Karya: Lilis M. Usman
Pukul 21.19 wib
Ruang keluarga telah sepi,
penghuni rumah pergi satu persatu, memasuki bilik peraduan. Kecuali sedu sedan
Benwijay yang masih terdengar lirih. Menandakan hatinya masih terluka, setelah
persidangan keluarga, yang berlangsung hebat dan dirasa kejam olehnya.
“Ben, tidurlah—hari sudah
larut.” Wicak dengan lembut menyentuh pundaknya. Benwi menatap
kakaknya, mohon pengertian dan belas kasihan.
“Sungguh aku tidak berhutang
apa-apa kepada Winar, Mas.
Itu fitnah besar! Tidak disangka orang sebesar dia suka fitnah juga.” Benwi
masih meradang, suaranya bergetar.
“Ben, itu bukan fitnah … kamu
tahu persis tentang kebenaran itu. Coba jujur kepada hati nuranimu!” Wicak
mencoba menyadarkan adiknya.
“Winar telah menyerahkan jumlah yang sangat
banyak padamu. Sepuluh kali harga kuda troya, plus duapuluh kali upah pegawai
istana. Dia meminjami kamu dengan hati tulus, hati seorang muslimah. Kepada kawan
barunya yang mengaku mualaf. Bagi Winar,
menjadi mualaf
adalah sebuah
prestasi kebaikan, kebenaran dan keimanan yang luar biasa dan sangat mulia, Ben. Yang mesti diapresiasinya...,”
Wicak menghentikan kalimatnya, sambil menatap lekat mata Benwi.
Wicak melanjutkan kata-katanya, ”Maka, atas penilaian itulah, dia percaya
penuh pada kamu.
Dia memberikan pinjaman tanpa agunan, tanpa bukti transaksi. Bahkan dia tidak
curiga, ketika kamu menolak untuk ditransfer melalui jasa bank. Semua
diserahkan dalam bentuk tunai. Juga ketika kamu menolak untuk ditemui di Balai
Fasta, dia tetap tidak curiga. Dia memilih mengikutimu, bertransaksi di dekat
rumah Minyak, Burung Srondol—seperti
layaknya transaksi bisnis narkoba, hahaha.... Jadi fitnah atau bukan, hanya
kejujuran nuranimu yang bisa mengatakannya, Ben.” Wicak diam sejenak, menunggu reaksi adiknya.
Benwi masih terus membisu, Wicak
meneruskan nasihatnya.
“Jika Winar selama ini diam, bukan berarti dia tidak mempermasalahkannya. Dia orang baik, dia
tulus menunggu kamu menyadarinya.
Dia mengasihi kamu, juga anak-anakmu,''
lagi-lagi hening sejenak.
''Sudahlan Ben, hentikan
petualangan sesatmu. Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun kepada
orang-orang yang bertaubat. Dia memberikan hidayah dan safaat, bagi siapa pun
yang dikehendaki-Nya. Bertaubatlah Ben, kembali ke jalan-Nya.” sambung Wicak.
Mata Benwi nanar menatap ke langit-langit
rumah. Entah apa isi dadanya, kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar