PERSONALITY #3



Ini cerita tentang hari Senin yang bikin males, kata orang-orang kantoran. Pasalnya setelah dua hari libur, malah jadi males kerja … pengen libur terus. Hahahaha—kelakuan.

Lain dengan yang aku rasakan, ketika jadi orang kerja—Senin justru hari yang sangat mengasikan, karena bisa bincang-bincang asik dengan boss besar, yang biasanya duduk di singgasananya, dengan malas-malasan.

Sakata Sang, begitu aku memanggilnya. Dia berkebangsaan Jepang, usianya kira-kira 45 tahunan. Orangnya saklek mendekati kaku, bahasa parasnya. Walaupun manis, tapi kurang asik untuk menyegarkan mata … dingiinnn.

***
“Ririsu, boleh mingta kohi?”


Tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku. Lidah Jepangnya tidak biasa melafalkan huruf konsonan, jadi bunyi panggilannya Ririsu. Hahaha … lucu. Seperti biasa minta dibuatkan kopi, pagi. Dia suka dengan kopi buatanku, kata dia gulanya pas … tidak terlalu manis.


“Siap, Sang!” Jawabku, sambil menyilangkan telapak tangan di dahi tanda hormat. Biasanya dia akan tertawa lebar, melihat tingkah anehku.

“Sang, malam minggu banyak minum anggurkah?” aku membuka percakapan, sambil meletakan kopi di hadapannya.

“Tidak yaa, cumang empatu botor saja.” Jawabnya sambil cengengesan.

“Empat botol? Wow … banyak itu Sang, anda pasti mabuk berat!” Godaku

“Mabuk, sedikitu, tidak apa-apa.” Dia ngeles.

Sebagai ekspatriat, jauh dari istri dan anak-anak, orang-orang Jepang yang bekerja satu perushaan dengan kami, biasa menghabiskan hari liburnya dengan minum-minum, main golf dan cari kesenangan lainnya.

Lama-lama aku bisa nandain mereka … kalau liburannya diisi dengan mabuk-mabukan, dan senang-senang dengan perempuan penghibur, tampangnya loyo dan males-malesan. Tetapi kalau hari libur main golf atau menyelam, kulitnya nampak coklat tetapi kelihatan segar dan gesit, bekerjanya. Tapi kami lebih suka kalau dia loyo, dan malas-malasan. Bisa kerja santai.

***
“Ririsu, biru minum dame ya, kamisama marahkah?” (“Lilis tidak boleh minum bir ya, Tuhan kamu marah?”) Tiba-tiba Sakata Sang, nanya aku.


Sejurus aku berpikir, sebelum menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin juga dijawab dengan bahasa dan alasan agama, dia tidak mengenal ajaran Islam. Sakata Sang, penganut agama Sinto. Selain itu menurutku tidak pada tempatnya menjawab pake alasan ajaran agama, dalam hal ini.


“Tuhanku tidak marah, Sang. DIA sangat tidak dirugikan apa-apa ketika orang minum bir. Tapi orang bisa saja rugi kalau meminumnya.”

Sampai di situ aku terdiam, memperhatikan air mukanya.

“Maksudu Ririsu apa? Benarkah DIA tidak marah?”

Tampangnya kelihatan penasaran, heran. Mungkin informasi yang selama ini dia terima, kalau orang Islam tidak mau diajak minum, karena dimarahi Tuhan-nya. Aku sendiri memahaminya tidak seperti itu.

“Sang, berapa banyak kandungan alcohol pada minuman yang diminum semalam?” tanyaku tiba-tiba.

“Mungking banyaku, Ririsu.” Dia menjawab tergagap … “watasi tidak ingak ya, semalang diantar Andar ke kamar.” Dia kelihatan bingung, menjawab pertanyaanku.

Andar, nama sopir perusahaan yang ditugaskan khusus mengantar Sakata, kapan saja, dan kemana saja dia perlu diantar.

“Sakata Sang pasti mabuk berat ya? Sampai Andar harus antar ke tempat tidur.” Sakata mengangguk malu-malu.

“Sang, itu alasannya kenapa Tuhan larang minum bir. Karena kalau aku minum, apalagi banyak-banyak—pasti mabuk dan lupa. Tidak tahu harus pergi ke mana, akan melakukan apa? Kita akan kehilangan akal sehat, ketika mabuk. Bisa pukul orang, bisa tabrak orang, bisa bunuh orang, dan bisa juga perkosa ona ya, hahaha.”

Dia nampak manggut-manggut, mendengarkan omonganku.

Karena dia terus diam, aku melanjutkan penjelasan tentang minuman menurut pemikiranku. Agar dia paham sikapku, selama ini.

“Sang, alcohol dalam kadar yang tinggi kalau dimasukan ke dalam tubuh, bisa merusak organ kita. Mungkin jantung, paru-paru, ginjal, hati, empedu dan sarap kita rusak. Ketika itu terjadi, apakah Sang tidak merasa susah?”

Mendengar kalimat terakhirku dia nampak kaget, dan berdiri mendekat.

“Ririsu, itu benar … di Japan orang banyaku meningal, jantung sakitu yaa. Orang Japan suka minum biru banyak-banyak.”

***
Banyak yang dia jelaskan tentang penyakit-penyakit yang timbul, menurutnya akibat mengkonsumsi alcohol terlalu banyak. Tapi ribet di kuping, karena bunyi kalimatnya banyak yang lucu, hahahaha.

“Alhamdulillah ....”

Batinku bersyukur, karena tidak harus menjelaskan susah payah. Membacakan ayat atau apa pun juga, yang belum tentu bisa diterima oleh Sakata.

Ternyata dengan menggunakan logika bodohku, dia bisa paham. Bahwa Tuhan melarang manusia minum bir bukan karena marah, tetapi karena sayang. Agar manusia tidak sakit jantung atau hilang akal, hahahaha. Begitu kira-kira kesimpul Sakata, di akhir obrolan kami.

***
“Ririsu, terima kasih … watasi pikir Islamu bagus ya, kasih pelajaran orang. Watasi senang kamu kasih tahu dengan baik.”


Sambil membungkuk berkali-kali, Sakata—boss besar menyalami dengan jabatan tangan sangat erat.

“Terima kasih Sakata Sang, kalau sudah paham.” Kataku, dengan senang hati.

“Terima kasih ya Allah, telah memberikan kefasihan lidahku saat itu. Jika tidak … bisa membayangkan apa jadinya, kalau harus berdebat dengan orang yang tidak fasih ngomong pake huruf konsonan.” Hahahahaha ….

“Sakata Sang, personality-mu tidak bermasalah, meskipun suka ngombe dengan lebaayy!”



CitraRaya, 22 Pebruari 2016.
Mengenang peristiwa tahun 1997 di sebuah pabrik perajutan, di mana aku pernah bekerja.

Tidak ada komentar: