Sabtu, 5 Juni 2010 pukul 12.30 dengan dianter
Siti ke Bandara Soeta, aku beranikan diri menempuh perjalanan ribuan mils,
untuk memenuhi undangan Trade Union Congress (TUC) ke Inggris. Tekadku hanya
satu, bagaimana orang di luar sana dapat mengenal SPN secara dekat (bukan
melalaui black campaign seperti yang terjadi selama ini). Oleh karena itu aku tidak peduli,
kalau waktu iu aku hanya membawa uang $ 25 plus 250.000 rupiah, untuk bayar
airpot tax, gara-gara uangku habis untuk ngurus persiapannya, dari mulai visa,
asuransi perjalanan dan wara-wiri ke sana kemari. Aku pikir itu bukan problem,
problemku yang utama, bahwa aku hanya ngerti bahasa inggris dengan pasih dua
kalimat saja, “Yes dan No”, nekad banget ya hahahaha.
Bersama-sama ratusan TKW yang
mau berangkat ke Negara Saudi Arabia, aku tinggalkan Indonesia dengan menumpang
pesawat “Emmirate”. Aku transit di Dubai selama 2 jam, baru pada pukul 02.30
dini hari waktu
Dubai, aku meneruskan perjalanan menuju London. Perjalanan yang
hening dan sepi, gara-gara aku gak bisa ngobrol, kecuali pada saat-saat ada
tawaran minuman dan makanan kecil saja aku bicara dengan terbata-bata. Karena
dari Dubai menuju London penghuni pesawatnya gak bisa bahasa Indonesia semua. Kalau ada teman
Indonesia ku yang usil, pasti diteriaki, sariawan neeeng huahahaha.
Tiba di airport London Heathrow, Minggu pukul 9.30 pagi, disambut dengan pemeriksaan
dokumen yang cukup ruwet. Selain saat itu turis yang masuk ke Inggris sangat banyak, karena
musim libur, juga karena alasan keamanan, tapi aku yakin bukan lantaran dikira aku guru ngaji hahaha. Di sana aku
dijemput oleh supir Taxi yang ditugaskan oleh TUC, orang asing yang baru aku
lihat tuh, diantar menuju hotel dalam perjalanan kurang lebih 1 jam. Pukul
10.30 pagi aku sudah berada di hotel Calarendon, hotel mungil, bersih dan
berada di tengah-tengah kota London, diantara rerimbunan pohon ceri.
Masuk kamar, lihat tempat
tidur langsung pengen nyelonjor. Tapi aku pilih mandi dulu, istirahat sejenak,
trus sholat dzuhur. Sedang asyik neliti peta kota London, tiba-tiba pintu kamar
ada yang ngetuk, mikir harus ngomong apa nih sama orang Inggris hihihihi,
ternyata yang nongol seorang perempuan Inggris yang cantik, yang memperkenalkan
diri dengan bahasa Indonesia yang Fasih, Baik dan Benar (YFBB) hahahaha, dia
interpreter ku, namanya Teresa Birks. Syubhanallah, ternyata interpreter ku
orang Inggris, yang bersuamikan orang Indonesia. Dia seorang aktivis juga,
pernah tinggal lama dan bekerja di Indonesia, pernah bekerja untuk Serikat Petani Indonesia (SPI), bahkan pernah mendampingi kasus petani di daerah Cibaliung, Pandeglang. Aku yakin ini
adalah jawaban atas doa-doa dan keresahan yang aku rasakan sebelum dan selama
dalam perjalanan menuju Inggris. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik,
dan aku mendapatkan kenyamanan selama bekerja bersama-sama dengan mereka.
Pada pukul 13.00 waktu siang
bolong London, aku, Teresa dan coordinator program TUC, seorang perempuan
India, Sharon Sukhram namanya, pergi mencari makan siang dan berjalan-jalan di
dalam kota London. Melihat taman hiburan rakyat, Istana Ratu Inggris, kantor
Perdana Menteri Inggris, tenda Democratic Village dan ikut ritual ganti sift
penjaga Istana, hahahaha. Kota yang cantik, dengan bangunan ber-usia ratusan
tahun.
Agenda Kegiatan ku Dimulai
........................
Senin, 7 Juni 2010, pukul 09.00 waktu
London, Sharon jemput ke hotel, mengajak aku ke
kantor TUC,
disana sudah menunggu Teresa. Setelah berkenalan dan basa-basi dengan para pimpinan
di TUC, selanjutny kami mulai bekerja, untuk mempersiapkan presentasi ku.
Membahas bahan presentasi, beberapa kasus,
dan apa yang harus menjadi pointer pada presentasi yang akan dilakukan sore
hari di aulla TUC. Bahkan kami melakukan simulasi presentasi selama 30 menit,
dan membahas penajaman-penajaman materinya. Karena aku jadi Keys Note Speaker pada pertemuan sore itu.
Pukul 16.00 sore, tiba saatnya
aku dipersilahkan untuk bicara, dihadapan sekitar 50 orang pejabat penting perwakilan TUC, konsumen dan wartawan.
Aku didampingi Doug Miller dari ITGLWF, yang ternyata dia seorang professor di Universitas Northumbria. Acara ini dimoderatori oleh wakil sekretaris jenderal TUC.
Aku mulai presentasi dengan ucapan “Aku merasa sangat bangga
menjadi orang
SPN, yang punya kesempatan bicara di depan audiens, dari orang-orang penting
dalam ruangan kongres TUC, ruang yang paling penting dalam gedung ini”. Selanjutnya menyampaikan tentang keberadaan SPN. Mulai
dari sejarah sampai kepada persoalan apa saja yang saat ini tengah
diperjuangkan SPN bersama anggotanya di Indonesia. Hal lain yang juga aku
sampaikan adalah tentang kenapa aku sampai datang ke Inggris?
Rekomendasi ITGLWF kepada
TUC untuk mengundang SPN terlibat dalam kampanye Play Fair Olympiade 2012 di London.
Adalah hal
yang sangat penting untuk memposisikan kedudukan SPN dalam gerakan serikat
buruh International. Dimana SPN memiliki
kurang lebih 150.000 orang anggota, yang bekerja pada
perusahaan pembuat pakaian olah raga ber-merk,
seperti: Adidas, Nike, Reebok, Puma, New Balance, Mizzuno dll.
Kemegahan Olympiade, kejuaraan sepak
bola dunia dan event-event olah raga international lainnya, telah memberikan keuntungan yang sangat melimpah bagi
seluruh buyer besar dunia. Tetapi tidak banyak
yang tahu, bahwa di balik semua kemewahan itu, ada serentetan tragedi
kemanusiaan, yang dialami oleh buruh-buruh pabrik pembuat seluruh matrial keperluan pesta olahraga,
termasuk buruh di Indonesia. Kebebasan berserikat yang tidak diakui
secara benar, upah buruh rendah, tindak kekerasan di tempat kerja, pelanggaran
K3, mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak dan outsourcing, dan banyak hal
yang merupakan pelanggaran HAM terjadi.
Maka SPN yakin ini merupakan
forum penting bagi jaringan serikat buruh International, dimana
ITGLWF sebagai afiliasi hadir, dan TUC memfasilitasi
pertemuan ini. Agar forum ini membangun komitmen bersama, menyuarakan tuntutan
kepada buyer, agar buyer mengakui secara faktual, bahwa mereka memiliki buruh,
di pabrik-pabrik pakaian dan peralatan olah raga, dari merk yang mereka punya.
Dan oleh karena itu, mereka harus bertanggungjawab kepada kondisi kerja buruh,
di belahan bumi mana pun, mereka melakukan usaha untuk membuat pakaian dan
peralatan olahraga.
Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang, memang punya persoalan dengan tingkat pengangguran yang tinggi.
Tetapi kondisi itu tidak boleh dijadikan alasan, untuk melakukan penindasan dan
pengingkaran terhadap hak-hak hidup manusia. Begitu
deh kira-kira bicaraku sebagai orang SPN,
di Inggris sono hohohohoho.
Bagian
penutup pidato yang aku sampaikan, atas permintaan audiens, adalah menceritakan bagaimana
proses pembuatan dan perundingan protokol FOA dilakukan di Indonesia. Baru aku
tahu saat itu, bahwa Indonesia dijadikan negara pertama, dimana negosiasi antara buyer, supplier dan serikat buruh dilakukan, untuk merundingkan isu kebebasan berserikat.
Jika negosiasi di Indonesia berhasil dilakukan, maka hasil kesepakatannya akan
dijadikan acuan untuk dilakukan di negara lainnya. Positif
juga untuk SPN,
menjadi salah satu bagian, serikat buruh yang ikut mengambil
peranan penting dalam ide besar ini.
Selasa, 8 Juni 2010 pukul 09.00 waktu
London,
Aku kembali ke kantor TUC. Pagi ini aku bertemu dengan Anne dan Bens, untuk berbicara
tentang
Ethical Trade Initiative (ETI). Ini merupakan sebuah perlindungan alternative untuk pekerja.
Ada banyak brand yang menjadi anggota dan
berkomitment untuk melaksanakannya. Seperti: M & S, Adidas, GAP dan Pentland.
tetapi
Nike belum
terlibat dengan ETI.
Aku terkejut bahwa GAP dianggap
sebagai salah satu “brand yang baik” di London, karena kita tahu bahwa mereka banyak melakukan pelanggaran di Indonesia. Buruh kontrak lebih banyak dipekerjakan di pabrik
produsen GAP, ketimbang buruh tetapnya. Upahnya juga rendah, kebebasan
berserikat juga jelek. Aku pikir keanggotaan GAP dalam ETI, hanya kepentingan kehumasan (branding image) Salah satu janji yang tidak
pernah dipenuhi oleh GAP kepada SPN, adalah memberikan daftar
perusahaan yang mengerjakan GAP di Indonesia, dan GAP juga tidak pernah mensosialisasikan isi ETI kepada supplier, apalagi
kepada buruhnya.
Bens menyarankan agar mempertimbangkan strategi bagi kita (SPN), agar ITGLWF bisa membantu
perekrutan
anggota baru melalui komunikasi international, yang dilakukan antara ITGLWF
dengan Brand. Brand bisa membuat komitment kepada afiliasi international, bahwa
mereka akan menerima SPN sebagai serikat pada perusahaan produsen branding.
Kami mendiskusikan strategi
pengiriman informasi kepada ITGLWF, tentang masalah yang dialami anggota, dan ITGLWF harus
memahami, bahwa kami memiliki dilema atas persoalan itu. Selama ini jika kita melaporkan isu ke international,
biasanya pilihan buyer meninggalkan buruhnya. Ini yang masih menjadi
kekhawatiran buruh, meskipun pada semua kasus penutupan pabrik, tidak ada yang disebabkan oleh buruh. Semuanya karena
kesalahan manajemen, termasuk karena tindakan korupsi. Aku meminta dan berharap kepada mereka, bahwa
materi tentang isi ETI dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga
kita dapat mensosialisasikannya kepada anggota dan
buruh lain di Indonesia.
Saatnya jalan-jalan, aku pergi dengan Teresa
untuk “investigasi” produk Indonesia di pertokoan kota London. Kami pergi ke
Oxford Street, untuk melihat apakah kita bisa menemukan pakaian dan sepatu di
toko-toko, yang merupakan produk Indonesia? Kami
pergi ke M & S, di sana kita tidak menemukan made in Indonesia, toko sepertinya didominasi barang dari Cina, Turki,
Bulgaria dan India. Tetapi di toko lain, kami menemukan beberapa celana panjang H&M, yang
dibuat di Indonesia. Sekali lagi Cina tampaknya mendominasi. Saya berprasangka, jangan-jangan sebagian dari apa yang dibuat di
Indonesia, dibawa dulu ke Cina, kemudian label dipasang di sana, sehingga dieksport sebagai buatan Cina. Untuk hal ini aku pikir perlu mengklarifikasi kepada anggota SPN di pabrik yang mengerjakan
pesanan merk.
Kami pergi ke Nike Home Town, tapi ternyata Nike libur. Kata Teresa Nike tahu aku mau datang hehehe. Akhirnya kami pergi ke JD Sport, di mana kami menemukan banyak
sepatu Nike dan Adidas,
yang dibuat buruh Indonesia. Ada juga dari Cina dan Vietnam. Sepatu Nike dan Adidas, di toko ini dijual dengan harga berkisar £ 50,00-£ 60,00, setara dengan Rp 650.000 – Rp 780.000, dan kami mengambil
beberapa foto di sana. Di toko GAP kami juga menemukan beberapa kemeja yang dibuat di Indonesia. Sebuah kemeja GAP
dijual dengan harga £ 35 – £45, setara dengan Rp 455.000
– 585.000,- Tetapi di toko La Senza, tidak ada made in Indonesia. Padahal menurut
keterangan Hotni seorang buruh
garment, anggota SPN di PT. Libra, mereka memproduksi
merk La
Senza, dengan tujuan eksport ke Inggris. Di sini yang ada semuanya made in China.
Kembali ke kantor, di TUC kami bertemu dengan
Bens lagi, dan dia mengatakan kepada
kami tentang Inditex. Bahwa mereka telah mengakui praktek menjahit label, di
negara selain di mana pakaian itu dibuat,
artinya bisa
jadi asumsiku benar tentang apa yang dilakukan oleh China. Dan
ternyata menurut data Inditex, bahwa Indonesia tidak termasuk ke dalam 6
negara produsen terbesar, yang memproduk pakaian
bermerk tadi. Artinya China lah yang punya. Sebagai orang serikat buruh, aku
koq merasa tersinggung dan sakit hati begini ya ? sebenarnya bagi negara dan
bangsa, ini persoalan apa bukan ya????
Sore ini, masih di kantor TUC aku
menerima wawancara dari Jo dan Paul dari Majalah Anti-Perbudakan Internasional.
Ini sebuah wawancara
panjang
sampai 2 jam - mereka memiliki majalah bulanan. Dan mereka termasuk bagian dari tim kerja
kampanye Olympiade, yang disebut “suara dari lapangan”
Acara
penutup hari ini, aku berbicara di pertemuan NUJ (National Unions Jurnalist), setelah mengenalkan diri
dan SPN, aku hanya mengatakan “sangat penting bagi
kita untuk bekerja sama dengan wartawan. Karena mereka adalah orang-orang yang
dapat mengangkat dan menyebarkan informasi kepada masyarakat umum. Maka pada kesempatan ini,
terkait dengan Olimpiade, yang akan dilaksanakan
di London pada 2012, saya meminta anda semua, untuk menjadi juru kampanye dalam memperjuangkan hak-hak buruh, termasuk buruh
Indonesia.
Rabu, 9 Juni 2010,
Aku dan tim kerja, Teresa dan Sharon berpindah tempat
aktivitas, ke Inggris bagian utara. Pukul 07.00 pagi, kami berangkat ke Nottingham. Aku harus menyeret koper besar, karena hotel di London
tidak biasa menerima titipan. Walau pun dua hari mendatang, aku akan kembali ke
hotel ini.
Perjalanan kereta ke
Nottingham benar-benar indah, aku menikmati pemandangan alam, perkebunan dan
pertanian. Di Indonesia, pemandangan seperti ini, sudah banyak yang hilang,
diganti pabrik dan rumah. Mulai kelas RSS sampai Real Estat. Di Nottingham kami dijemput oleh Sean dari Serikat Community, yang membawa kami ke sebuah pabrik kaus kaki di
Belper. di pabrik ini kami diajak tour pabrik oleh Mel, seorang perempuan gesit perwakilan manajemen. Aku jadi ingat kerja di
Argo Pantes, karena pabrik yang aku kunjungi produsen knitting, dulu aku kerja di knitting juga. Wah hangatnya gerakan
mesin pabrik, membuat aku rindu teman-temanku
di Tangerang hik hik hik hik.
Di perusahaan ini mereka banyak membeli mesin baru, yang
tidak membutuhkan begitu banyak tenaga kerja, oleh karena itu tidak ada penerimaan tenaga kerja lagi. Hubungan kerja antara manajemen dengan serikat cukup baik. Bahkan mereka dapat menyepakati tidak naik
upah sampai dua tahun. Sistim pengupahan dihargai berdasarkan skill. Untuk meningkatkan skill buruh, manajemen perusahaan
menyediakan pusat pendidikan dan memiliki kelas ESOL untuk pekerja, ini istilah mereka. Buruh banyak berasal dari
masyarakat bekas jajahan Eropa Timur. Kami bertemu beberapa pekerja saat kami berkeliling pabrik,
dan mengambil beberapa foto.
Selepas itu, Sean membawa kami
ke sebuah acara, untuk bertemu dengan beberapa anggota serikat Community. Mereka semua korban dari penutupan
pabrik, karena buyer telah pindah ke negara-negara dunia ketiga. Diantaranya negara Indonesia, di mana buyer dapat membeli produk lebih murah. Mereka ter-PHK tapi tidak keluar dari anggota serikat. Di sana aku bertemu Brenda dan Ellen yang masih militan dan
aktif, meskipun mereka
telah kehilangan pekerjaan.
Ini pertemuan yang sangat menarik. Dengan mereka aku bisa berbagi pengalaman. Mereka memberi kami saran yang
baik tentang cara kampanye. Mereka mengatakan bahwa kita memiliki banyak kesamaan,
masalah yang sama. Kecuali satu yang beda, mereka tidak pernah dapat
penekanan dan intimidasi dalam menjalankan serikat, kebebasan berserikat di tingkat pabrik cukup baik. Mereka sepakat, bahwa penting memiliki
serikat kerja di tingkat internasional, sehingga kita dapat berbagi apa yang terjadi dan
saling membantu. Mereka sebagian besar bekerja di pabrik-pabrik yang membuat
pakaian dalam, kaus kaki, kembang gula, kotak timah dan jok mobil. Aku kaget mengetahui, bahwa
pelaksanaan K3 di tempat kerja mereka, juga sangat buruk.
Perjalanan dilanjutkan ke Newcastle, dengan kereta api, di bawah hujan lebat ala
Inggris, berrrrrrrr dinginnya rek. Dekat station kami masuk ke sebuah hotel besar dengan karpet
biru, warna kesukaan ku, bagus banggeeet. Sebelum
tidur, malam
itu kami pergi cari
makan,
ketemu dengan makanan India, yang tumben enak,
karena biasanya
aku gak suka tuh! Soal kamar hotel, aku diuntungkan
oleh kelalaian kerja coordinator program TUC. Seharusnya mereka pesan kamar
tiga untuk kami, ternyata hanya pesan dua kamar. Karena kesalahan reservasi ini, akhirnya Sharon
pesan kamar mendadak, celakanya tidak ada yang standard, karena hotel penuh.
Akibatnya aku
dapat kamar eksekutif yang besaaar,
baguuus, tapi sangat menakutkan. Hiiiiy merinding terus, sepertinya ada hantu nih. Karena hotel itu dibangun pada tahun 1828, wah aku gak
bisa tiduuuuur!
Kamis, 10 Juni 2010, jam 09.00 pagi, jalan-jalan dulu ah, menikmati
indahnya Newcastle, menyusuri pinggiran sungai, lihat-lihat gedung, benteng dan
jembatan yang dibangun ratusan tahun silam.
Anggap aja masuk lorong waktu, kembali ke jaman kuno-kaya di
film gitu hehehehe. Sambil menunggu Ashling
Seely
menjemput, kita menikmati semua hal yang
indah di Newcastle. Hari ini tim kerja bertambah satu perempuan lagi, dari kantor ITGLWF, wah bakal tambah seru nih.
Sebelum makan siang Ashling dan Francis Doherty dari ITGLWF datang, kita langsung pergi ke
kampusnya Doug Miller "Universitas
Northumbria". Karena hari ini aku harus berbicara di kampus. Sayang Doug Miller sedang pergi ke Banglades, untuk bantu anggota,
buruh
garment yang sedang bermasalah. Kita makan siang di kantin kampus. Karena makanannya asing semua, untuk mengamankan
perut sekaligus kantong, aku pilih menu putus asa “spaggeti seafood, alias mie
campur kuah saus udang” perutku udah rindu nasi tahu hehehehe.
Pukul 14.00 siang, aku
dipersilahkan masuk ke sebuah aula yang telah dipenuhi mahasiswa dan dosen
jurusan pashion. Berbicara dihadapan dosen dan mahasiswa, aku merasa lebih
nyaman, karena mereka relatif lebih mudah memahami. Meskipun pertanyaannya
sering di luar dugaan. Setelah memperkenalkan SPN dan tentang
ke-buruh-Indonesiaan. Aku katakan, bahwa kehadiran SPN di Inggris adalah dalam
rangka melakukan kampanye tentang hak-hak buruh.
Melalui event olahraga international, sekelas piala dunia dan
Olympiade London 2012. Kami merasa
berada dan berbicara kepada kelompok yang tepat. Karena dosen punya
pengaruh untuk bicara pada halayak, dan mahasiswa, kemungkinan akan menjadi
buruh atau bahkan pengusaha juga. Maka dengan mereka mengetahui kondisi kerja buruh, bisa menjadi hal yang baik untuk keberhasilan kampanye
kami. Terima kasih anda semua sudah mendengarkan kami, dan kami akan menjawab
dengan senang hati, jika masih ada pertanyaan, demikian aku menutup pidato ku
di kampus.
Sebelum keluar ruangan seorang mahasiswa fashion dan pemasaran, bernama Rosie Dobby menghampiri aku, dia bilang akan masuk ke bisnis pakaian
olahraga, tapi ingin melakukannya secara baik dan ber-etika. Dia pernah tinggal enam bulan di
Kamboja. Dia bertanya pada ku, apakah mahasiswa dapat datang
ke SPN, untuk melakukan semacam observasi kerja. Aku pikir kalau dia serius
ideanya bagus juga. Aku bilang padanya, hampir setiap tahun SPN kedatangan
mahasiswa luar negeri, yang sedang melakukan
penelitian untuk thesisnya, jadi ya SPN sering membantu mahasiswa riset.
Saatnya pergi ke kantor afiliasi,
kami pergi ke kantor ITGWF, sungguh menyenangkan bisa berada di kantor afiliasi, serasa pulang kandang. Di sana aku ngobrol dengan Ashling
dan dua pengurus lainnya. Kantor ini kecil banget dan berantakan, kaya kantor SPN juga di Jakarta, jadi aku betah disini.
Pantesan saja ITGLWF tidak bisa membantu optimal
afiliasinya, rupanya problemnya sama tidak
punya duit hahay. Mereka juga harus berjuang mencari dana, untuk membiayai
organisasi dan memberikan pelayanan kepada semua
anggota, termasuk SPN dan Garteks pula. Kita tidak dapat berharap, semua yang kita mau dari afiliasi, dapat dipenuhi, kita
sama-sama punya banyak keterbatasan.
Aku bilang kepada Ashling dan
kawan-kawannya, bahwa ITGLWF harus yakin dan percaya diri. Harus banyak
mengambil peranan dalam gerakan serikat
buruh International, dibandingkan dengan NGO’s. Karena ITGLWF punya
anggota banyak, dan yang penting kita ini
serikat
buruh. SPN agak kesulitan menyesuaikan diri, kalau harus bergerak selalu
berdampingan dengan NGO’s. Karena kita punya cara
pandang yang sangat berbeda, dalam menyikapi persoalan buruh. Menjadi penting
juga untuk ITGLWF menjelaskan, tentang kedudukan dan
fungsinya dalam gerakan buruh international, kepada anggota SPN dan Garteks. Karena selama ini, kami di Indonesia,
masih menganggap
bahwa ITGLWF sama dengan NGO’s. Sehingga untuk
menyelesaikan persoalan, yang terkait dengan
kapitalis international, seperti Nike dan Adidas
serta brand lainnya, kami masih ragu untuk melibatkan ITGLWF.
Sore hari kami mengadakan
pertemuan di TUC Newcastle, dihadiri PCS, UNISON, termasuk kelompok pemuda,
dan wakil-wakil kelompok perempuan serta mahasiswa. Ini adalah forum yang sangat variatif yang aku suka. Disini aku bicara hanya 20 menit, dengan materi yang sama. Selanjutnya kami banyak mendiskusikan
strategi kampanye.
Hal yang menarik, melihat mereka bisa
langsung turun ke perencanaan. Seperti apa
tindakan dan kegiatan mereka untuk terlibat dalam Play Fair. Ini benar-benar menarik, melihat peserta diskusi begitu antusias dan berkomitmen, dengan banyak
ide bagus. Aku menyukai pertemuan ini. Salah satu
perwakilan pemuda, James dari UNISON, siap terlibat dengan
keterampilannya menggunakan IT, untuk berkampanye. Malam
itu kita ditraktir makan oleh Keith dari TUC Newcastle, dan James ikut bersama kami. Anak kecil ini pintar dan lucu sekali. Kembali ke hotel,
sibuk meriksa e-mail untuk melihat kegiatan aksi Play Fair di bundaran HI Jakarta, sampai jam 04.00 subuh. Hoaaah ngantuk!
Jumat, 11 Juni 2010, pukul
07.00 waktu Newcastle, Ashling sudah datang menjemput
untuk berangkat ke Glasgow, aku pergi dengan Teresa, Sharon dan Ashling
dengan kereta pagi. Ternyhata
kepagian hahaha, tetapi karena itu kami dapat tempat duduk di kelas satu. Jadi kami banyak dapat minuman, teh, kopi dan makan biskuit
gratis. Dalam perjalanan kita diskusikan strategi yang sangat intensif, diskusi yang banyak
menghasilkan strategi baru untuk kampanye. Dan membahas kelanjutan perundingan
Protokol FoA, yang sedang macet di Jakarta.
Dari diskusi ini aku baru ngerti, kenapa buyer menolak pasal
membebastugaskan pengurus di tingkat pabrik? Ternyata permintaan kita sudah
disalahtafsirkan oleh mereka. Mereka berfikir, pembebastugasan itu untuk
melakukan rekrutment anggota. Padahal yang kita maksud, untuk melakukan pelayanan anggota, melakukan monitoring
tentang pelaksanaan aturan kerja di pabrik, seperti Undang-undang Ketenagakerjaan, PKB dan International Labour Standard lainnya, yang sudah disepakati.
Sesampai di Glasgow, pertama kami pergi ke
STUC
dan meninggalkan barang-barang kami di kantor itu. Karena jadual bicaraku masih jam
14.00 siang, padahal kami sudah tiba pada pukul 10.00 pagi. Udara di sini
hangat, dengan matahari yang cerah, kami pergi melewati taman-taman kota, untuk
berjalan-jalan agar
menemukan sesuatu yang bisa dimakan.
Sedang asik menelusuri trotoar
kota Glasgow, aku benar-benar terkejut ketika ada seorang kakek tua mendekati kami. Masalahnya diantara kami tidak ada yang tahu dari mana datangnya kakek
itu. Dan
tampaknya dia tertarik untuk mengetahui semua tentang aku. Kakek itu bernama Tommy, berusia 85 tahun. Dia sudah melakukan perjalanan
keliling dunia, pada masa mudanya. Ia bahkan telah ke Jakarta dan tinggal di
Jakarta pada 1970-an.
Dia bercerita, pernah mengajar
bahasa Inggris di Jepang. Awalnya bertemu dengan seorang pramugari penerbangan Jepang, yang ingin
belajar bahasa Inggris, tetapi
pramugari tadi tidak mampu membayar. Kek Tommy mengatakan kepada pramugari tadi, belikan saja saya burger,
dan saya akan mengajar anda. Aku pikir orang ini baik dan pedulian amat ya. Aku pikir Kek Tommy orang gerakan kirinya inggris. Dia bilang dia komunis waktu dulu. Pasti dia orang
eksentrik, tapi begitu luas pengalamannya, menakjubkan. Tapi aku masih berpikir, mengapa
dia ingin cerita
kepada
kita ya? Padahal tidak kenal sama sekali, kejadian aneh neh!
Selesai makan siang, kami kembali ke STUC, di sana sudah ditunggu
oleh beberapa orang dari lembaga bernama SPM, ada perwakilan dari parlemen
Glasgow, ada bankir dan aktivis masyarakat lainnya. Sekali lagi itu adalah
pertemuan yang baik meskipun sangat singkat dan tidak banyak melibatkan orang. Aku hanya bicara 15
menit, selanjutnya kita langsung membahas strategi dan mengambil tindakan untuk kampanye Play Fair 2012. Perwakilan dari STUC
benar-benar mampu merumuskan beberapa tindakan. Menurut mereka, Play Fair 2012 sangat penting bagi Glasgow, karena
mereka akan
ada event olahraga yang disebut “Commonwealth Games” pada tahun 2014. Ini sangat penting, karena SMP sudah
terlibat dalam penawaran untuk Games Glasgow. Diskusi ini banyak memberi
informasi, dan mereka sangat tertarik untuk terlibat dalam kerja kampanye kami.
Inilah akhir tour kampanye ku, di Glasgow, Inggris Utara.
Perjalanan pulang ke London, dengan kereta class 1,
cihuuuuy, pulang! di tengah-tengah kegembiraan, aku bertanya pada Sharon dan
Ashling, apakah SPN membawakan perananya dengan cukup baik, dalam program ini ?
mereka bilang, You are the Best Speaker !!
hahahaha masa iya ? aku ngakak spontan. Ya mereka bilang, karena semua audiens
terpropokasi, dan mereka selalu antusias untuk terlibat langsung, mendiskusikan strategi
untuk ikut kampanye tentang “tragedi
penindasan buruh di balik kemewahan event olahraga international” Alhamdulillah,
tidak sia-sia aku datang ke Inggris dengan susah, payah dan asyik hehehe, kata
ku sambil ngekek.
Aku hanya bisa bilang terima
kasih, SPN sudah diberi
kesempatan untuk terlibat dalam program besar ini. Aku jadi merasa banyak
belajar dan menimba pengalaman baru. Aku hanya bisa berharap bahwa ini bisa aku
lakukan bersama kawan-kawanku di Indonesia, amien.
Karena aku cape dan ngantuk,
dengan menutupi seluruh tubuh pake jaket, aku terus lelap tidur dan
mendengkur, tetapi oleh
kedua perempuan Inggris, penjahat baik hati itu, Teresa dan Sharon, aku difoto dengan judul “buruh borjuis malu ketauan naik kereta
kelas satu” dasar penjahat!! Hahahahaha.
Setiba
di London, aku kembali ke hotel, untuk nginap satu malam lagi, karena besok pukul 14.00
siang aku harus ke bandara, untuk ikut penerbangan jam 17.00 sore menuju Indonesia.
Jam 22.00 malam aku packing sambil menunggu sholat maghrib dan isya sekaligus,
dan baru tertidur jam 24.00 menjelang dini hari, lumayan tertidur beberapa jam.
Selepas sarapan, aku duduk di lobby hotel, sambil menikmati sejuknya udara
pagi, di London. Kira-kira pukul 10.00 pagi, Sharon ngajak aku pergi, untuk lihat-lihat kota London
terakhir kalinya, sambil nyari makan siang. Kami makan siang di lesehan India,
di sana ketemu Teresa dan suaminya, bang Osmar, Indonesian peranakan medan-padang. Aku langsung ngakak sama
dia, cerita yang aneh-aneh
ala Indonesia, sedikit kerinduan ku pada kawan-kawan ku terobati, karena
punya teman ngakak.
Saatnya pulang……
Pukul 14.00 siang aku berangkat
ke bandara London Heathrow dengan sopir taxi, dilepas dari pelukan Sharon dan Teresa tim kerja perempuan
yang sangat gila kerja. Dengan diantar Assalamu’alaikum oleh bang Osmar, ikhwan muslim ku satu2nya di
Inggris, aku pulang menuju Indonesia. Ada rasa haru yang
mendalam, ada rindu premature datang menyeruak, menyerbu kalbu ku. Dengan isi dompet beberapa
pound, sisa makan dan beli
keperluan selama tinggal di Inggris, yang mahalnya audzubillah itu. Oh ya kawan, selama di
Inggris, aku
dapat uang makan £ 20
sehari,
dapat
penggantian Visa dan Viskal £ 95, setara dengan 1.195.000 rupiah. Karena di Inggris aku jadi
pembicara in solidarity for unions movement, jadi gratis. Tapi harga
pengalaman dan pengetahuan yang aku dapat jauh lebih mahal, dan tidak akan
pernah terbeli deh hehehe.
Pukul 17.00 sore waktu London,
aku bertolak dari airport London Heathrow, dan tiba di Dubai pukul 23.30 waktu
Dubai. Seharusnya aku ikut terbang menuju Indonesia pukul 04.15, tetapi
Innalillahiiii..................................
Aku tertinggal pesawat di Dubai!
karena terlalu lelah, tertidur di tempat nunggu ceck in. Aku jadi
lkxjka;aksdhsdfsdfjksgkl?????!!!! Seharusnya pukul 04.15 subuh aku sudah terbang. Dengan kepanikan yang tidak alang
kepalang, aku berusaha dapat toleransi petugas, untuk dapat ceck-in. Dengan bahasa inggris yang terbatas, aku berusaha untuk bisa
pulang,
gagal!
Merubah jam terbang, wah gimana kalau kena bayar
tiket baru ya, kan aku gak punya duit, kecuali 100 ribu rupiah dan beberapa pound yang gak
mungkin cukup untuk beli tiket pesawat. Dengan panik aku mojok, sholat dan berdoa, bahkan baca Qur’an,
agar Allah
kembali hadir di dekat ku. Alhamdulillah ternyata Dubai tidak sekejam ibukota
dunia, aku gak perlu bayar untuk menukar jam terbang, hahahaha aya-aya wae siah.
Pukul 11.00 siang waktu Dubai aku
terbang ke Indonesia dengan para TKW yang pulang dengan penderitaan, karena kebanyakan diantara mereka gak dibayar upahnya, ada
yang 1 tahun ada yang 2 tahun, selama bekerja. Tiba di bandara Soetta,
Tangerang Kota, Indonesia Raya, Senin dini hari pukul 01.00, dijemput oleh Siti
bersama mas Misno, ketua DPC SPN Kota Tangerang. Seluruh tubuh serasa remuk
redam............ Alhamdulillah, selamat dan dapat menunaikan tugas dengan
"Baik"
“ I Love You Indonesia, I Love SPN for Ever”
Ditulis bulan Juni 2010, selepas
menjalankan tugas, sebagai pengurus DPP SPN