Menangkap Ikan Kakek


Gubrakkk!
Sepotong alu kayu melayang nabrak dinding papan nyaris mengenai kepala seorang anak gadis berusia 6 tahun yang tengah bermain dengan 2 orang saudara laki-lakinya. Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun kakaknya dan satu lagi anak laki-laki berusia 4 tahun adiknya. Mereka tengah asik bermain petak umpet, sambil berlari-lari, teriak-teriak dan tertawa-tawa suaranya memekakan telinga. Sementara ibunya sedang menumbuk padi di dapur. Seketika suara hening, tiga anak kecil saling berpandangan dengan muka pucat karena shock.

"Wah ibu marah, hayu kita pergi...kita mainnya di luar saja" Aa Idam memecah kesunyian, tanpa berkata apa-apa Nelma dan Yan mengikuti kakaknya pergi ke luar, karena dua anak kecil ini masih dag dig dug jantungnya belum reda dari rasa kaget dan takut dengan murka ibunya.

"Aa Idam kita mau ke mana?" Yan bertanya setelah berjarak 50 meter dari rumahnya "kita main di halaman rumah Kakek saja ya" Aa Idam menjawab pertanyaan Yan..."kita mau main petak umpet lagi ya Aa Idam?" Aa Idam masih bungkam, karena dia belum tahu adik-adiknya mau diajak bermain apa.

"Assalamu'alaikum" Aa Idam memberi salam setelah tiba di rumah Kakek..."Wa'alaikumsallam" suara Nenek memnjawab dari dalam dapur "siapa itu?" suara Nenek masih di dalam dan belum membukakan pintu "Idam sama Nelma dan Yan Nek" Aa Idam menjawab..."ada apa Idam? Kakek tidak ada di rumah" Nenek bertanya sambil membuka pintu dan wajahnya menyembul dari balik pintu.

"Idam sama adik-adik boleh main di sini Nek?" Idam bertanya untuk minta ijin bermain di halaman rumah Kakeknya "boleh, tapi jangan berisik ya Bibi kecilnya lagi bobo" Bibi kecil itu anak Nenek dan Kakek yang baru berusia 1 tahun. Biasanya mudah terbangun kalau mendengar suara ribut sedikit saja. "Iya Nek kami janji tidak akan ribut" Aa Idam menyanggupi permintaan Neneknya. Maka bermainlah tiga kakak beradik itu, berlari-larian kian kemari sambil tidak henti-hentinya berteriak dan tertawa-tawa. Namanya anak-anak bermain sulit untuk tidak bertingkah seperti itu. Tak ayal lagi suara mereka telah membuat Bibi kecil terbangun dari tidurnya "woaaaaaaaa...woaaaaa" jeritnya membuat Nenek setengah berlari menghampirinya ke dalam kamar. Tiba-tiba Aa Idam meletakan telunjuk di bibirnya, memberi isarat kepada kedua adiknya untuk diam.

"Hayu kita lari sebelum diomelin Nenek" ajak Aa Idam kepada kedua adiknya..."kita mau kemana lagi Aa Idam" Nelma memberanikan diri bertanya dengan berbisik "sstt...hayu" kata Aa Idam sambil berlari menyeret kedua adiknya untuk mengikuti. Mereka terus berlari sampai tiba di sebuah saung di pesawahan dekat kampung. 

Yan adiknya yang paling kecil langsung ngeglosor begitu sampai di saung sambil terengah-engah "capek Aa Idam, Yan lapaarr" Yan merengek setengah menangis "iya entar kita pulang kalau ibu sudah selesai numbuk padinya, kita makan di rumah ya" Idam membujuk adiknya "sekarang kita nyari ikan dulu aja yuuk"..."di mana nyarinya Aa Idam?" kali ini Nelma yang bertanya "tuh di sawah Kakek" Idam menunjuk ke arah sawah yang hanya berjarak 20 meter dari saung tempat mereka duduk ngaso, selepas melarikan diri dari ancaman omelan Neneknya.
**
"Nelma yang turun menangkap ikan ya, Aa Idam yang pegang tali untuk merinjing ikannya dan Yan yang mengawasi keadaan, jangan sampai Kakek datang kita tidak tahu" demikian Aa Idam membagikan tugas kepada adik-adiknya. "Yan di sebelah sana, nanti kalau melihat Kakek berjalan ke arah sini teriak lariii! ya Yan" Aa Idam menunjukan arah di mana Yan harus berdiri dan memberitahukan apa yang harus dilakukannya ketika melihat Kakeknya datang,

Cruk! cruk! cruk! suara air yang tersibak tangan mungil Nelma yang terus merogoh ikan-ikan yang berlarian takut tertangkap, "huff! horeeee" jerit bahagia Nelma sambil mengacungkan seekor ikan yang menggelepar di tangannya "Aa Idam nih dapat" Nelma berteriak kepada kakaknya yang menghampiri dengan wajah bungah. Lalu mengambil ikan dari tangan Nelma dan memasukan tali dari pohon alang-alang ke dalam insang ikan untuk merinjingnya. Tiga ekor ikan berpindah tangan sudah, ada dalam rinjingan yang ditenteng Aa Idam, sementara Nelma terus melakukan penangkapan dengan asik dan senang, sambil berkecipak main air.

"Huff! kena kamu" tiba-tiba ada tangan besar dan kuat mencengkram pundaknya, Nelma kaget dan menoleh ke arah pemilik tangan kokoh itu "Kakeeeeek!" Nelma teriak panik dan berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan kakeknya, apa daya dia tidak kuat melepaskan cengkraman Kakeknya. Mata Nelma nanar liar menyapau sekeliling sawah, mencari bayangan Aa Idam dan Yan "duh! mereka sudah raib" batin Nelma putus asa.

"Kakek maafkan Nelma, lepaskan Nelma mau pulang, entar dicari Ibu" suara Nelma memelas minta dilepaskan dari pegangan Kakeknya "tidak bisa kamu harus Kakek hukum, karena telah menangkap ikan tanpa ijin" Kakek membentak sambil melotot ke arah Nelma "tadi Aa Idam yang suruh Kek, Yan pengen makan, di rumah tidak ada ikan" jawab Nelma dengan muka memelas "harusnya minta ijin dulu pada Kakek sebelum mengambilnya, ini namanya mencuri...kamu tahu apa hukuman untuk pencuri?" mendengar hukuman Nelma kaget, hatinya bergetar, membayangkan Kakeknya yang suka mengikat kedua tangan pencuri dan ditaruh di punggungnya, lalu diarak penduduk untuk diserahkan ke Bale Desa. Hiyyyy bergidik hati Nelma.
**
"Nelma janji ya! kamu tidak akan menangkap ikan Kakek lagi sebelum minta ijin" Kakek meminta Nelma berjanji dan mohon ampun pada Allah "siap Kek!" jawab Nelma sambil memalangkan telapak tangannya di kening seperti menghormat komandan "hahahaha, tuk!" Kakek terbahak sambil ngejitak jidat Nelma yang penuh lumpur.

Nelma mengendap-endap menyelinap menuju pancuran di belakang dapurnya, dia khawatir diperegoki ibunya. Dia sudah membayangkan akan dapat cubitan bertubi-tubi di perut dan di pahanya kalau ibu melihat wajah dan seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur sawah. Sebenarnya sih lucu kalau melihat tampang Nelma setelah menerima hukuman dari Kakek. Seluruh tubuhnya diteploki dengan lumpur sawah, terlihat asri seperti patung Malinkundang, hanya matanya yang terlihat ketap-ketip hahaha. Nelma tidak menangis ketika menerima hukum kutukan sawah dari Kakeknya. Dia malah tertawa-tawa dan bercanda dengan Kakeknya, kejar-kejaran main lumpur sawah. Nelma kini sudah mandi dan berganti baju beresih. Ibu sudah selesai numbuk padi, bahkan berasnya sudah berubah jadi nasi panas yang sudah siap tersaji empat piring, lengkap dengan ikan emas goreng hasil tangkapan Nelma.

"Hayu kita makan" ibu mengajak makan Idam, Nelma dan Yan "Aa Idam pimpin baca do'a dulu" kata Ibu. Sebelum makan seperti biasa Aa Idam memimpin do'a "Allahummabariklana Fimaarozaktanaa Wakinna Adzabannaar, aamiin". 

Tiga adik kakak ini makan dengan lahap. Ibu memandangi ketiganya dengan bahagia, tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan anak-anaknya beberapa jam yang lalu. "Jika saja Ibu tahu apa yang aku lakukan tadi di sawah, hmmm pasti perut dan pahaku sudah bentol-bentol merah bekas cubitan yang dipelintir" Nelma bergumam sambil senyum-senyum....

TAMAT 


Citra Raya, 6 Pebruari 2015
Kisah dari anak-anak masa lalu

Cemburu


"Terus aja peluk tuh laptop atau nungkluk di depan komputer, siang malam hanya ada Komputer, Dendang dan ‪#‎Dinda‬, hidup kita sudah tidak seperti dulu lagi, ada cerita ada canda" begitu celoteh Tiwul suatu pagi kepadaku dengan tampangnya yang asem dan merengut. Aku hanya menatapnya dan tersenyum manis hihihi

"Iya tuh uwa sekarang sudah tidak mau nemenin aku belajar lagi, tidak kaya dulu. Kerjanya hanya tertawa-tawa sendiri aja di depan komputer, setiap saat hanya ada tante #Dinda, kita udah nggak dianggap lagi tante" ponakanku menyiramkan sedikit pertamax ke ubun-ubun Tiwul, hahahahaha *kali ini aku ngakak.

"Awas ya bulan ini aku nggak mau bayarin tagihan Kartu Hallo modemnya, biar mama tahu rasa, biarin mau apa coba kalau jaringan internetnya nggak ada" Tiwul mulai melancarkan ancamannya "waduh!" jawabku sambil melongo memandangi Tiwul, kali ini bibirnya sudah mancung melebihi hidungnya, itu pertanda dia serius..."mama sadar nggak sih kalau badannya sekarang jadi kurus, itu karena kebanyakan begadang" Tiwul menatapku dengan telaga bening matanya "duh kamu lebay!" hanya itu yang keluar dari mulutku...

Istanaku indah dan selalu damai, dan itu sudah berlangsung selama 14 tahun. Tiwul anak idiologisku yang tidak pernah absen sedetikpun dari kehidupanku, selalu setia menemaniku dalam segala situasi dan kondisi. Dalam pekerjaan dia implementator gagasan-gagasan yang selalu bermunculan dari sela-sela rambutku. Sekaligus yang selalu mengingatkan dan menghindarkan aku dari segala bahaya yang mengancam posisiku. Istanaku tambah semarak ketika seorang gadis lucu--ponakanku ikut bersamaku, meski kami dalam keadaan yang tidak baik secara financial, namun tidak pernah kehilangan kebahagiaan.

"Tiwul dan Ruhay semoga besok kalian mengerti, bahwa aku tidak pernah berubah sedikit pun. Tapi aku juga perlu ruang khusus untuk memenuhi kebutuhan energiku, di mana hari-hari bisa kujalani dengan normal, tanpa merasa kehilangan jati diri. Maka tolong jangan kalian buktikan ancamannya, karena kalau tidak...ruang khusus itu tidak bisa lagi aku kunjungi, dan aku akan kehilangan energi... hanya untuk sedikit waktu saja pliiiss...kumohon"

"Jangan cemburui aku...tidak akan ada yang hilang, yang ada harusnya bertambah sahabat, kerabat, kawan dan saudara...kita semuanya sama hanya semesta fana".


Citra Raya, 8 Pebruari 2015 pukul 04.06 wib

untuk yang selalu lengket di langit-langit hatiku Siti Istikharoh dan Ayu Solihatu R

Rehan dan Burung beo


Rehan anak usia 7 tahun tapi sudah sekolah kelas dua SD. Anak ini suka usil mengganggu kawan-kawannya. Bahkan ketika diberi tugas di sekolah oleh gurunya, alih-alih mengerjakan tugasnya dia lebih suka mengganggu dan mennertawakan hasil pekerjaan kawan-kawannya. Gurunya sudah mati gaya menghadapi kelakuan Rehan ini.

"Bu Wina minta tolong dibantu menasihati Rehan di rumah ya," suatu hari Bu Linda menyampaikan permintaannya kepada Bu Wina, mamanya Rehan. "Ada apa dengan anak saya Rehan, Bu Linda?" Ujar Bu Wina. Kemudian Bu Linda menceritakan seluruh kelakuan Rehan di sekolah kepada Bu Wina. Bu Wina memperhatikan seluruh cerita guru kelas Rehan dengan seksama. Kemudian berjanji kepada Bu Linda untuk menasehati Rehan di rumah.

Dalam perjalanan pulang Bu Wina berpikir keras tentang bagaimana caranya menasehati Rehan agar mengubah sikap usilnya itu menjadi sikap yang baik. Karena kalau dibiarkan begitu terus akan merugikan dia sendiri. Rehan tipe anak yang sulit dinasehati. Dia akan pura-pura mengalihkan pembicaraan, pura-pura tidak mendengar dan yang paling parah dia akan pergi meninggalkan Bu Wina ngomong sendirian, seperti yang sudah-sudah.

"Aha!" tiba-tiba Bu Wina memekik kegirangan, seperti menemukan ide cemerlang untuk menghadapi tingkah Rehan.

**
"Assalamu'alaikum!" suara Rehan menyentak kesunyian ruang tamu rumah Bu Wina pada pukul 1 siang ,"mama aku pulang!" teriak Rehan.


"Wa'alaikumsallam, Rehan, mama di sini," jawab Bu Wina dari arah dapur. Rehan menghampiri suara itu kemudian meraih tangan kanan mamanya lalu menciuminya bolak-balik seperti biasa.

"Masak apa, Ma?" Rehan melongok semua panci-panci di atas kompor, "Rehan laper," katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari panci yang berisi opor ayam kesukaannya. "Udah ganti baju dulu ke sana, simpan tasnya baru kita makan biar mama siapkan dulu di meja makan." 

Tanpa menunggu perintah dua kali Rehan sudah menghilang dari pandangan ibunya. "Hmm, pasti gara-gara opor ayam nih dia jadi manis begini, biasanya kalau belum diteriaki tiga kali belum mau ganti baju," gumam Bu Wina.

Selesai makan Bu Wina ngajak anaknya duduk-duduk di ruang keluarga, sambil istirahat. "Rehan tadi di sekolah ada tugas apa?" tiba-tiba Bu Wina bertanya kepada anaknya. Sebelum menjawab pertanyaan ibunya, Rehan menatap mata ibunya penuh selidik.

"Hei anak mama kok melamun?" sambung Bu Wina.

"Eh-eh ya, Ma ... apa tadi?" tanya Rehan gagap.

"Tadi di sekolah ada tugas apa?" Bu Wina mengulang pertanyaannya kepada Rehan.

"Ehmm anu Ma ... i-i-iya, kenapa sih tanya-tanya, Ma?" Rehan semakin curiga sama ibunya.

"Gak mama cuman pengen tahu aja. Kamu mengerjakan tugasnya gak?" kejar Bu Wina

"e-ehh anu, Ma, aku mau mengerjakan PR dulu ya." Rehan berusaha untuk mengelak

"Hmm pasti kamu tidak mengerjakan tugas, terus gangguin kawan-kawanmu, gitu ya?" Rehan diam menunduk. 

"Ya sudah kalau mau mengerjakan PR, ntar sore kita cerita lagi. Mama punya dongeng bagus untuk kamu." Mendengar kata dongeng Rehan langsung memekik gembira.
 
"Bener, Ma? Ada dongeng untukku nanti sore?" Wajahnya cerah dengan matanya terbuka lebar

"Iya serius, tapi kamu kerjakan PR dulu dengan benar ya," ibunya meyakinkan.

"Beres Ma, tenang pokoknya aku pastikan besok PR-ku nilainya 100."

**
Sore hari di beranda rumah, Bu Wina dan Rehan asik berdua.

"Rehan kamu tahu kan Burung beo?" tanya Bu Wina

"Tahu Ma, emang kenapa?" jawab Rehan tangkas.

"Kamu tahu gak kenapa burung beo bisa menirukan suara-suara?"

"Gak, emang kenapa, Ma, beo bisa menirukan suara-suara?" Rehan mulai penasaran

"Nah itu yang akan mama ceritakan untuk kamu sore ini, tentang mengapa burung beo bisa menirukan suara. Kamu siap mendengarkan?" tanya Bu Wina pada anaknya.

"Siap Ma!" jawab Rehan

"Cerita ini mama dapatkan dari Kek Jamil, guru mama, dengarkan baik-baik ya."

**
Dahulu kala … sebelum ada manusia, hewan-hewan bicara dengan bahasa yang saat ini dipergunakan manusia. Lalu pada suatu hari, Sang Pencipta menciptakan manusia. Sang Pencipta kemudian mengutus peri penjaga hutan untuk memberitahukan hal itu kepada para hewan. Isi pemberitahuannya adalah agar para penghuni hutan tidak boleh lagi berbicara dengan menggunakan bahasa yang selama ini mereka gunakan.
Sebagai pengganti, mereka diizinkan untuk menciptakan bahasa mereka masing-masing dalam waktu seminggu. Maka, pulanglah penduduk hutan ke tempat masing-masing. Mereka mulai berpikir keras untuk mencari suara yang gagah dan cocok untuk mereka masing-masing.

Hari demi hari, penduduk hutan sibuk mencari-cari suara yang nanti akan mereka pakai. Singa yang telah dinobatkan sebagai raja hutan, lebih dahulu memilih suara mengaum. "Aouuuumm!!!" katanya dengan gagah. Penduduk hutan yang lain senang mendengarnya. Mereka merasa suara itu pas benar dengan bentuk tubuh singa yang gagah.

Tapi, tidak semua hewan senang mendengarnya. Burung beo yang usil malah menertawakan suara itu. "Hahahaha..., mirip orang sakit gigi," celetuk beo sambil tertawa terbahak-bahak. Singa sangat malu mendengarnya. Semua suara binatang yang ada selalu dikomentari dan dihina oleh beo. Beo hanya menjadi komentator dan menertawakan semua suara hewan.

Tak terasa sudah satu minggu. Penduduk hutan berkumpul kembali untuk mengumumkan suara yang mereka pilih. Peri penjaga hutan memanggil mereka satu persatu. Di antara semuanya, hanya beo yang masih tertawa-tawa. Ia pikir teman-temannya bodoh karena suara yang mereka pilih lucu-lucu.

Tibalah giliran Beo untuk mengumumkan suara barunya. Ia maju ke depan. "Mbeeeek!” jeritnya. "Hei itu suaraku!" kata Kambing. Yang lain pun tertawa. Beo tertegun. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk mengejek teman-temannya sehingga lupa mencari suaranya sendiri. Semua suara yang dikeluarkan beo ternyata sudah menjadi milik binatang lain. Akhirnya, ia menangis tersedu-sedu.

"Sudahlah, kamu akan tetap kuberi sebuah suara. Tapi sebagai pelajaran, kau akan tetap menirukan suara orang, sehingga kau akan ditertawakan selamanya," kata peri penjaga hutan sambil tersenyum.

**
"Begitu ceritanya Rehan, mengapa burung beo selalu menirukan suara orang dan menjadi bahan tertawaan." Rehan hanya diam tertunduk tidak bicara sepatah katapun. Tidak seperti biasanya setiap kali ibunya mengakhiri dongeng, selalu saja ada yang ditanyakan, kenapa ini begini? Kenapa itu begitu? Kali ini Rehan benar-benar diam seribu bahasa.

"Maafkan Rehan Mama, selama ini berbohong sama Mama soal tugas di sekolah itu. Rehan emang gak suka mengerjakan tugas dan selalu gangguin kawan-kawan. Rehan sering dimarahi Bu Linda karena itu. Sekarang Rehan berjanji tidak akan nakal lagi dan akan selalu mengerjakan tugas dari guru di sekolah." 

Rehan meraih tangan kanan Bu Wina sambil menciuminya bolak-balik.
"Alhamdulillah," sahut Bu Wina sambil memeluk Rehan dengan penuh kasih dan berlinang air mata haru.


TAMAT
Citra Raya, 28 Januari 2015

Untuk Kau yang Selalu Hadir Dalam Hatiku



Dih….

Malam ini telah larut, aku membayangkan dirimu sedang terlelap tidur dengan mimpi-mimpi indahmu. Di sini aku masih terjaga dengan beberapa kenangan indah bersamamu, ketika kita masih tinggal dalam satu kota…ada nasi goreng  tengah malam, ada mie instant yang diseduh dan ada kebahagiaan….


Malam ini tiba-tiba hatiku terasa begitu perih…disayat kerinduan yang selalu kusabar-sabarkan setiap saat. Kerinduan akan dirimu selalu membuat aku sedih dan putus asa….

Seringkali aku bertanya, kenapa hanya kamu yang sering membuat aku rindu…? Padahal aku tahu kamu tidak pernah memikirkan aku.

Aku lari dari kota kita karena ingin mengubur dan melupakan segala yang pernah ada di antara kita. Tetapi semakin aku berusaha melupakanmu, semakin terasa sakit kerinduan mendera dan menyiksa batinku….

Aku putus asa, ke mana lagi aku harus berlari untuk mencari diriku sendiri, diriku yang tidak pernah dikenali, diriku yang tidak pernah diperdulikan, diriku yang dilupakan oleh semua orang….


Aku lelah…aku ingin berhenti, aku ingin menghadapi kenyataan diri apa adanya, meskipun teramat menyakitkan. Tetapi mampukah mereka menerima diriku begini adanya…? Dan juga kamu, bersediakah mengerti dan memahami apa adanya aku…? Betapa berat teka teki diri ini harus kubawa, kucari jawabannya …begitu sakit dan membingungkannya kehidupan untukku.
 

Seringkali aku menyesali diri, kenapa aku mesti lahir dan hidup…? Seringkali aku bertanya-tanya…apakah Tuhan tidak tahu betapa aku tersiksa dan sakit menanggung beban ini…? Ataukah dosaku sudah terlalu banyak, hingga Tuhan melupakan aku…?

Tetapi siapa yang bersalah kalau aku jadi begini…? Hidup tanpa identitas diri….

Aku tidak tahu siapa yang menghendaki aku lahir…? Aku tidak tahu atas kehendak siapa aku hidup tidak jelas juntrungannya….?

Aku tidak tahu, semua terjadi di luar keinginanku…rasanya sudah berlangsung begitu lama…bertahun-tahun, sepanjang perjalananku hingga hari ini.


Bahagianya hatiku, andai saja aku bisa menikmati hidup yang wajar. Bahagianya aku jika saja aku tahu dan dapat merasakan bahwa ada orang lain yang menyayangi dan memikirkan hidupku….

Setiap aku memikirkan itu, selalu saja kamu yang ada dalam hati dan pikiranku. Setiap kali begitu…kerinduan akan dirimu terasa begitu menyakitkan dan membuat aku putus asa….


Bila aku mencintai dan menyangi dirimu, bukankah itu juga kenyataan yang harus diterima…? Walau itu absurd dan mustahil. Jika semua orang membenci diriku lantaran mereka tahu, bahwa aku mencintaimu…apakah aku harus mengalah dan lari dari kenyataan ini...? Lalu kemana aku harus lari…? Di mana tempatku…? 


Apakah aku terlahir dan hidup hanya untuk menjadi orang yang tersisihkan…? Lantaran aku mencintai orang yang seharusnya tidak aku cintai dengan cara seperti engkau mencintai kekasihmu….

Betapa pahit dan tidak adilnya hidup untukku….




Tangerang, 29 Oktober 1991 02.00 wib

*Kisah sepenggal perjalanan hidup dalam sebuah buku harian seorang anak manusia


Teruntuk_Bunda_Lilis‬ ‪

By : Rohma Nia


Bunda
Separuh abad lebih usia nadimu
Berpacu, menapaki waktu
Merasai pahit manis kehidupan
Melukis kemapanan bersikap

Bun
Teringat awal kita saling bersapa
Hangat sapamu cairkan suasana
Tanpa canggung kau bercanda ria
Humoris lagi bijak, itulah dirimu
 
Bun
Anggunnya caramu bersikap, buatku belajar
Berkaca diri, membuka pikiran
Bilakah hidup selalu ada bahagia menunggu
Hanya saja, terkadang kita yang tak mengijinkan ia menyapa

Bun
Aku, Bunda seperti satu keluarga
Saling menyatu dalam hangatnya baluran dendang sastra
Semoga abadi hingga akhir titik nadi
Meski kita tak saling bersua, tapi kita saling menyatu.

Jpr, 20012015



DUA PUISI DALAM SATU PERJALANAN

Pulang

Menantang matahari petang silau memancar ....
Menyakitkan kornea mata
Mata hati berlatih memandang dari kedalaman mencerna nalar mengajari naluri tantang suara hati nuarani

Langkah terbentang sepanjang jalan tiada henti tak pernah menepi
Inilah kehidupanku ... kembali ke rumah


Pas Kelokan Keluar Tol Bitung, 15 Januri 2015



Cinta
Pada pukul 9 pagi "ting! menyembul dari kotak hitam" senyum segar baru mandi bersama sekarung roti hahaha

Cinta
Atmosfirnya menghangat menjalari semesta lewat wuwungan langit
Langit-langit hati dibelai semilir lembut terbang ribuan kilo meter menuju nirwana di pulau para dewata


"Hai cinta, tangan siapakah gerangan yang bergelayut bagai membelai rambutmu?" Ting! Cemburu menyapa dengan rajuknya yang manja ....

Ting! "Mana? Itu kan tanganku sendiri, emang tidak mengenalinya?"
Ting! "Masa? Koq besar sekali, aku pikir tangan Raksasa"

Ting! Wkwkwkwkwkwkwkwkwwk

Cinta berwarna membahana di cakrawala semua langit semesta
Mencairkan jenuh rindu yang membeku, pada sisa-sisa terjaga tadi malam.



Pas Pintu Tol Kebon Nanas, 15 Januari 2015

Menapaki Duniamu


berkutat dalam tumpukan aksara
dua belas jam memandangi screen tanpa henti
mengeja satu persatu kata-kata, tanda baca dan mencari maknanya
dari semua hal yang dituliskan oleh pikiran dan perasaan orang yang aku tidak mengenalnya ....


klung! huh! mendingan aku mengerahkan 6.000 orang massa untuk ikut unjuk rasa, dariapda membaca pikiran dan perasaan orang dari kata-kata yang sulit dieja dan dicari maknanya ....
klung! wkwkwkwkwkwkwk, rasain!
 

seperti biasa suaramu menyela tanpa gaung dari ujung sana
aku tak tahu persis apakah engkau sedang menikmati kebahagiaan dengan tawamu itu? atau ... hanya melepas penat mata dan otakmu dari tumpukan kata-kata yang kau eja .... sepanjang masa

sungguh ajaib KuasaNya menyatukan rasa dalam setumpuk aksara dan kata-kata
kularutkan rasaku dalam duniamu ....



Citra Raya, 16 Januari 2015
With Love for Dinda Prameswari Din's

Istana Tanpa Dinding


kerajaan hati tanpa skat, tanpa pembeda, tanpa klas raja dan jelata
kemerdekaan pikiran tanpa harus memberikan penilaian, komentar, suka dan tidak suka, semua karya adalah maha harga bagi pembuatnya

bilik kecil milik peribadi, di mana seluruh rahasia hati bisa dibuka dalam lepas tawa terbahak bahagia atau sedu sedan tangis menderu-deru mengharu biru
kilatan cinta yang datang dari jarak jutaan kilometer di belahan dunia yang tidak dapat dijangkau dengan mata, mata kaki atau telinga



di Istana Tanpa Dinding ada Dinda Prameswari Dins, Dani Satata, Wiwi Ardhanareswari, dalam bilik-bilik cinta bersama, cinta sesama mengarungi ruang dan waktu tanpa berhitung harga dan jasa. Semua hal bisa jadi bicara, bercanda tertawa atau saling menangisi tragedi yang saling dibuka.
Ting! emaaaak! abaaaang! kalian lagi apa? entah dari belahan dunia mana mbak ‪#‎Wi‬ menyapa .... kusambut dengan senyum bahagia "emak di sini mbak" 


Ting! pagi mom, dengan malas ‪#‎Dinda‬ menyapa ... entah dari Semarang atau Yogjakarta, atau mungkin saja dia sudah beredar di jalan raya ... kusambut dia dengan mesra "pagi sayang" lalu ... wkwkwkwkwkwk dunia gempar membahana.


Ting! belum rehat maak? ‪#‎Dani‬ menyapa pada pukul 23.00 ... kusambut dia dengan bangga "belum Lowo, emak belum ngantuk, kamu juga ngapain belum tidur?" ... beberapa menit kami berbincang sebelum saling menyapa malam untuk tidur dan mencari mimpi indah di keheningan ....


Istana Tanpa Dinding ....
rumah masa tuaku, di mana aku menikmati kebebasan pikir dan rasa untuk kebahagiaanku sendiri ... jika ada orang yang mengikutinya itu anugerah dan berkah yang harus aku syukuri, bahwa masih ada sisa cinta untukku di hati mereka.


Istana Tanpa Dinding
rumah type 21 di Citra Raya tempat aku menghela nafas dalam hari-hari penuh warna dengan Siti Istikharoh dan Ayu Solihatu R

Istana Tanpa Dinding - Citra Raya, 19 Januari 2015

Tangisan Putri Raja Pajajaran


Kita bertiga diperkenalkan lewat celah bumi yang tidak nampak
bermain aksara dan kata-kata di dunia maya
hari ke hari aksara bertaut dalam kata, dalam jiwa, memasuki wilayah cinta semesta antar sesama, lewat canda dan tertawa, semakin menggila

Pagi ini kita saling membagi salam, dengan seloroh ketawa-ketiwi di alam bebas polusi
kalian berdua ada di mana aku tidak tahu, sementara aku ada di jalan raya Tangerang - Bogor, menelusuri mewahnya jagat raya yang sudah terbeli, terkapitalisasi menjadi JOR, menjadi Tol Puri Kembangan, menjadi sekat antara miskin dan kaya, menjadi tempat pemungutan upeti atas tanah Allah


Tiba-tiba di sana kalian berbicara bisnis milyaran, trilyunan, untuk barang pusaka, untuk harta karun, bahkan untuk tanah pusaka, anugerah Allah untuk Bangsa Indonesia. Kau terjebak, kita berdebat, kita merasa kalah, kita merasa tidak berdaya, lalu kita menangis bersama, menangisi diri yang tak berdaya lagi, menangisi diri yang terjual sepetak demi sepetak, untuk memenuhi nafsu, menghambur uang, menyandra harga diri anak bangsa, sang pemilik pertiwi.

Nafasku sesak, karena amarah hati memberontak, mengamuk dalam dada dan otakku. Menyakiti hati, menyakiti nurani, yang bercucur darah, bercucur air mata hati, membasahi seluruh luka hati, perih tak terperi
Sukmaku terisak sepanjang jalan, membuat dada semakin sesak, tiada lagi kata-kata yang bisa kutulis, kuucap kepada kalian di ujung sana, yang juga sedang menangisi harga diri yang sudah tergadai, terjual, atas nama cinta, atas nama Tuhan, yang menjebak dirimu dalam tanggungjawab kedirianmu sebagai permaisuri dan ratu untuk anak-anakmu

Putri Raja menangis melihat tanah airnya tergadai dalam dekapannya sendiri. Putri Raja menangis menolak tak bisa, menerima tak rela, tanah airnya dipetak-petak, terjual, terbeli dalam tangannya sendiri.
Putri Raja menangis, membayangkan anak cucunya, kelak akan terdampar dalam kemiskinan, terjajah para bedebah di rumah nenek moyangnya sendiri.

Cibogo, Bogor, 18 Desember 2014

Untuk kawan seperjalananku Wiwi Ardhanareswari dan Dani Satata. Kepada Dinda Prameswari Din's, selamat malam Jumatan ya haha
By: Dinda Prameswari Dins

Wanita Tua di suatu petang.
Wanita tua bersandar di dinding batu
menatap hujan deras yang mengguyur
memisahkan dunia di mana ia disebut Bunda yang berpendidikan
penuh idealisme dan kharisma menyala berkobar
dengan dunia kecil nan nyaman
penuh kehangatan
dari secangkir kopi dan selimut tebal
dan sejenak meluruskan badan.
Tik tak tik tak ... jari resah menari
mencari sebuah nama yang sangat ingin dijumpainya.

"Dinda Prameswari Din's ... anak itu ke mana seharian?
Iblis kecil yang selalu datang dan menghilang.
AArrrggggghhhh!!"

Gemas menanti celotehan pendek dan tawa mengejek
dari bibir yang masih menaruh hormat.

"Mom ... lagi apa?"
Horeee!! Dia mengirim pesan!
Akhirnya.

"Menunggu hujan reda Dinda ...
kamar masih 20 langkah, dan dipisahkan langit terbuka."

"Lari Mom! Lari ...! tembus hujan
dan nikmati sedikit kegilaan.
Rasakan nikmatnya dingin yang menyegarkan
dan meredakan pikiran-pikiran gilamu
(yang membuatku menyayangimu)."

Senyum seringai wanita tua terkembang.
"Bismillah ...."
badan tua dengan raga tua
melompat menerjang hujan
menikmati tusukan menyakitkan di kulit kepala
dan membuatnya setengah gila
berteriak dalam keliaran ... dan kebebasan.

"Sirami aku, hujan!!
Tantang aku menaklukkanmu!!
Siapa yang bisa mengalahkanku si wanita remang-remang?!"

Jegluaarrr ...! Petir menyambar.
Wanita tua sejenak tersadar ...
menyebut nama Tuhan dan berlari menepi.
Jemari merogoh ponsel dan siap mengetik.

"Dinda sialan ... kau kerjai aku ...."
namun sebelum tombol ditekan, terbaca sebuah pesan.
"Tetapi hati-hati Mom.
Mom sudah tua, bermain hujan adalah keputusan bodoh.
Ingat encok dan rematik."

Wanita tua bernama Lilis M. Usman tertegun,
dalam hati merutuk pelan.

"Dindaaaaaaaaaa ...!


Jogja, hujan deras 19 Desember 2014

Pengunjung di Kegelapan Pagi


Tok ! Tok! Tok!
Bunyi tanda pesan pendek masuk telephon genggamku sebelum aku mulai dengan bacaan rutinku, kubuka tepat pukul 04.30 “Innalillahi Wainnaillaihiroojiuun, telah meninggal mertua kak Mulyadi pagi ini."
Dug ! dadaku tertumbuk tinju, seakan Malaikat Pencabut Nyawa menonjokan Tinjunya ke ulu hatiku, sambil lalu. Ini berita duka tentang suami sahabat kecilku, teman se kelas di Sekolah Rakyat (SR) puluhan tahun yang lalu, di mana kami mulai belajar mengeja aksara dan menghitung angka-angka. Di mana kami menikmati hari-hari bermain bola kasti, kemudian sama-sama nyebur di kali sebagai ritual suci kami. Indahnya kenangan itu berkelebat melewati jasad membujur kaku, di pelupuk mataku subuh ini.

"Innalillah Wainnaillahiroojiuun," kujawab pesan pendek kepada keluargaku. Seraya menyampaikan rasa bela sungkawa, memberikan keteduhan hati untuk bersabar dan ikhlas menerima musibah ini. Karena sesungguhnya tidak ada satu mahluk hidup pun yang bisa luput dari kematian. Itulah hukum yang telah dipastikan-Nya sejak kehidupan semesta Dia ciptakan.

Sisa subuhku kulanjutkan dengan membaca bait-bait firman-Nya, lebih khusuk dari subuh-subuh sebelumnya, kubaca maknanya, terasa seperti ribuan jarum menusuk-nusuk perasaanku, periiih ….
Betapa terasa semakin kecil diri ini, di hadapan kekuasaan-Nya aku hanyalah manusia papa dan hina, manusia nista dan berlumur dosa. Duh Gusti ….

Tes! Tes! Tes!
Air mataku luruh tidak terbendung, jatuh membasahi bait-bait firman-Nya, melebar buyar dalam kertas muskhaf, membentuk pulau-pulau kecil tak bernama, pulau-pulau kehidupanku yang terserak di mana-mana. Di tanah kelahiranku, di sepanjang jalan, di tempat-tempat pemondokan, di pabrik-pabrik, di kantor-kantor, di hotel-hotel, menelusur, berjalan pelahan, bergesa, berlari, lalu terseok-seok… jatuh luruh di hadapan Sang Pencipta, bersujud memohon ampun dengan isak pedih yang sulit kuhentikan. Duh Gusti ….

Klung ! bunyi pesan masuk di akun facebookku yang sudah online “pagi mom” Dinda Prameswari menyapa pertama “pagi sayang” kujawab seperti biasa “lagi ape mom?” dia kepo seperti biasa, aku jawab “aku baru selesai membaca Novel Allah." Jawaban meluncur begitu saja, yang aku tidak tahu dari mana asalnya, dan mengejutkan diriku sendiri. Bukankah aku baru saja menangis mengutuki diri, dengan sejuta rasa salah dan dosa kepada Nya, tetapi kenapa otak gilaku selalu kambuh tak terkendali, menyebut Al-Quran dengan Novel Allah ? aku gamang, antara dosa dan kegilaan biasa, di manakah aku ? orang gilakah atau pendosakah? Duh Gusti ….

Sudah lama sesungguhnya aku berpikir, bahwa Al-Quran sebagai sebuah Maha Karya Aksara yang luar biasa. Salinan Firman Allah yang dituliskan oleh manusia mulya yang terpelihara; Syaidina Ustman Rodiallahu Anhu, sahabat kekasih Rosul Muhammad Solallahu Allaihi Wassalam. Maha Karya Aksara yang dijadikan pedoman hidup penuntun umat manusia untuk menuju kehidupan yang benar dalam meraih kehidupan terbaik, termulya, penuh makna, bermartabat dan bermanfaat di dunia sampai akhirat. 

Penyebutan gilaku atas Al-Quran sebagi novel, sesungguhnya hanya upaya memotivasi diri agar aku mau membaca dan mempelajarinya dengan suka rela, dengan senang hati, berjam-jam tafakur membaca dan memaknainya untuk bisa memberi arti dan mewarnai hidup dengan lebih beradab. Seperti tersihir dan terhipnotisnya aku ketika membaca puisinya Dani Satata dan Dinda Prameswari, yang sama sekali tidak sekufu dengan Al-Quran. Atau terhanyutnya aku ketika membaca novel Antony Queen yang bercerita tentang detektif hebat, kemudian membuat aku seolah-olah jadi detektif hebat juga. Dan novel itu pun tidak akan pernah sederajat dengan Al-Quran.

Hmmm ... andaikan saja Dani Satata dan Dinda Prameswari menemukan cara untuk menggubah karya sastra yang lebih membakar, yang dapat mengejawantahkan bait-bait firman-Nya menjadi bahasa keseharian, memperkenalkan sentakan malalaikat pencabut nyawa sebagai sesuatu yang nyata dalam pikiran semesta, memperdengarkan jeritan kesakitan para pesakitan neraka jahanam, begitu dekat dengan telinga, kepala dan mata hati penggumam aksara. Menjerat para penjahat social, penjahat kemanusiaan, perampok harta rakyat, penjahat kelamin, pezina dan pemerkosa dalam gumaman mengerikan pemakna aksara. Andai saja itu semua bisa membangunkan semesta dari mimpi buruk kejahatan durjana, kenapa tidak ?

Melolong dengan keluh kesah atau hujatan sangatlah melahkan, toh tidak akan bisa membuat para durjana menghentikan ulahnya. Tetapi jika susunan balok-balok aksara, jadi pembakar kesadaran sekaligus penyejuk kemarahan, bukankah engkau para penggiat aksara, para pecinta Sastra Indonesia adalah penjaga hati semesta yang digjaya ?


Tangerang, 26 Desember 2014 08.30 ibt