LAYANG-LAYANG PENAKLUK TIRANI


"Kek buatkan layang-layang!"

Pintaku pada kakek, ketika kakek sedang asik meraut potongan-potongan bambu untuk dijadikan layang-layang kakak dan adik lelakiku.

"Huss ...! Ngapain anak perempuan main layang-layang? Nggak boleh, pamali!"

Begitu jawab kakek untuk menolak. Aku diam termangu, tidak mengerti. Dalam hati bertanya-tanya, apa ya pamali itu? Rasanya sering banget kakek mengatakannya. Terutama kalau diminta membuatkan mainan yang sama dengan kakak dan adik lelaki. Waktu diminta membuatkan gagang pancing, juga jawabannya-pamali. Tentang pamali, sangat mengganggu pikiranku setiap hari.

***

Dok! dok! dok!

Kupotong-potong bambu, menggunakan golok, seperti yang dilakukan kakek. Potongan bambu diraut, biar halus, pake pisau tajam. Layang-layang ini harus cepat selesai sebelum kakek datang dari sawah. Kalau kakek melihat pasti dia akan mengatakan 'pamali' lagi padaku. Huh! apaan sih pamali? Tidak masuk akal amat, dilarang main layang-layang karena pamali.

Crek! crek! crek!

Kupotong kertas minyak, warna warni. Dengan getah anak pohon kiray (enau), ujung-ujungnya kurekatkan. Dipasang pada kerangka layang-layang dengan cepat. Lalu kupasang benang pada rangka tulang layang-layang. Kerangkanya ditimbang dengan telunjuk, untuk memastikan bahwa layang-layang bersayap seimbang ... kanan dan kirinya.

"Wah,layang-layang selesai!" Tidak sadar, aku memekik bahagia.

Bug! bug! bug!

Aku berlari di pematang sawah dengan menenteng layang-layang, dan gulungan benang cap kudamas. Dengan berdebar-debar aku bentangkan menuju arah angin.

"Hup ... horeeeee!!" Aku berteriak kecang meluapkan kebahagiaan ... "layang-layangku terbang!"

Hahahahaha. Aku tertawa, terbahak sendiri, seakan ingin memecahkan angkasa raya.

Kakek yang saat itu sedang memotong rumput, setengah melompat memburuku ….

"Hai ... kembalikan layang-layang itu!!" Serunya setengah membentak, bikin aku kaget.

"Tidak mau! ini layang-layangku!!"
Sepontan, aku lari menghindar. Kakek mengejar … aku lari semakin cepat, sambil membawa layang-layang. Berusaha sejauh mungkin terhindar dari jangkauan kekek.

Setelah lelah main layang-layang, aku pulang ... jalan mengendap-endap, lewat belakang rumah. Agar bisa masuk ke dalam lumbung padi. Di sana kusembunyikan layang-layang. Lalu diam-diam aku masuk rumah melalui pintu dapur.

Srettt! awwwww! Aku berteriak keras.

Tiba-tiba kupingku dijewer dari belakang dan rasanya pedes, wah ini pasti tangan ibu. Aku tidak berani menoleh. Dan benar saja, seperti biasa selain menjewer kuping, ibu juga mendamprat habis-habisan, dengan kata-katanya yang lebih pedes daripada jewerannya. Di ujung bale-bale dapur aku melihat kakek dengan senyum jahatnya.

"Hmmm ini dia biang keladinya," gumamku dalam hati.

"Ke sini, serahkan layang-layangnya!" bentak kakek.

"Gak ada!" Jawabku tidak kalah kerasnya.

Jetet! jetet! jetet! Tiga cubitan, pedih mendarat di paha.

"Awww!!" jeritku sambil meronta.

Lalu, kabur berlari ke luar ... terus berlari melewati pematang sawah, dan kebun pisang di ujung kampung. Akhirnya sampai di tepi sungai. Aku segera lompat ke atas batu besar di pinggir sungai, dan tiduran tengkurep, sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal, karena berlari tanpa henti, dari rumah. Sambil berbaring di atas batu, aku bertanya dalam hati ....

"Apa yang salah dengan membuat layang-layang, lalu menerbangkannya? Apa karena 'pamali' maka, aku mengalami jeweran dan cubitan ibu hari ini?"

Saat itu aku tidak merasa sedih sedkitpun. Tapi aku pikir, harus menjelaskannya pada Ibu dan Abah, perihal layang-layang itu. Kapan ya? abah jarang di rumah. Dia selalu bepergian ke luar kota. Konon kata orang, abah itu tokoh pemuda di daerah tempat kami tinggal. Di salah satu kabupaten, bagian dari Propinsi Jawa Barat ... tepatnya di kampung Parakanpolos, Kabupaten Pandeglang.

***

Sore-sore, udara cerah. Abah sudah pulang, sekarang sedang duduk-duduk, di amben depan rumah kami. Menemani aku belajar nulis, pake kapur putih di papan tulis yang berwarna hitam. Selain menulis angka dan huruf-huruf aku juga suka membuat gambar. Gambar layang-layang hahaha, dasar otak layang-layang.

"Gambar apa itu teh?"

Tanya abahku dengan menggunakan panggilan teteh, untuk membahasakan adik-adikku.

"Itu layang-layang Bah, aku membuatnya sendiri.”

"Emang Teteh bisa?" tanya Abah.

"Bisa Bah, waktu itu aku membuatnya, bagus loh dan bisa terbang. Tapi dimarahi kakek dan diomelin serta dicubit ibu," ... "emang anak perempuan tidak boleh main layang-layang Bah?" Tanyaku tiba-tiba.

"Emang Teteh suka main layang-layang?" Abah bukannya menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya.

"Iya aku suka Bah, suka sekali" Abah hanya memandangi saja ketika aku jawab begitu."Kata kakek kalau perempuan main layangan itu pamali. Pamali, apa sih Bah?"

Setelah berpikir sejenak abahku menjelaskan ….

"Menurut abah tidak apa-apa sih Teteh, sesekali main layang-layang, tapi setelah terlebih dahulu membantu pekerjaan Ibu di rumah. Nyuci piring, nyapu, nyuci baju adik-adik, baru main.”

"Hah! … bener boleh Bah?" aku melompat kegirangan.

"Boleh, tapi ingat tidak boleh sering-sering, karena kamu anak perempuan harusnya lebih banyak bantu Ibu di dapur.”

"Iya Bah, tidak apa-apa, yang penting bisa main layang-layang,” aku lompat-lompat kegirangan.

"Aku boleh main layang-layang ya, Bu?" Tanyaku pada Ibu.

"Terus … kalau Ibu jawab tidak boleh, kamu bakal nurut?" Ibuku balik bertanya, hehehe aku nyengir.

"Mubazir ngelarang kamu, nggak ada pengaruhnya.”

Ibu menggerutu sambil mendelik kepada Abah. Sedangkan aku sudah berlari kabur, membawa layang-layang, untuk menantang angin di pematang sawah.

Ooooh indahnya mengenang keberhasilan menaklukan tantangan di dunia kecilku. Untuk pertama kalinya, pada saat usiaku 6 tahun.

Betapa badungnya aku, melawan tirani ‘pamali’ kakek, dengan layang-layang. Dan itu kemenangan yang membekas sangat kuat dalam jiwa, membuat aku selalu ingin membuktikan diri, pada setiap menghadapi tantangan hidup ... hingga saat ini.



CitraRaya, 16 Januari 2015

Mengenang Sekelumit Pengalaman Dunia Kecilku

Tidak ada komentar: