Kita bertiga diperkenalkan lewat celah bumi yang tidak nampak
bermain aksara dan kata-kata di dunia maya
hari ke hari aksara bertaut dalam kata, dalam jiwa, memasuki wilayah cinta semesta antar sesama, lewat canda dan tertawa, semakin menggila
bermain aksara dan kata-kata di dunia maya
hari ke hari aksara bertaut dalam kata, dalam jiwa, memasuki wilayah cinta semesta antar sesama, lewat canda dan tertawa, semakin menggila
Pagi ini kita saling membagi salam, dengan seloroh ketawa-ketiwi di alam bebas polusi
kalian berdua ada di mana aku tidak tahu, sementara aku ada di jalan raya Tangerang - Bogor, menelusuri mewahnya jagat raya yang sudah terbeli, terkapitalisasi menjadi JOR, menjadi Tol Puri Kembangan, menjadi sekat antara miskin dan kaya, menjadi tempat pemungutan upeti atas tanah Allah
Tiba-tiba di sana kalian berbicara bisnis milyaran, trilyunan, untuk barang pusaka, untuk harta karun, bahkan untuk tanah pusaka, anugerah Allah untuk Bangsa Indonesia. Kau terjebak, kita berdebat, kita merasa kalah, kita merasa tidak berdaya, lalu kita menangis bersama, menangisi diri yang tak berdaya lagi, menangisi diri yang terjual sepetak demi sepetak, untuk memenuhi nafsu, menghambur uang, menyandra harga diri anak bangsa, sang pemilik pertiwi.
Nafasku sesak, karena amarah hati memberontak, mengamuk dalam dada dan otakku. Menyakiti hati, menyakiti nurani, yang bercucur darah, bercucur air mata hati, membasahi seluruh luka hati, perih tak terperi
Sukmaku terisak sepanjang jalan, membuat dada semakin sesak, tiada lagi kata-kata yang bisa kutulis, kuucap kepada kalian di ujung sana, yang juga sedang menangisi harga diri yang sudah tergadai, terjual, atas nama cinta, atas nama Tuhan, yang menjebak dirimu dalam tanggungjawab kedirianmu sebagai permaisuri dan ratu untuk anak-anakmu
Putri Raja menangis melihat tanah airnya tergadai dalam dekapannya sendiri. Putri Raja menangis menolak tak bisa, menerima tak rela, tanah airnya dipetak-petak, terjual, terbeli dalam tangannya sendiri.
Putri Raja menangis, membayangkan anak cucunya, kelak akan terdampar dalam kemiskinan, terjajah para bedebah di rumah nenek moyangnya sendiri.
Cibogo, Bogor, 18 Desember 2014
Untuk kawan seperjalananku Wiwi Ardhanareswari dan Dani Satata. Kepada Dinda Prameswari Din's, selamat malam Jumatan ya haha
kalian berdua ada di mana aku tidak tahu, sementara aku ada di jalan raya Tangerang - Bogor, menelusuri mewahnya jagat raya yang sudah terbeli, terkapitalisasi menjadi JOR, menjadi Tol Puri Kembangan, menjadi sekat antara miskin dan kaya, menjadi tempat pemungutan upeti atas tanah Allah
Tiba-tiba di sana kalian berbicara bisnis milyaran, trilyunan, untuk barang pusaka, untuk harta karun, bahkan untuk tanah pusaka, anugerah Allah untuk Bangsa Indonesia. Kau terjebak, kita berdebat, kita merasa kalah, kita merasa tidak berdaya, lalu kita menangis bersama, menangisi diri yang tak berdaya lagi, menangisi diri yang terjual sepetak demi sepetak, untuk memenuhi nafsu, menghambur uang, menyandra harga diri anak bangsa, sang pemilik pertiwi.
Nafasku sesak, karena amarah hati memberontak, mengamuk dalam dada dan otakku. Menyakiti hati, menyakiti nurani, yang bercucur darah, bercucur air mata hati, membasahi seluruh luka hati, perih tak terperi
Sukmaku terisak sepanjang jalan, membuat dada semakin sesak, tiada lagi kata-kata yang bisa kutulis, kuucap kepada kalian di ujung sana, yang juga sedang menangisi harga diri yang sudah tergadai, terjual, atas nama cinta, atas nama Tuhan, yang menjebak dirimu dalam tanggungjawab kedirianmu sebagai permaisuri dan ratu untuk anak-anakmu
Putri Raja menangis melihat tanah airnya tergadai dalam dekapannya sendiri. Putri Raja menangis menolak tak bisa, menerima tak rela, tanah airnya dipetak-petak, terjual, terbeli dalam tangannya sendiri.
Putri Raja menangis, membayangkan anak cucunya, kelak akan terdampar dalam kemiskinan, terjajah para bedebah di rumah nenek moyangnya sendiri.
Cibogo, Bogor, 18 Desember 2014
Untuk kawan seperjalananku Wiwi Ardhanareswari dan Dani Satata. Kepada Dinda Prameswari Din's, selamat malam Jumatan ya haha