Ditulis oleh : Izzah Inzamliyah
Beberapa waktu lalu pasca kecelakaan anjloknya KA
Malabar aku membaca bahwa salah seorang korban adalah seorang ibu Sabtu Minggu,
artinya seorang ibu yang hanya bertemu dengan anaknya di hari Sabtu Minggu
karena di hari kerja dia harus bekerja.
Lalu hari ini aku membaca status facebook seorang
kawan yang merindukan jagoan-jagoannya yang terpaksa harus dititipkan di
kampung halaman karena satu dan lain hal. Dan aku merasakan betul betapa
pedihnya hati kawanku itu. Betapa rindu-nya dia terhadap anak-anaknya. Ya,
menjadi seorang ibu membuatku paham bagaimana rasanya tak bisa melihat buah
hati kita setiap hari. Bagaimana sedihnya tak bisa melihat setiap milestone
pertumbuhan mereka. Tengkurap pertama. Langkah pertama. Kata pertama. Makanan
kesukaan. Kecerdasan demi kecerdasan yang terbangun seiring bertambahnya usia.
Dan masih banyak lagi yang ingin selalu direkam oleh para orang tua itu. Mungkin
hal-hal itu nampak hanya seperti hal remeh buat sebagian orang. Tapi bagi
seorang ibu dan ayah, semua itu adalah pencapaian yang luar biasa. Mengalahkan
rasa mendapatkan hadiah berjuta-juta. Jadi aku bisa membayangkan bahwa situasi
ini pasti bukanlah situasi yang diinginkan oleh para ibu yang harus terpisah
dengan buah hatinya tersebut.
Hari ini aku mencoba melemparkan pertanyaan di
facebook dan twitter-ku. Menanyakan apa pendapat orang soal orang tua yang
menitipkan anaknya di kampung halaman. So far dalam waktu 15 menit hanya ada
satu komentar dari seorang teman. Dia berkata “ya sebenarnya kasihan dua-duanya
sih, tapi mungkin karena faktor ekonomi jadi terpaksa deh dititipkan”. Lalu
kutanya lagi “menurutmu orang tuanya salah nggak?” dan jawabannya adalah “Yah
salah, ntar giliran anaknya gak kenal sama orang tuanya, (mereka) sedih”.
Terdengar akrab ya pendapat semacam itu. Bahwa semua ini adalah terpaksa karena
adanya faktor ekonomi tapi tetap saja, itu adalah kesalahan orang tua.
Anda
setuju dengan pendapat kawan saya itu? Saya tidak. Kenapa? Karena memang mereka
tak punya pilihan. Buat perempuan yang suka bekerja dan memang ingin bekerja
untuk mendapatkan pendapatan atau sekadar eksistensi, maka tidak bekerja
bukanlah pilihan. Karena mereka suka melakukannya. Titik. Tak ada lagi opsi
lain. Memaksa mereka untuk tinggal di rumah akan membuat mereka merasa tak lengkap.
Eh tapi mungkin ini saya deh, gak berlaku untuk semua perempuan bekerja di luar
sana hehe. Masalahnya adalah masyarakat terkesan tak adil dalam hal ini.
Mengapa yang dipaksa untuk memilih bekerja atau tidak bekerja hanya perempuan
saja. Mengapa laki-laki tidak dihadapkan pada dilema yang sama. Mengapa tidak
diserahkan saja pemilihan siapa yang bekerja atau tidak bekerja di lingkup
keluarga mereka saja tanpa kita sebagai orang luar mencoba menghakimi.
Ok, saya tahu menuliskan ini akan memicu perasaan sentimentil
saya dan segala hal yang mungkin terbaca sangat subyektif, tapi sesungguhnya
saya hanya ingin agar kita bisa melihat sebuah hal dengan semestinya. Jadi mari
kembali kepada isu soal anak yang terpaksa harus dititipkan di kampung halaman
para ibu atau bapak ini.
Dari pengamatan sederhana saya rata-rata alasan para
orang tua menitipkan anak adalah karena:
- Biaya mbak-mbak pengasuh anak sangat mahal di kota besar. Orang tua bergaji upah minimum takkan sanggup membayar jasa pengasuh ini.
- Beberapa puluh tahun lalu ada solusi yang bisa diambil dengan menitipkan ke tetangga, namun tahun-tahun belakangan ini makin sulit juga melakukan hal itu karena para tetangga juga tak mau mendapatkan penghasilan sebesar 500-700 rb sebulan dan harus mengurus anak sejak pagi hingga malam.
- Katakanlah karena lemburan yang tak berkesudahan para orang tua itu mampu menggaji lumayan, ternyata inipun masih terkendala bahwa sekarang ini tak banyak orang yang mau bekerja menjadi pengasuh anak. Jadi makin sulit mencari mbak pengasuh full time.
- Sementara tempat penitipan anak yang lokasinya terjangkau mayoritas para orang tua itu hampir tak ada.
- Alasan lain adalah biaya hidup dan biaya sekolah di kota-kota padat industri mahal sementara di kampung halaman relatif lebih terjangkau.
Jadi memang sekali lagi ini isu ekonomi. Persoalan
anak ini juga merupakan isu ekonomi. Dan berarti ini juga persoalan politik.
Persoalan kebijakan. Coba bayangkan jika ada ketentuan yang mengatur bahwa
dalam satu RT diwajibkan ada minimal satu tempat penitipan anak yang dikelola
oleh pemerintah dan komunitas. Sistem pembiayaan tanggung renteng. Orang tua
tetap wajib membayar. Tapi pemerintah juga mensubsidi. Pengelola dan pengasuh
dilatih dengan baik. Mereka juga disupervisi dengan ketat.
Seorang teman di Tangerang mencoba mengambil inisiatif
ini. Dia mengorganisir ibu-ibu untuk menjadi pengasuh di TPA yang ia dirikan
dengan mandiri. Dan sebagian besar anak-anak itu adalah anak buruh pabrik di
lingkungan sekitarnya. Keuntungan untuk para ibu itu adalah mereka bisa bekerja
dengan tenang. Sehingga mereka bisa produktif. Tapi mereka juga tetap bisa
bertemu buah hati mereka setiap hari selepas kerja. Tak perlu menunggu libur panjang.
Tak perlu menunggu Sabtu-Minggu. Anak senang. Orang tua juga tenang.
Menurutku ini area yang juga harus menjadi fokus para
aktivis serikat buruh. Advokasi upah yang adil penting sekali, namun advokasi
kebijakan untuk isu selain upah juga harus terus dilakukan secara simultan.
Advokasi untuk memastikan hak anak dan hak orang tua terpenuhi juga menurutku
penting sekali.
Entah kapan ini akan bisa terjadi, tapi kalau kita
tidak mulai mewacanakan mungkin hal ini takkan pernah terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar