Dua pertiga malam yang
kesekiankalinya dalam minggu ini, yang terbelah tanpa pasrah. Bara itu terus
menyala, siang malam menghunjami dada, tidak terpadamkan kata-kata, atau pun
goda yang menjenaka.
Di penghujung malam, aku
mengendap mendekati dinding kecil di kotak hitam. Kutsentak mesra bidadari
malam, dengan setulus kebencianku akan binalnya. Dia selalu menyambut dengan
seringai culas.
“Hai, Lintang ingat pagi ini
aku harus menghadap Bang Danmiri, dia meminta aku ketemu pukul 09:00 pagi nanti.
Aku mohon kamu kirimi uang dulu kepadanya, biar nanti dia melunak hatinya.
Karena seminggu ini dia sudah membuat aku stress dengan BBM warningnya, yang
tidak henti setiap hari.”
“Iyee,” hanya itu jawaban
Lintang, seperti biasa.
Jawaban yang tampak tak
bersalah, membuat dadaku semakin bergolak, karena merasa dilecehkan. Padahal
kecemasanku membayangkan amukan Bang Danmiri yang tanpa ampun, telah membuat
aku tidak bisa tidur saban malam, selama seminggu.
“Aku tidak butuh iyee-mu di
inbox, Lintang! Aku mau kamu kirim saja uang kepada Bang Danmiri, sekarang.
Biar ketika besok aku bertemu dengannya, dia akan membukakan pintuku!”
Di sebrang sana bidadari malam
terdiam, mungkin dia sedang senyum-senyum riang merayakan kemenangan, atau
sedang menghirup aroma kematian tuan renta, dalam jeratan.
Dari Istighfar sampai umpatan
aku berondongkan di dinding kecil, layaknya suara petasan cabe, di penghujung
malam. Lintang hanya menjawab dengan enteng, tanpa beban tanpa penyesalan apalagi
kekhawatiran.
Hingga subuh pun tiba, aku
bergegas membasuh mulut, muka dan tangan. Mensucikan diri dari jelaga dosa yang
tidak terjaga. Karena setan yang bersinggasana di dada, selalu menyemai bara,
menyala.
“Asholatu Khoirumminannauum,”
panggilan syahdu mengumandang, bahwa sholat lebih baik daripada tidur. Kuimami
subuh kali ini dengan tidak khusuk—separuh pikiranku selalu digoda oleh
bayangan Bang Danmiri, yang sadis tak kenal ampun itu, hingga aku lupa baca doa
kunut. Masya Allah, urusan dunia sangatlah mengganggu.
****
Dengan senyum yang tersisa,
kusambut pagi dengan secangkir teh Tongji. Rasanya sepet tanpa gula, seperti
lengket di lidah dan tenggorokan. Selain itu telah tersaji sayur asem,ikan
asin, tempe goreng, sambal dan lalap pete. “Wuiiiih enaknya jadi rakyat jelita
hehehe.”
“Ma, jadi ketemu Bang Danmiri
pagi ini?” tanya anakku, ketika kami sarapan.
“Ya wajib jadi, kalau pun mama
tidak ke kantornya, dia yang akan datang ke rumah kita”
“Jam berapa janji ketemu, Ma?”
Anakku melanjutkan tanyanya.
“Jam 09:00 nanti … kalau kamu
mau kerja, biar kita keluar bersama saja,” ajakku
***
Setibanya di depan kantor
Danmiri, aku sudah melihat tampang sepet dari luar, melalui kaca ruang kerjanya.
Wajah yang kaku tanpa senyum, membuat hatiku bergidik, aku komat-kamit membaca
doa, sebelum mengetuk pintu untuk meminta ijin masuk.
“Selamat pagi, Bang,” salamku
setiba di ruangannya
“Pagi,” jawabnya tanpa
ekspresi
“Silahkan duduk, Bu,” tanpa
keramahan sedikit pun Bang Danmiri mempersilahkan aku duduk.
“Bu, silahkan ini
ditandatangani,” Bang Danmiri dengan wajah kakunya, menyodorkan selembar kertas
untuk aku tandatangani.
Kubaca dengan teliti kertas
yang disodorkannya, sebelum ditandatangan
“Hah, Astagfirullah!” Aku
terbelalak memperhatikan tulisannya, pada baris isi ‘masuk daftar antrian ….’
“Bang Danmiri, apakah tidak
ada jalan lain selain masuk daftar antrian …?” Tanyaku, dengan wajah memohon.
“Tidak, Bu! Ini sudah
kesekiankalinya Ibu terlambat, selama ini saya sudah terlalu memberikan
toleransi,” jawabnya dengan ketus.
Deg! Kehormatanku merasa
terinjak. Wajahku serasa dibakar, dadaku bergemuruh, bagai suara api membakar
hutan. Dengan mulut terkatup, kutandatangani surat pernyataan bersedia menerima
sanksi. Bergegas aku meninggalkan Bang Danmiri, yang matanya menukikan rasa
jijik, tepat di kornea mataku. Siang yang menistakan harga diriku.
***
Langit Citra Raya mendung,
sedari pagi. Tetapi menjadi semakin gelap setelah pertemuanku dengan Bang
Danmiri.
Sungguh kejamnya sebuah
penghianatan, tanpa bersedia menoleh ke belakang, ketika kepercayaan diberikan
dengan penuh welas asih dan keikhlasan. Hatiku robek dibelah rasa, bingar siang
menggantung, sunyi.
Mendung hari ini menjadi
misteri esok hari, masihkah ada rasa yang perlu dipertahankan? Jika rasa saling
percaya dan kesetiaan sudah diabaikan.
CitraRaya, 5 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar