan siang kita.”

“Waduh Bu, Nelma sudah ada janji mau belajar bareng teman-teman kuliah, kami ada tugas dari kampus.”

Nelma mencoba mencari alasan untuk menghindari bertemu tamu ayahnya kali ini. Dan ini tamu yang kesekian kalinya yang diundang ke rumah, untuk makan siang bersama keluarga besar. Dan ujung-ujungnya makan siang keluarga menjadi ‘Party Mencari Jodoh’ untuk Nelma.

“Ibu tidak mau tahu Nelma, pokoknya kamu harus tinggal di rumah dan menerima tamu bersama kami, titik!” Ibu berkata tegas, dan tidak mengijinkan Nelma keluar dari rumah.

“Baiklah Ibu, Nelma ikut apa yang Ibu mau,” dengan muka ditekuk Nelma menyerah kepada ibunya. Sementara perang berkecamuk dalam hatinya.

“Apalagi yang harus aku katakan kepada anak laki-laki yang akan diperkenalkan padaku nanti, padahal aku tidak pernah menyukainya. Semakin aku memaksa diri beramahtamah kepada mereka, semakin Nampak tampang jutekku.

“Duuhh Ayah, Ibu andaikan saja kalian punya waktu untuk memahami penderitaan batinku, andaikan saja kalian tahu bahwa aku tidak pernah suka kepada mahluk kaki dua, yang bernama laki-laki itu.”

Demikian kerusuhan batin yang dirasakan Nelma, selama dia mengikuti ibunya berbelanja di pasar. Dia hanya diam dengan keranjang belanjaan di tangan, membiarkan Ibu memenuhinya dengan semua kebutuhan untuk menyiapkan makan siang.

Nelma juga tetap membungkam mulutnya, ketika membantu Ibu memasak di dapur. Hanya sesekali saja menjawab pertanyaan Ibu, atau menanyakan sesuatu kepada Ibu.

Dapur begitu hening tanpa obrolan, hanya suara perabotan memasak yang terkadang beradu. Nelma si pematung … itulah julukannya, saking pendiam dan tidak banyak omongnya.

Pukul 11.30 wib, Nelma dan Ibu menyelesaikan acara masaknya. Semua ditata dengan rapi di meja makan. Ada sayur asem, ayam goreng, daging gepuk, tempe dan tahu goreng. Sambal dan lalapan. Itu menu makan siang yang disukai keluarga Pak Dirga, khasnya makan rumahan ala keluarga suku sunda.

Meja di ruang tamu dipenuhi dengan minuman dan makanan kecil, serta buah-buahan. Ada anggur merah, ada jeruk pontianak, ada potongan semangka merah merona. Semuanya Nampak tertata rapi, menyenangkan untuk dilihat dan dinikmati pada siang yang cukup terik seperti hari ini.

“Assalamualaikum,” suara orang memberi salam dari luar, setelah suara mesin mobil dimatikan.

“Wa'alaikumsallam,” Ibu membalas salam … “Nelma, tolong dibuka pintunya,” pinta Ibu, yang masih siap-siap di kamar.

Tanpa bicara Nelma menghampiri pintu, lalu membukanya. Di hadapannya telah berdiri tiga orang tamu … seorang Bapak yang seusia dengan ayahnya, seorang Ibu yang cantik berpakaian hijab dengan rapi. Baju kurung bunga-bunga kecil, dipadu dengan kerudung warna hijau toska, membuat ibu paruh baya itu kelihatan anggun dan cantik.

Seorang anak laki-laki muda berdiri paling belakang, pake hem kotak-kotak kecil warna biru, dipadu dengan celana jin belel. Laki-laki dengan kecamata minus, sungguh elok kelihatannya, tapi mengesankan agak angkuh.

“Silahkan Om, Tante masuk,” Nelma mencium tangan kedua tamu tersebut ... “Ayah dan Ibu sudah menunggu di dalam.”

Dengan ramah Nelma mempersilahkan tamunya masuk. Kepada pemuda berparas elok Nelma hanya mengangguk kecil.

“Eh, gadis manis ini pasti Nelma ya”? Sambil mengikuti Nelma ke dalam, Bu Dirga bertanya.

“Iya Tante, saya Nelma.”

“Danu, cepat ke sini!” Bu Dirga memanggil pemuda elok, untuk mendekat.

“Nelma, kenalkan ini anak Tante … Danu. Baru lulus kuliah tahun ini, dari fakultas tehnik sipil ITB.” Pemuda elok itu mengangguk sambil tersenyum samar kepada Nelma.

“Aku Nelma,” sambil menyodorkan tangannya kepada Danu. Kemudian mereka masuk ke ruang tamu.

“Pak Dirgaaa …!” Ayah menyalami dan memeluk Pak Dirga, seperti dua sahabat yang tidak ketemu bertahun-tahun. Begitu juga Ibu, berpelukan dengan Bu Dirga, seperti orang yang sudah tahunan tidak bertemu.

Ruang tamu jadi rame … riuh rendah suara tertawa Ayah, Pak Dirga, Bu Dirga dan Ibu. Sedangkan Nelma dan Danu saling membisu memperhatikan keriuhan mereka.

Hingga tiba saatnya makan siang, keriuhan ikut pindah ke meja makan. Sementara Nelma dan Danu, masing-masing asik dengan pikirannya … “ruang hati yang sepi,” keluh Nelma pada dirinya sendiri.

Beda dengan Danu, pemuda elok yang terkesan agak angkuh ini emang cuek bebek. Dia makan dengan lahapnya, semua makanan yang disajikan dia masukan ke perut. Selera makannya sungguh menakjubkan. Diam-diam Nelma memperhatikannya, sambil sesekali mencermati wajah eloknya itu.

“Laki-laki kok cantik kaya begini ya,” Nelma membatin … “parasnya elok dengan kulit yang halus, seperti perawan yang sering ke salon. Beda banget sama kulit gue, dia itu cowok apa cewek sih sebenarnya?” Nelma sibuk dengan pikirannya tentang Danu.

“Kamu, nggak makan Nelma?” Tiba-tiba suara itu mengagetkan lamunan, ternyata Danu yang bertanya.

“Eh …ah … nggak … makan kok,” Nelma menjawab gugup, kehilangan konsentrasi … lamunannya buyar, “hah! Kok suaranya halus banget … bener-bener tidak seperti suara cowok,” Nelma membatin.

“Kamu, masih kuliah Nelma?”

“Iya, baru semester enam di fakultas komunikasi UI,” Nelma menjelaskan … “Kang Danu sudah kerja?” Nelma balik nanya.

“Baru saja, tiga bulan yang lalu. Aku bekerja di salon kecantikan, sebagai konsultan.”

Uhuk … uhuk! Nelma mendadak tersedak, kaya kemasukan ceker ayam di tenggorokannya. “Duuhhh, ternyata … emang pemuda elok ini pemain salon. Katanya kuliahnya tehnik sipil ITB, kok malah jadi tukang salon? Ajaib sungguh," pikir Nelma terheran-heran.

“Kenapa Nelma? Aneh ya, aku kerja di salon? Sekolah itu tidak berbanding lurus dengan pekerjaan Nelma, tetapi lebih berbanding lurus dengan bakat dan minat. Dari kecil memang aku lebih suka berdandan kaya perempuan. Aku juga suka belajar segala hal tentang perawatan kecantikan. Nah soal sekolah itu, menurut ayahku biar aku jadi laki-laki macho, maka kuliah di tehnik sipil ITB. Kalau aku mengikuti minatku, sejak lulus SMA aku pengennya sekolah kecantikan saja. Toh akhirnya dunia kerjaku tetap di salon, sekalipun aku hanya memilih jadi konsultan kecantikan.” Danu menjelaskan panjang lebar tentang dirinya.

Mengetahui persoalan Danu yang sebenarnya Nelma kaget bukan main, tetapi sekaligus senang karena merasa punya teman curhat yang mungkin lebih paham dirinya.

“Jadi aku nggak perlu takut dijodohin sama Danu, karena aku yakin dia juga tidak akan menerima aku sebagai calon istrinya. Lebih baik aku bersahabat saja dengan dia, punya teman main dan curhat yang asik, nantinya,” Nelma membayangkan jadi sahabatnya Danu, sambil senyum-senyum.

“Eh, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” Danu bertanya dengan wajah yang terheran-heran.

“Nggak! Ayo Kang Danu main ke kamar belajarku,” ajak Nelma sambil meraih tangan Danu dan menariknya masuk ke ruang belajar. Nelma punya ruang belajar yang nyaman, terpisah dari kamar tidurnya.

Ruangan berukuran 4 x 6 m ini dilengkapi dengan AC, rak buku, meja belajar yang cukup besar. Ada satu unit computer PC, ada sebuah laptop, ada screen lebar di pojok ruangan, ada sebuah infokus di meja kecil dan speacker kecil di bawah meja belajarnya.

“Wow! Keren banget ruang belajarmu Nelma … aku bisa betah nih main di kamarmu.”

“Main aja ke sini Kang Danu, kapan saja kamu mau,” kata Nelma dengan senyum yang lebih manis dari sebelumnya.

“Nelma, ternyata kamu manis dan baik ya. Nggak seperti yang dibilang teman-teman ibuku, katanya kamu itu jutek dan judes abis … ternyata sama aku manis tuh,” hahahahahaha, Nelma dan Danu tertawa riuh.

Rupanya hari ini adalah ‘Party Mencari Jodoh’ untuk Nelma yang terakhir.

Setelah makan siang keluarga Pak Dirga dan kedua orang tua Nelma, sepakat untuk memberikan waktu kepada Danu dan Nelma agar saling mengenal lebih jauh, sebelum keputusan menjodohkan mereka disepakati.

Nelma dan Danu juga menerima keputusan kedua orang tua mereka, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Mereka sudah sepakat akan menjadi sahabat, untuk berbagi curhat. Baik Danu maupun Nelma, sudah memiliki kekasih masing-masing dari jenisnya, dan itu tidak diketahui oleh siapa pun.

Bahkan lelaki yang dikasihi Danu, tidak mengetahui bahwa betapa cintanya Danu kepada dia. Demikian pun seorang gadis manis, berambut ikal dan berlesung pipit, tidak tahu betapa cinta Nelma sangat mendalam kepadanya.

Apa pun adanya, cinta adalah anugerah. Pantas untuk disyukuri dan dinikmati. Nelma dan Danu adalah para pecinta, yang tidak memikirkan, apakah harus memiliki orang yang mereka cintai? Cinta bagi mereka, adalah rasa cinta saja, bukan yang lain-lainnya.

Kini Danu dan Nelma sudah di usia senja, meraka masih bersahabat … tinggal satu rumah, bukan sebagai suami istri, tetapi sebagai orang yang saling mencintai.



CitraRaya, 20 Agustus 2015

Tidak ada komentar: