Lintang, maafkan jika aku tidak selembut
yang kau mau. Bahkan, seringkali membuat kamu tidak aman, nyaman dan
bahagia, ketika aku tahu, kau bertindak nakal dan binal.
Mungkin
kamu sangat murka, ketika aku mengatai kamu bajingan! Wagu! Kurang
ajar! Bahkan, kau iblis Lintang!! … itu semua ungkapan cintaku yang
tulus padamu, karena aku ingin kamu menjadi Lintang yang benar dan baik,
melakoni hidup seperti manusia—mulia dan memiliki kehormatan diri.
Meskipun aku … tidak sesuci itu.
***
“Kak Nelma, minggu ini aku akan ke Jakarta ya. Aku harus menemui saudara kembarku, yang sejak balita sudah terpisah. Dia seorang lelaki, yang mirip dengan aku.”
“Kak Nelma, minggu ini aku akan ke Jakarta ya. Aku harus menemui saudara kembarku, yang sejak balita sudah terpisah. Dia seorang lelaki, yang mirip dengan aku.”
Sambil memperlihatkan foto seorang lelaki muda di ruang inbox. Sepintas
wajahnya mirip sekali dengan Lintang—terutama pada bagian mata, hidung
dan mulut.
“Hmmm … mirip juga sama kamu, kapan kamu mau ke
Jakarta … akan mampir ke rumahku?” dengan sikap yang tulus Nelma
bertanya pada Lintang.
“Ya tentunya Kak, memangnya di Jakarta aku
punya siapa selain dirimu? Sekalian aku minta dicarikan mobil rentalan
ya Kak. Dia minta ditemui di kantornya.”
“Kamu perlu dijemput ke Bandara atau mau pulang sendiri ke rumahku?” Nelma ingin tahu keberanian Lintang.
“Terserah Kak, kalau ikhlas aku hilang karena tersesat, dari Bandara,” Lintang merajuk.
“Hmm … dasar manja kamu!” Nelma ngeledek
“Biarin! Apa gunanya aku punya Kakak?” Lagi-lagi Lintang merajuk dengan manja.
Klung! … sambungan inbox dimatikan, Lintang menghilang ….
***
Inbox Lintang pada subuh Rabu … “Kak, aku sudah di Bandara, menuju Jakarta. Diperkirakan pukul 09:00 aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta.”
Inbox Lintang pada subuh Rabu … “Kak, aku sudah di Bandara, menuju Jakarta. Diperkirakan pukul 09:00 aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta.”
“Hah, sarap kamu! Emang hari ini … bukannya hari Sabtu?” Nelma kaget dengan kejutan Lintang yang mendadak.
“Aku udah nggak tahan pengen ketemu dia Kak, rinduku udah puluhan tahun
mengendap,” terasa ada nada sedih dalam barisan kata-katanya.
“Woalaah ... yo wis aku jemput. Ada rental langganan yang aman. Biar aku
titipkan sama Pak Pepen … nama sopirnya.” Dengan senang hati Nelma
menyediakan dirinya.
Dari Bandara Nelma membawa Lintang ke
rumahnya. Sudah disiapkan santapan pagi kesukaannya—nasi putih, sambel
terasi, lalapan pete dan ikan asin. Lintang sarapan dengan lahap,
seperti biasa. Meskipun agak terburu-buru, tapi dia kelihatan
menikmatinya.
“Lintang, perlu aku temani untuk menemui sodara kembarmu?” Nelma bertanya, ketika Lintang usai sarapan.
“Nggak usah Kak, soalnya belum pasti, jam berapa dia bersedia ditemui.
Takutnya aku musti menginap sama dia.” Lintang memberi alasan.
“Apa kamu akan menginap di rumahnya?” Tanya Nelma.
“Nggak, mungkin di suatu tempat. Karena istrinya pencemburu, daripada
salah paham lebih baik aku ajak dia nginep di luar saja.” Ujar Lintang.
“Oh … ya sudah kalau kamu yakin nggak perlu ditemani. Kan Jakarta asing
bagi kamu. Aku titipkan sama Pak Pepen saja ya, kalau ada apa-apa biar
dia yang mengamankan kamu.” Nelma mencoba meyakinkan, meskipun dia tetap
mencemaskan Lintang.
Pada malam hari, Nelma gelisah. Entah apa
yang terjadi, dengan Lintang dan lelaki yang dia sebut-sebut sebagai
saudara kembarnya itu. Nelma mulai dihinggapi rasa tidak nyaman, ketika
membaca postingan Lintang di wall facebooknya. Penuh dengan puisi-puisi
romnatis, menggambarkan kemesraan di antara mereka. Malah terkesan sudah
terjadi hubungan intim di antara meraka … begitu vulgar.
Nelma
tetap tidak berburuk sangka, ketika pada sorenya menemui Lintang di
Bandara. Untuk sekedar mengantarnya pulang kembali ke Yogjakarta.
Dalam perjalanan pulang, Nelma mengajak ngobrol sopir mobil rental yang dipakai Lintang, dari sejak kemaren pagi.
“Pak Pepen semalam tidur di mana?” Nelma memulai pembicaraan, tanpa
berniat menyelidik … “sepertinya semalam kesulitan cari penginapan ya?”
“Kami tidur di hotel, di sekitar Halim Peradana Kusuma Bu. Saya sekamar
sendirian, saya pikir akan sekamar sama Dimaz, sodaranya Mbak Lintang.
Ternyata mereka tidur sekamar berdua.” Papar Pak Pepen.
Deg!
“Mas Dimaz?! … kok namanya bukan Hafiz, seperti yang Lintang ceritakan
padaku,” Nelma membatin, dengan perasaan yang semakin tidak nyaman.
“Tadi pagi, Mas Dimaz dinater ke tempat kerjanya ya Pak?” Nelma kali ini bertanya dengan penuh selidik.
“Iya Bu, di daerah Bekasi. Ternyata sodaranya itu kerja di penerbitan
juga. Tapi kebanyakan untuk buku-buku paket sekolahan.” Lagi-lagi
keterangan Pak Pepen terasa seperti godam yang memukul kepala Nelma.
Membayangkan sosok Dimaz, tiba-tiba kemarahan Nelma memuncak.
Lebih-lebih membayangkan sikap Lintang ketika mengantarnya di suatu
pagi. Dengan mata sendu penuh birahi, Lintang menatap Dimaz, lalu
mencium tangannya, sebelum Dimaz masuk ke dalam bis untuk pulang.
“Lintang kurang ajar kamu! Aku tidak bertanggungjawab kepada suamimu
atas tindakanmu malam ini. Kamu ternyata bohong! Kamu tidak menemui
sodara kembarmu, melainkan menemui lelaki yang bukan muhrimmu, lelaki
yang sudah beristri!” Nelma berteriak, menelepon Lintang dengan kalap.
“Kak Nelma! Jangan percaya sama sopir itu, dia bohong! Aku bisa
menjelaskannya. Semalam aku bertiga di kamar, karena Hafiz tidak mau
ketemu sendirian, maka aku meminta Dimaz menemaninya.” Jelas Lintang,
terdengar suaranya agak gugup.
Nelma sudah kalap, merasa ditipu
mentah-mentah. Sebuah penghianatan yang dilakukan oleh orang yang
dipercayainya. Nelma bukan hanya percaya, tetapi juga merasa hormat
kepada Lintang, saat itu.
Beberapa hari Nelma tidak mau
berhubungan dengan Lintang. Dia tidak inbox, tidak telepon, tidak juga
BBM-an. Dia hanya posting sederet kata-kata di wall akun facebooknya.
“Aku menghormati dan menyayangimu Lintang, aku tidak rela dan tidak
ikhlas jika suatu saat kamu jatuh, tersungkur ke dalam lumpur, karena
lelaki itu.”
***
Nelma mengelus dada, dengan berurai air mata—sakit hatinya tak terkira. Melihat kenyataan bahwa Lintang mendustai dirinya, berhianat di belakangnya, menodai kepercayaannya.
Nelma mengelus dada, dengan berurai air mata—sakit hatinya tak terkira. Melihat kenyataan bahwa Lintang mendustai dirinya, berhianat di belakangnya, menodai kepercayaannya.
Lintang telah melakukan tindakan amoral, tidur seranjang dengan lelaki
yang bukan muhrimnya—lelaki yang sudah beristri. Lelaki yang katanya
saudara kembarnya … Dimaz, lelaki yang pernah datang ke rumah Nelma, dan
menginap. Nelma telah memperlakukannya dengan rasa hormat sebagai
tamunya—sebagai teman Lintang. Ooohhh ternyata ….
“Berapa juta uangku, kau hamburkan untuk bersenang-senang dengan lelaki itu, Lintang?”
CitraRaya, 14 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar