MELEWATI PEMATANG SENJA
Hanya Untuk Menitipkan Badai Dalam Benak Dan Hati
SENJA HARI YANG SENYAP
Tiada celoteh anak-anak yang memanggil nenek dan kakek, tidak ada anak-anak yang memanggil Ibu dan Ayah, hanya ada bayangan kelabu masa lalu berkelebat memenuhi ruangan kalbu, mengambang pada langit-langit kenangan.
***
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun duduk di pinggiran kolam, tengah asik melempari ikan-ikan dengan batu kerikil … ikan berkecipak berdesakkan, memburu air yang jatuh dari pancuran bambu. Indah, dengan beraneka warna--hitam gelap, merah menyala, putih, kuning, bersisik warna mas kombinasi dengan hitam dan banyak lagi warna-warna sisiknya yang menakjubkan.
Nelma! tiba-tiba sebuah panggilan mengagetkannya, dia langsung menengok ke arah suara yang menyebut namanya tadi … serrrr, tiba-tiba dadanya berdesir jantungnya berdegup kencang … sejurus dia memandangi seorang gadis kecil usia 5 tahun yang tersenyum menghampirinya, “Ohhh Denok” dengan gugup Nelma menyebut nama gadis kecil itu. Denok gadis kecil dengan rambut keriting menyerupai indomie, kulitnya hitam, giginya putih kecil-kecil dan senyumnya manis. Setiap kali melihat Denok hati Nelma berdesir hebat dan jantungnya serasa mau copot.
Selalu hari-hari yang membahagiakan bagi Nelma ketika seharian bisa bermain dengan Denok … main rumah-rumahan. Dengan menggunakan kain panjang ibunya, Nelma akan membangun sebuah tenda sebagai rumahnya yang mereka huni berdua. Denok dengan cekatan membersihkan pekarangan tendanya, lalu membuat tungku-tungkuan dari batu. Selanjutnya Denok akan berkutat memasak di dapur kecilnya itu. Nelma dengan cekatan membawakan ranting-ranting pepohonan untuk kayu bakar dan dedaunan untuk dimasak. Sementara Denok masak Nelma akan duduk atau tidur-tiduran dalam tenda mempehatikan Denok memasak, kadang Nelma menatap dengan mata tak berkedip ke arah Denok seakan tidak mau melepaskannya walau sedetik.
“Bahagia rasanya bisa memandangi Denok dengan cara seperti ini,” gumam Nelma dalam hati.
Sedang asik-asiknya main berdua tiba-tiba saja, … “Nelma! Nelm!” suara Ibu sudah mengguntur.
Nelma langsung bangun dan menyahut “iya Bu!” teriaknya sambil keluar tenda.
“Ayo mandi, sebentar lagi ngaji ini udah sore,” Ibu Nelma memerintah.
“Denok ayo pulang, udah sore” sambil membuka tendanya Nelma mengajak Denok pulang.
”Iya Nelma tunggu,” dengan malas-malasan Denok beranjak keluar dari dalam tenda.
“Besok kita main lagi ya Denok,” kata Nelma sambil menatap Denok, sebelum dia meninggalkannya.
Oooh Denok teman bermain yang menyenangkan, telah Nelma tinggalkan ketika orang tuanya harus berpindah rumah ke kampung lain. Sangat sedih rasanya waktu pamitan kepada Denok untuk pergi, seakan hidup Nelma akan sepi selamanya.
***
Byuurrr!Byurrr!
Satu-satu anak usia 8 tahunan lompat dari jembatan ke dalam kali, seperti dalam turnamen renang nasional, bahkan ada yang pake gaya jempalitan di udara—di antara jarak jembatan dan air sebelum akhirnya nyebur.
“Hore Nelma menang! Nelma menang!” Begitu sorak sorai anak-anak yang berkerumun di atas jembatan. Rupanya jagoan renang hari ini Nelma yang umurnya sudah menginjak 8 tahun, dengan postur tubuh tinggi kecil dan kulit sawo matang, kelihatan lebih legam karena banyak berendam di air kali.
“Nelmaaa!” Seorang gadis seusianya berteriak sambil berlari menghampiri. Nelma menyambutnya dengan mengembangkan tangan, lalu mereka berpelukan.
“Hei Usti kapan kamu sampai di sini?” Tanya Nelma kepada anak gadis berkulit putih, kira-kira usia 7 tahunan, yang ternyata bernama Usti.
“Aku dari tadi nonton kamu terjun dari jembatan Nelma, aku senang melihat kamu jempalitan tadi hahaha,” Usti menjawab sambil terbahak.
“Dihhh kamu koq nggak bilang-bilang kalau mau datang ke sini” protes Nelma kepada Usti.
”Nggaklah, kalau aku bilang-bilang kamu pasti nggak ikutan lomba, iya kan?” Usti menggoda … Nelma tersipu malu, menunduk tetapi melihat Usti dengan kerling matanya.
Degg … serrrr! Jantungnya berdegup, ada desiran halus yang membuat Nelma seperti melayang … entah apa dia tidak memahaminya, tetapi hatinya sangat bahagia.
“Nelma ayo pulang!” Usti meraih tangan kanan Nelma dan mengenggamnya, lalu mereka berjalan bergandengan, pulang bersama.
Usti anak gadis yang lincah dan suka bercerita, sepanjang jalan dia tiada hentinya bercerita, sesekali tertawa menggoda Nelma. Sementara Nelma hanya mendengarkannya sambil senyum-senyum bahagia. Karena bagi Nelma berdekatan dengan Usti lebih nyaman diam, sambil nyuri-nyuri pandang dengan sudut matanya, ketimbang berkata-kata. Entah kenapa Nelma selalu merasa nyaman dan bahagia ketika berada berlama-lama di samping Usti.
Hingga suatu hari, Nelma harus meninggalkan Uati. Dengan sedih, dia berpamitan. Karena selama sekolah harus tinggal di asrama.
“Usti besok aku harus mulai tinggal di asrama, karena terlalu jauh kalau aku harus bersekolah dari sini, kita akan berpisah Usti.” Nelma berpamitan sambil berurai air mata, demikian pun dengan Usti.
“Tidak apa-apa Nelma, kamu kan harus meneruskan sekolah. Kita akan selalu ketemu kalau kamu pulang liburan, jadi nggak usah terlalu sedih.”
Usti mencoba menghibur Nelma, meskipun dia juga merasa sedih bakal jauh dengan Nelma. Saat itu usia Nelma 11 tahun dan Usti sudah 10 tahun, mereka baru saja lulus dari Sekolah Dasar (SD)
Bayangan demi bayangan masa lalu berkelebat, bagaikan pertunjukan film seri love story sepanjang perjalanan hidup Nelma. Suka duka jatuh cinta dialaminya, semua hanya menjadi rahasia hatinya yang gelap.
Dari mulai cinta monyet hingga menjelang dewasa … pada usia 20 tahun, Nelma baru menyadarinya, bahwa rasa cinta yang dia alami adalah berbeda. Nelma mencintai Denok, Usti, Eti, Dian dan masih banyak lagi teman-teman gadis sebayanya … dan itu cinta yang absurd, salah dan terkutuk. Cinta bertepuk sebelah tangan, yang tak mungkin dapat diwujudkan dan dibawa ke pelaminan, seperti layaknya cinta sepasang suami istri.
Satu demi satu gadis yang dicintainya pergi, menemui jodohnya … sementara Nelma hanya menangis perih di dalam hati.
***
“Nelma, besok kita akan kedatangan tamu, keluarga besar Pak Dirga, kawan Ayah. Mereka akan makan siang di sini. Kamu jangan ke mana-mana ya, bantu Ibu masak untuk mempersiapkan makan siang kita.”
“Waduh Bu, Nelma sudah ada janji mau belajar bareng teman-teman kuliah, kami ada tugas dari kampus.”
Nelma mencoba mencari alasan untuk menghindari bertemu tamu ayahnya kali ini. Dan ini tamu yang kesekian kalinya yang diundang ke rumah, untuk makan siang bersama keluarga besar. Dan ujung-ujungnya makan siang keluarga menjadi ‘Party Mencari Jodoh’ untuk Nelma.
“Ibu tidak mau tahu Nelma, pokoknya kamu harus tinggal di rumah dan menerima tamu bersama kami, titik!” Ibu berkata tegas, dan tidak mengijinkan Nelma keluar dari rumah.
“Baiklah Ibu, Nelma ikut apa yang Ibu mau,” dengan muka ditekuk Nelma menyerah kepada ibunya. Sementara perang berkecamuk dalam hatinya.
“Apalagi yang harus aku katakan kepada anak laki-laki yang akan diperkenalkan padaku nanti, padahal aku tidak pernah menyukainya. Semakin aku memaksa diri beramahtamah kepada mereka, semakin Nampak tampang jutekku.
“Duuhh Ayah, Ibu andaikan saja kalian punya waktu untuk memahami penderitaan batinku, andaikan saja kalian tahu bahwa aku tidak pernah suka kepada mahluk kaki dua, yang bernama laki-laki itu.”
Demikian kerusuhan batin yang dirasakan Nelma, selama dia mengikuti ibunya berbelanja di pasar. Dia hanya diam dengan keranjang belanjaan di tangan, membiarkan Ibu memenuhinya dengan semua kebutuhan untuk menyiapkan makan siang.
Nelma juga tetap membungkam mulutnya, ketika membantu Ibu memasak di dapur. Hanya sesekali saja menjawab pertanyaan Ibu, atau menanyakan sesuatu kepada Ibu.
Dapur begitu hening tanpa obrolan, hanya suara perabotan memasak yang terkadang beradu. Nelma si pematung … itulah julukannya, saking pendiam dan tidak banyak omongnya.
Pukul 11.30 wib, Nelma dan Ibu menyelesaikan acara masaknya. Semua ditata dengan rapi di meja makan. Ada sayur asem, ayam goreng, daging gepuk, tempe dan tahu goreng. Sambal dan lalapan. Itu menu makan siang yang disukai keluarga Pak Dirga, khasnya makan rumahan ala keluarga suku sunda.
Meja di ruang tamu dipenuhi dengan minuman dan makanan kecil, serta buah-buahan. Ada anggur merah, ada jeruk pontianak, ada potongan semangka merah merona. Semuanya Nampak tertata rapi, menyenangkan untuk dilihat dan dinikmati pada siang yang cukup terik seperti hari ini.
“Assalamualaikum,” suara orang memberi salam dari luar, setelah suara mesin mobil dimatikan.
“Wa'alaikumsallam,” Ibu membalas salam … “Nelma, tolong dibuka pintunya,” pinta Ibu, yang masih siap-siap di kamar.
Tanpa bicara Nelma menghampiri pintu, lalu membukanya. Di hadapannya telah berdiri tiga orang tamu … seorang Bapak yang seusia dengan ayahnya, seorang Ibu yang cantik berpakaian hijab dengan rapi. Baju kurung bunga-bunga kecil, dipadu dengan kerudung warna hijau toska, membuat ibu paruh baya itu kelihatan anggun dan cantik.
Seorang anak laki-laki muda berdiri paling belakang, pake hem kotak-kotak kecil warna biru, dipadu dengan celana jin belel. Laki-laki dengan kecamata minus, sungguh elok kelihatannya, tapi mengesankan agak angkuh.
“Silahkan Om, Tante masuk,” Nelma mencium tangan kedua tamu tersebut ... “Ayah dan Ibu sudah menunggu di dalam.”
Dengan ramah Nelma mempersilahkan tamunya masuk. Kepada pemuda berparas elok Nelma hanya mengangguk kecil.
“Eh, gadis manis ini pasti Nelma ya”? Sambil mengikuti Nelma ke dalam, Bu Dirga bertanya.
“Iya Tante, saya Nelma.”
“Danu, cepat ke sini!” Bu Dirga memanggil pemuda elok, untuk mendekat.
“Nelma, kenalkan ini anak Tante … Danu. Baru lulus kuliah tahun ini, dari fakultas tehnik sipil ITB.” Pemuda elok itu mengangguk sambil tersenyum samar kepada Nelma.
“Aku Nelma,” sambil menyodorkan tangannya kepada Danu. Kemudian mereka masuk ke ruang tamu.
“Pak Dirgaaa …!” Ayah menyalami dan memeluk Pak Dirga, seperti dua sahabat yang tidak ketemu bertahun-tahun. Begitu juga Ibu, berpelukan dengan Bu Dirga, seperti orang yang sudah tahunan tidak bertemu.
Ruang tamu jadi rame … riuh rendah suara tertawa Ayah, Pak Dirga, Bu Dirga dan Ibu. Sedangkan Nelma dan Danu saling membisu memperhatikan keriuhan mereka.
Hingga tiba saatnya makan siang, keriuhan ikut pindah ke meja makan. Sementara Nelma dan Danu, masing-masing asik dengan pikirannya … “ruang hati yang sepi,” keluh Nelma pada dirinya sendiri.
Beda dengan Danu, pemuda elok yang terkesan agak angkuh ini emang cuek bebek. Dia makan dengan lahapnya, semua makanan yang disajikan dia masukan ke perut. Selera makannya sungguh menakjubkan. Diam-diam Nelma memperhatikannya, sambil sesekali mencermati wajah eloknya itu.
“Laki-laki kok cantik kaya begini ya,” Nelma membatin … “parasnya elok dengan kulit yang halus, seperti perawan yang sering ke salon. Beda banget sama kulit gue, dia itu cowok apa cewek sih sebenarnya?” Nelma sibuk dengan pikirannya tentang Danu.
“Kamu, nggak makan Nelma?” Tiba-tiba suara itu mengagetkan lamunan, ternyata Danu yang bertanya.
“Eh …ah … nggak … makan kok,” Nelma menjawab gugup, kehilangan konsentrasi … lamunannya buyar, “hah! Kok suaranya halus banget … bener-bener tidak seperti suara cowok,” Nelma membatin.
“Kamu, masih kuliah Nelma?”
“Iya, baru semester enam di fakultas komunikasi UI,” Nelma menjelaskan … “Kang Danu sudah kerja?” Nelma balik nanya.
“Baru saja, tiga bulan yang lalu. Aku bekerja di salon kecantikan, sebagai konsultan.”
Uhuk … uhuk! Nelma mendadak tersedak, kaya kemasukan ceker ayam di tenggorokannya. “Duuhhh, ternyata … emang pemuda elok ini pemain salon. Katanya kuliahnya tehnik sipil ITB, kok malah jadi tukang salon? Ajaib sungguh," pikir Nelma terheran-heran.
“Kenapa Nelma? Aneh ya, aku kerja di salon? Sekolah itu tidak berbanding lurus dengan pekerjaan Nelma, tetapi lebih berbanding lurus dengan bakat dan minat. Dari kecil memang aku lebih suka berdandan kaya perempuan. Aku juga suka belajar segala hal tentang perawatan kecantikan. Nah soal sekolah itu, menurut ayahku biar aku jadi laki-laki macho, maka kuliah di tehnik sipil ITB. Kalau aku mengikuti minatku, sejak lulus SMA aku pengennya sekolah kecantikan saja. Toh akhirnya dunia kerjaku tetap di salon, sekalipun aku hanya memilih jadi konsultan kecantikan.” Danu menjelaskan panjang lebar tentang dirinya.
Mengetahui persoalan Danu yang sebenarnya Nelma kaget bukan main, tetapi sekaligus senang karena merasa punya teman curhat yang mungkin lebih paham dirinya.
“Jadi aku nggak perlu takut dijodohin sama Danu, karena aku yakin dia juga tidak akan menerima aku sebagai calon istrinya. Lebih baik aku bersahabat saja dengan dia, punya teman main dan curhat yang asik, nantinya,” Nelma membayangkan jadi sahabatnya Danu, sambil senyum-senyum.
“Eh, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” Danu bertanya dengan wajah yang terheran-heran.
“Nggak! Ayo Kang Danu main ke kamar belajarku,” ajak Nelma sambil meraih tangan Danu dan menariknya masuk ke ruang belajar. Nelma punya ruang belajar yang nyaman, terpisah dari kamar tidurnya.
Ruangan berukuran 4 x 6 m ini dilengkapi dengan AC, rak buku, meja belajar yang cukup besar. Ada satu unit computer PC, ada sebuah laptop, ada screen lebar di pojok ruangan, ada sebuah infokus di meja kecil dan speacker kecil di bawah meja belajarnya.
“Wow! Keren banget ruang belajarmu Nelma … aku bisa betah nih main di kamarmu.”
“Main aja ke sini Kang Danu, kapan saja kamu mau,” kata Nelma dengan senyum yang lebih manis dari sebelumnya.
“Nelma, ternyata kamu manis dan baik ya. Nggak seperti yang dibilang teman-teman ibuku, katanya kamu itu jutek dan judes abis … ternyata sama aku manis tuh,” hahahahahaha, Nelma dan Danu tertawa riuh.
Rupanya hari ini adalah ‘Party Mencari Jodoh’ untuk Nelma yang terakhir.
Setelah makan siang keluarga Pak Dirga dan kedua orang tua Nelma, sepakat untuk memberikan waktu kepada Danu dan Nelma agar saling mengenal lebih jauh, sebelum keputusan menjodohkan mereka disepakati.
Nelma dan Danu juga menerima keputusan kedua orang tua mereka, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Mereka sudah sepakat akan menjadi sahabat, untuk berbagi curhat. Baik Danu maupun Nelma, sudah memiliki kekasih masing-masing dari jenisnya, dan itu tidak diketahui oleh siapa pun.
Bahkan lelaki yang dikasihi Danu, tidak mengetahui bahwa betapa cintanya Danu kepada dia. Demikian pun seorang gadis manis, berambut ikal dan berlesung pipit, tidak tahu betapa cinta Nelma sangat mendalam kepadanya.
Apa pun adanya, cinta adalah anugerah. Pantas untuk disyukuri dan dinikmati. Nelma dan Danu adalah para pecinta, yang tidak memikirkan, apakah harus memiliki orang yang mereka cintai? Cinta bagi mereka, adalah rasa cinta saja, bukan yang lain-lainnya.
Kini Danu dan Nelma sudah di usia senja, meraka masih bersahabat … tinggal satu rumah, bukan sebagai suami istri, tetapi sebagai orang yang saling mencintai.
CitraRaya, 20 Agustus 2015
DI ANTARA TIGA LELAKI
Kini dia berjalan dalam kesendiriannya lagi, setelah satu demi satu dari tiga lelaki itu pergi, menuju jalannya sendiri-sendiri.
Siksaan dari seluruh cobaan, baginya hanyalah jutaan hikmah-Nya, yang terus dicari dengan kesabaran dan keikhlasan … di ujung semua peristiwa sedih ada kebahagiaan.
Begitu keyakinan hatinya yang tidak pernah bisa ditawar.
***
Hari Minggu yang cerah, hati Nelma bernyanyi bahagia. Saatnya membersihkan kamar, ruang belajar dan bantu-bantu ibunya … memasak dan menyirami tanaman hias di kebun belakang.
“Hari bebas kampus nih, nggak perlu melihat perpustakaan yang garing … isinya buku semua. Nggak perlu melayani gangguan Ira, yang akhir-akhir ini sangat menggila … Si Otak Keriting yang suka nyebelin. Yang nggak enak … tidak bisa ketemu dua lelaki yang suka ngajak debat seru di bangku taman kampus.”
Nelma bergumam, sambil asik mencongkel tanah di pot-pot bunga hias, untuk kemudian digantinya dengan tanah baru yang sudah dicampur dengan pupuk.
Sepuluh pot bunga hias ibunya … tanaman dari beberapa jenis kaktus yang bentuknya kecil-kecil, dan lucu-lucu, tumbuh sehat dalam perawatan tangan Nelma yang dingin dan cekatan. Dan ibunya sangat bangga dengan hasil kerjanya itu.
Selepas mengerjakan semua agenda hari libur minggunya, Nelma baru mandi. Kali ini dia dipaksa mandi kilat oleh ibunya, karena ayah dan ibunya udah menunggu untuk sarapan bersama. Biasanya dia mandi paling cepat menghabiskan waktu 30 menit, baru keluar dari kamar mandi. Kebiasaan Nelma sedari kecil, berlama-lama di kamar mandi.
“Nelma, cepat mandinya ya. Ayah dan Ibu nunggu kamu untuk sarapan. Ibu sudah buatkan nasi goreng dan telur mata sapi setengah mateng, kesukaan kamu.” Begitu ibunya meminta Nelma untuk bergegas mandi.
“Siap Bu!” jawabnya sambil meraih handuk di jemuran lalu bergegas masuk kamar mandi.
“Hmmm … harum dan segar banget gadis Ibu,” ibunya menggoda, ketika Nelma yang sudah rapi menghampiri kedua orangtuanya di meja makan.
“Terima kasih Ibu,” Nelma meresponnya dengan senang.
“Nelma hari ini tidak ada acara ke mana-mana? Atau kamu mau ikut Ayah dan Ibu, untuk ikut arisan keluarga di Depok? Tanya ibunya di sela-sela sarapan mereka.
“Nggak ah Bu, aku di rumah saja, lagian bosan setiap hari ke Depok,” jawab Nelma dengan senyum lebar.
Dia merasa lucu saja kalau hari Minggu pun harus pergi ke Depok. Padahal setiap hari, selama satu minggu bolak-balik ke depok … untuk kuliah.
***
Sepeninggalan ayah dan ibunya, Nelma duduk di ruang belajarnya. Menyalakan computer, lalu menghidupkan jaringan wifinya. Iseng-iseng dia mengaktikan akun facebooknya. Kalau pada hari-hari kuliah dia jarang banget online, karena waktunya padat untuk belajar. Jaringan internet hanya digunakan untuk searching materi kuliah atau tugas kampus.
Selang beberapa menit saja online, teman-temannya sudah menyerbu inbox.
Klung!
“Hai cinta, apa kabarmu sayang?” Bang Attaillah menyapa, sok mesra seperti biasa.
“Kabar baik, Abang tumben ol, biasanya anti jejaring social,” jawab Nelma.
Mengingatkan, Bang Attaillah tentang statement kerasnya soal facebook, dalam sebuah tulisannya di media kampus. Attaillah mengatakan bahwa “Facebook sebagai akar persoalan, maraknya perkosaan dan penculikan terhadap gadis-gadis ABG.”
“Ah … ini karena aku rindu kamu Nel, makanya aku bela-belain menepiskan idiologiku hahaha,” Bang Atta ngeles …”cinta itu aneh ya Nel, bisa mengalahkan akal sehatku … termasuk kemurkaanku kepada facebook bisa lumer, hanya gara-gara merindukan kamu.” Bang Atta melanjutkan gombalannya.
“Huh! Gombalmu mulai deh,” sergah Nelma.
“Aku serius Nelma, nggak pernah merasakan kalau aku jatuh cinta sama kamu?” Bang Atta mengatakannya agak serius.
“Abang bicara cintanya jangan di inbox ya, ntar rasanya menguap di dunia maya. Akhirnya hanya jadi cinta-cintaan doang dah,” Nelma menggoda, agar bisa ngelak, untuk tidak meneruskan pembicaraan cinta Bang Attaillah. Sejujurnya omongan Attaillah membuat dia jengah.
Attaillah salah seorang dari tiga lelaki yang saat ini sedang pedekate kepada Nelma. Lelaki tinggi besar dan berkulit gelap ini berasal dari Aceh. Dia mantan pemain atlit anggar nasional, yang saat ini masih kuliah pada semester akhir, satu fakultas dengan Nelma … fakultas komunikasi.
Perkenalan mereka terjadi ketika OSPEK, waktu Nelma masuk kuliah di kampus ini. Attaillah sebagai panitia yang super tengil, sempat membuat Nelma murka, waktu itu.
Untuk ukuran fisik, tidak ada yang kurang dari Attaillah. Atletis, ganteng dan cerdas. Dia juga merupakan anggota BEM, tokoh mahasiswa yang dikelilingi gadis-gadis kampus. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia sering nguntit Nelma ke perpustakaan atau ketika baca buku di taman kampus.
“Abang, kenapa sih sering banget ngikutin aku? Emang nggak ada kegiatan lain ya?” suatu ketika Nelma menanyakan ini kepada Attaillah.
“Emang ada aturannya, yang melarang aku ngikutin kamu?” Attaillah balik bertanya.
“Dihhh … Abang, ditanya itu jawab, bukan nanya balik … “dasar mahluk aneh.” Tukas Nelma, cemberut.
“Kamu bikin aku penasaran Nelma. Kalau perempuan lain nyari perhatian biar aku deketin, tapi kamu malah cuek. Eh, pake Tanya-tanya lagi ketika aku deketin, bukannya seneng.” Begitu Attaillah menyampaikan alasan irasionalnya, kepada Nelma.
Klung!
“Nelma, kamu masih di situ?” Attaillah tiba-tiba membuyarkan kenangan
“Iya Bang, maaf agak ngantuk,” jawab Nelma sekenanya.
“Oke deh, sampai ketemu besok di taman kampus ya sayang … selamat bobo siang,” klik, nyala inbox mati tanpa menunggu jawaban.
“Hmm … ini yang aku suka dari Attaillah, tidak pernah memaksakan kehendak.”
Nelma mematikan computer, kemudian terlelap dalam tidur siangnya.
***
Pukul 10.00 wib, Nelma sedang asik membaca buku Psikologi Sosial di taman kampus, ketika seorang lelaki mengendap-endap mendekatinya. Seorang pemuda tampan, berkulit bersih, rambutnya keriting agak pirang, hidungnya tidak begitu mancung, tapi menyejukan dipandang mata. Dialah Nuzul Al-Karim, peranakan Jawa Timur – Malayasia … ibunya orang Pandaan, bapaknya orang Penang Malayasia. Dia kuliah di fakultas ilmu social dan politik (FISIPOL), semester VII.
Mereka kenalan pada acara seminar, yang bertajuk ‘Kesadaran Politik Masyarakat Kampus,’ yang di selenggarakan sekolah menjelang Pemilu. Konon Nuzul jatuh kagum kepada Nelma, karena berani, bertanya dan berdebat di forum seminar, yang mayoritas pesertanya laki-laki.
Yang menyenangkan dari Nuzul bagi Nelma, suaranya merdu, pintar nyanyi ‘Yesterday’ atau ‘Hi Jude’ Bettle punya … group band kesayangannya sama. Pengetahuan politik dan sosialnya banyak, menyenangkan kalau diskusi dengan Cak Nuzul … begitu Nelma memanggilnya. Selalu mendapatkan pengetahuan baru tentang poitik dan social yang sedang berkembang dalam masyarakat.
“Hai sayang, selamat pagi,” begitu sapa Nuzul kepada Nelma, dengan suaranya yang lembut dan merdu.
“Hai Cak Nuzul, assalamualaikum, kuliah pagi juga?”
“Waalaikumsallam Nelma, iya kuliah dari pukul 8 tadi pagi. Kok masih di taman, belum mulai kelasnya?”
“Aku kuliah pukul 11 nanti Cak, masih satu jam … ngangin dulu hehehe,” jawab Nelma cengengesan.
“Masih ada kuliah Cak? Kok masih muterin kampus, bukannya pulang,” usil Nelma kumat.
“Aku masih ada rapat BEM nanti pukul 11, biasanya sampe sore baru kelar. Sesekali kamu ikut rapat sama kita Nel.” Ajak Nuzul.
“Lha aku bukan anggota BEM, emang boleh ikutan rapat? Suka ngawur aja Cak!” protes Nelma
“Boleh, sama aku … siapa yang berani melarang? Kan tinggal dikenalin pada yang lain, bahwa kamu pacar aku … hahahaha.” Nuzul menjawab sambil ngakak.
Tidak urung bikin hati Nelma dag dig dug, nggak jelas juntrungannya ....
“Duh, dasar bonek kalau ngomong asal nyablak,” celoteh hati Nelma.
“Rapat apaan sih Cak? Kelihatannya serius banget, masa sih sampe sore begitu?”
“Persiapan aksi tolak kenaikan BBM Nel, makanya ikut yuuk … mewakili rakyat Indonesia, Non!”
“Rakyat sudah diwakili DPR Cak, untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan masyarakat. Ngapain kita masih harus repot, demo segala? Kan anggota dewan sudah kita kasih mandat melalui pemilu … bukannya begitu Cak?” tukas Nelma sok tahu.
“Ah, kamu jangan terlalu lugu Nel, nggak ada DPR yang peduli sama nasib rakyat. Kamu nggak perhatikan, sudah berapa kali saja BBM naik? Tarif dasar listrik (TDL) juga naik. Ujung-ujungnya kenaikan sembako tidak bisa dihindari. Bukankah yang paling disusahkan rakyat mayoritas, Nelma?” jawab Nuzul, dengan mada gusar.
“Iya juga ya Cak. Lalu apa masalahnya pemerintah tidak bisa mengontrol harga sembako? Boleh saja dong BBM naik, kalau acuannya harga minyak dunia, tapi mustinya tidak berbanding lurus dengan harga sembako?” Tanya Nelma dengan nada protes.
“Nelma, kamu ini lagi nanya apa lagi nge-tes aku hei?” selidik Nuzul … “terang saja sembako naik, bahkan tidak mungkin dihindari kenaikannya. Dengan BBM naik ongkos produksi barang naik, karena semua mesin alat produksi pake BBM. Selain ongkos produksi yang naik, distribusi juga biayanya naik, karena transportasi mengalami kenaikan juga. Sementara upah kerja naiknya nggak seimbang, sehingga daya beli masyarakat menjadi lemah. Nah itu yang berasa mahal dan nyekik leher orang miskin. Pahamkah Tuan Putriku, Nelma?” jawan Nuzul yang membuat Nelma menyimak, tidak berkedip.
“Cak Nuzul, thanks ya pencerahannya, aku mau masuk kelas dulu,” Nelma pamit sambil ngeloyor pergi. Tidak menggubris Nuzul yang berteriak-teriak memanggil namanya.
“Duhh Nelma, belum sempat aku menyampaikan sesuatu yang penting kepadamu, udah kabur aja … dasar cewek aneh, bikin aku tambah penasaran aja.” Nuzul ngekrundel, sambil garukin kepala, nggak gatel.
***
Sore Sabtu di Mall Ciputra Citraland, Nelma sedang menggu seseorang di sebuah kedai roti yang bisa dijadikan tempat ngobrol. Waktu menunjukan pukul 16.00 wib, ketika orang yang ditunggu Nelma datang.
Kali ini seorang lelaki yang sangat ganteng kalau pake blangkon. Mas Yatno, lelaki yang halus tutur sapanya, sopan dan santun prilakunya. Dialah lelaki berasal dari Solo, yang banyak mengajari Nelma bagaimana menjalani hidup dengan prihatin dan toleran kepada sesama.
Dia berjuang dengan sangat keras untuk dapat hidup di Jakarta, mulai dari menjadi tukang bakso keliling, ikut ujian paket C, hingga kini bisa bekerja sebagai PNS di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dan sering tugas keliling, ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Hampir dua tahun yang lalu, mereka berkenalan di KRL Bogor – Tanabang, ketika suatu hari Yatno yang dalam perjalanan pulang dari Bogor, harus memberikan tempat duduknya kepada Nelma yang naik dari statsiun UI.
Setelah KRL agak longgar, akhirnya mereka duduk berdampingan. Sebelum Yatno turun di statsiun Tebet, dalam perjalanan itu mereka saling mengenalkan nama, berbagi nomor handpon dan ngobrol-ngobrol ringan. Akhirnya sering bertemu, bahkan beberapakali Yatno berkunjung ke rumah Nelma dan berkenalan dengan kedua orangtuanya.
“Selamat sore Nelma, sudah lama?” Mas Yatno menyapa, begitu sampai di meja tempat Nelma menunggunya.
“Sore Mas, belum terlalu lama kok, baru beberapa menit saja. Apa kabarmu?” Nelma berusaha untuk mengimbangi keramahan tamunya.
“Kabar saya baik, senang bisa melihat kamu lagi Nelma, setelah beberapa bulan saya pergi dari Jakarta. Bagaimana kuliahmu?”
Itu khas Mas Yatno banget, ramah dan telaten. Merasa nyaman berada disampingnya. Lebih sering merasa sebagai adiknya daripada sebagai teman perempuannya. Karena lelaki ini menjaga banget, tangannya tidak pernah usil, begitu juga perkataannya, selalu menunjukan rasa hormatnya kepada Nelma. Bagi Mas Yatno, memberi contoh yang baik itu seperti sebuah keharusan, dalam hidupnya.
“Kuliahku biasa saja Mas, baru selesai ujian semester VI, bulan depan aku sudah akan KKN. Rencananya kami akan KKN di pedalaman daerah Ciamis Jawa Barat. Di desa Panjalu namanya.” Nelma menjelaskan panjang lebar.
“Wah pasti menyenangkan itu Nelma. Berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan dengan segala persoalannya, sungguh suasana yang sangat tenang. Orang desa biasanya ramah-ramah, hidup sederhana, rukun, saling membantu tanpa pamrih. Kamu bisa membantu apa saja yang kamu bisa untuk mereka. Mengajari anak-anak membaca dan menulis, membacakan dongeng atau buku cerita untuk mereka. Selain membantu para orangtua menemukan penyelesaian masalah yang dihadapinya. Sebisa kamu. Selebihnya kamu akan banyak belajar dari mereka.”
Demikian panjang lebar Mas Yatno menjelaskan, Nelma mendengarkannya dengan takzim.
“Iya Mas, terima kasih pencerahannya, aku jadi merasa semakin siap untuk mengikuti KKN,” jawab Nelma dengan senyum manisnya.
Sejenak keadaan menjadi hening, Nelma dan Yatno sama-sama diam, seperti asik dengan pikirannya masing-masing. Hanya denting suara sendok beradu dengan cangkir, yang tengah digunakan untuk mengaduk-aduk teh panas, oleh Nelma.
“Nelma, boleh aku mengatakan sesuatu kepada kamu?” Mas Yatno bertanya sangat hati-hati.
“Boleh dong Mas, soal apa sih? Nampaknya serius banget,” Nelma mencoba menduga
“Kalau kamu anggap pertemuan kita sore ini penting, ya ini memang soal serius tentang hubungan kita.”
Beg! Ada yang terasa nonjok dalam dada Nelma, dia sibuk menduga-duga ke arah mana omongan Yatno kali ini. Apakah dia masih bisa ngeles seperti biasanya? Atau kali ini dia harus berterus terang dan jujur, sebagaimana adanya.
Hubungan mereka sudah masuk tahun ke dua. Beberapa kali Yatno mengajak Nelma bicara serius soal hubungannya, selalu tidak pernah selesai, karena Nelma selalu mengelak. Sejujurnya Nelma sangat menyayangi, mengagumi dan menghormati Yatno. Dia sering berpikir, jika suatu saat dia harus bersuami, maka lelaki yang seperti Yatno-lah yang dia inginkan jadi suaminya.
Hubungan mereka juga sudah dibahas selesai, dalam keluarga Nelma. Ibu dan ayahnya juga menyayangi Yatno, dan mereka menerimanya seperti layaknya anak. Satu hal yang menghalanginya, bahwa mereka berbeda agama. Yatno penganut nasrani yang sangat taat, keluarga Nelma juga penganut Islam yang taat. Mereka saling menghormati keyakinannya masing-masing.
Nelma dan keluarganya tidak mau meminta Yatno memeluk Islam, kalau hanya untuk keperluan pernikahan saja. Memeluk agama itu soal pilhan dan keputusan pribadi, ini soal keyakinan yang tidak bisa dipaksaakan. Dan Nelma, dengan kesadaran penuh dia memilih dan meyakini Islam sebagai agamanya, yang akan dia peluk sampai Allah memanggil untuk menghadap-Nya. Begitu keyakinan Nelma.
“Maksud Mas Yatno?” Nelma ingin penjelasan, untuk meyakinkan dugaannya.
“Nelma tahukan usiaku sudah tidak muda lagi … 36 tahun. Ibu di kampung sudah bulak-balik menanyakan. Soal kapan aku mau nikah? Aku nggak mungkin memberi jawaban, sebelum membicarakan hal ini dengan kamu. Karena perempuan yang aku cintai dan ingin kujadikan istri, adalah kamu. Jadi bagaimana selanjutnya hubungan kita Nel?”
Yatno menunggu jawaban, dengan wajahnya yang tegang, harap-harap cemas.
Nelma diam tafakur, sebelum memberi jawaban. Dia merasa sulit untuk memilih hata-kata yang tepat. Dia tidak ingin menyakiti hati Yatno yang sangat dikasihi dan dihormatinya. Dia tidak ingin kehilangan cinta Yatno, lantaran dia menyakiti hatinya.
“Mas, aku maklum dengan keadaanmu. Kamu juga tahu, betapa aku mengasihi, menyayangi dan menghormatimu. Dan jika aku diminta memilih, siapa yang ingin aku jadikan suami? Ya kamulah orangnya. Mas, aku yakin dan tidak akan pernah ragu dengan pilihanku. Tetapi Mas, kita berbeda … perbedaan itu sangat prinsip bagi aku, juga bagi kamu. Aku tidak mau kamu berpindah keyakinan karena aku, dan kamu juga pernah mengatakan hal yang sama kepadaku. Sampai hari ini kita masih kukuh pada pendirian seperti itu. Dan pernikahan berbeda keyakinan bukan pilihanku Mas, jadi maafkan aku.”
Mendengar jawaban Nelma yang lugas, Yatno tertunduk, matanya berkaca-kaca. Menahan kepedihan yang berkecamuk dalam batinnya. Demikian pun dengan Nelma, dia bukan hanya berkaca-kaca … merembak dan terisak, menahan tangis yang hampir meledak. Mereka saling menggenggam tangan dengan erat, seperti tidak ingin dilepaskan selamanya.
“Mas Yatno, selama aku mengasihimu, selama itu juga kamu menjadi kekasihku. Bagiku kasih sayang itu tidak bisa dibatasi oleh sebuah pernikahan. Selama kau membutuhkan, selama kau menginginkan, aku akan menjadi orang terkasihmu. Jika pernikahan yang kamu butuhkan, maka tidak bisa dilakukan bersamaku. Maafkan aku.”
Nelma sesenggukan dalam pelukan Yatno. Sementara butiran-butiran bening berjatuhan dari kedua kelopak mata Yatno, menderas membasahi rambut Nelma yang dipeluknya erat. Adegan itu cukup lama, berlangsung dalam sambaran tatapan mata sejumlah pengunjung kedai.
Akhirnya menyadarkan Yatno, kemudian melepaskan pelukan Nelma. Menyodorkan saputangannya untuk mengeringkan air mata Nelma yang membasahi kedua pipinya.
“Baiklah Nelma, kalau seperti itu keadaannya. Kita tidak akan mengahiri hubungan kita, meskipun nanti aku harus menikah dengan perempuan lain. Dan suatu saat kamu pun akan menikah dengan laki-laki lain. Cinta kita akan tetap menjadi cinta sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan. Kecuali dalam ikatan rasa saling menghormati dan menyayangi satu sama lain.”
Mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya, lalu berpisah … berjalan pada arah yang dipilihnya masing-masing. Disambut langit merah jingga, pada senja di Jakarta Barat, dalam kepadatan lalu lintas jalan, di depan Mall Ciputra Cirtaland.
***
Dua bulan setelah pertemuan sore itu, dikabarkan bahwa Yatno telah menikahi perempuan pilihan ibunya di Solo.
Nelma hanya bisa berdoa dengan penuh haru, tanpa bisa menghadirinya. Karena Yatno sendiri tidak mengundangnya untuk datang.
Bagi mereka, saling mencintai dan menyayangi, artinya membiarkan satu sama lain dengan pilihan yang membuat keduanya bisa hidup nyaman dan merdeka.
CitraRaya, 24 Agustus 2015
LAYANG-LAYANG PENAKLUK TIRANI
"Kek buatkan layang-layang!"
Pintaku pada kakek, ketika kakek sedang asik meraut potongan-potongan bambu untuk dijadikan layang-layang kakak dan adik lelakiku.
"Huss ...! Ngapain anak perempuan main layang-layang? Nggak boleh, pamali!"
Begitu jawab kakek untuk menolak. Aku diam termangu, tidak mengerti. Dalam hati bertanya-tanya, apa ya pamali itu? Rasanya sering banget kakek mengatakannya. Terutama kalau diminta membuatkan mainan yang sama dengan kakak dan adik lelaki. Waktu diminta membuatkan gagang pancing, juga jawabannya-pamali. Tentang pamali, sangat mengganggu pikiranku setiap hari.
***
Dok! dok! dok!
Kupotong-potong bambu, menggunakan golok, seperti yang dilakukan kakek. Potongan bambu diraut, biar halus, pake pisau tajam. Layang-layang ini harus cepat selesai sebelum kakek datang dari sawah. Kalau kakek melihat pasti dia akan mengatakan 'pamali' lagi padaku. Huh! apaan sih pamali? Tidak masuk akal amat, dilarang main layang-layang karena pamali.
Crek! crek! crek!
Kupotong kertas minyak, warna warni. Dengan getah anak pohon kiray (enau), ujung-ujungnya kurekatkan. Dipasang pada kerangka layang-layang dengan cepat. Lalu kupasang benang pada rangka tulang layang-layang. Kerangkanya ditimbang dengan telunjuk, untuk memastikan bahwa layang-layang bersayap seimbang ... kanan dan kirinya.
"Wah,layang-layang selesai!" Tidak sadar, aku memekik bahagia.
Bug! bug! bug!
Aku berlari di pematang sawah dengan menenteng layang-layang, dan gulungan benang cap kudamas. Dengan berdebar-debar aku bentangkan menuju arah angin.
"Hup ... horeeeee!!" Aku berteriak kecang meluapkan kebahagiaan ... "layang-layangku terbang!"
Hahahahaha. Aku tertawa, terbahak sendiri, seakan ingin memecahkan angkasa raya.
Kakek yang saat itu sedang memotong rumput, setengah melompat memburuku ….
"Hai ... kembalikan layang-layang itu!!" Serunya setengah membentak, bikin aku kaget.
"Tidak mau! ini layang-layangku!!"
Sepontan, aku lari menghindar. Kakek mengejar … aku lari semakin cepat, sambil membawa layang-layang. Berusaha sejauh mungkin terhindar dari jangkauan kekek.
Setelah lelah main layang-layang, aku pulang ... jalan mengendap-endap, lewat belakang rumah. Agar bisa masuk ke dalam lumbung padi. Di sana kusembunyikan layang-layang. Lalu diam-diam aku masuk rumah melalui pintu dapur.
Srettt! awwwww! Aku berteriak keras.
Tiba-tiba kupingku dijewer dari belakang dan rasanya pedes, wah ini pasti tangan ibu. Aku tidak berani menoleh. Dan benar saja, seperti biasa selain menjewer kuping, ibu juga mendamprat habis-habisan, dengan kata-katanya yang lebih pedes daripada jewerannya. Di ujung bale-bale dapur aku melihat kakek dengan senyum jahatnya.
"Hmmm ini dia biang keladinya," gumamku dalam hati.
"Ke sini, serahkan layang-layangnya!" bentak kakek.
"Gak ada!" Jawabku tidak kalah kerasnya.
Jetet! jetet! jetet! Tiga cubitan, pedih mendarat di paha.
"Awww!!" jeritku sambil meronta.
Lalu, kabur berlari ke luar ... terus berlari melewati pematang sawah, dan kebun pisang di ujung kampung. Akhirnya sampai di tepi sungai. Aku segera lompat ke atas batu besar di pinggir sungai, dan tiduran tengkurep, sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal, karena berlari tanpa henti, dari rumah. Sambil berbaring di atas batu, aku bertanya dalam hati ....
"Apa yang salah dengan membuat layang-layang, lalu menerbangkannya? Apa karena 'pamali' maka, aku mengalami jeweran dan cubitan ibu hari ini?"
Saat itu aku tidak merasa sedih sedkitpun. Tapi aku pikir, harus menjelaskannya pada Ibu dan Abah, perihal layang-layang itu. Kapan ya? abah jarang di rumah. Dia selalu bepergian ke luar kota. Konon kata orang, abah itu tokoh pemuda di daerah tempat kami tinggal. Di salah satu kabupaten, bagian dari Propinsi Jawa Barat ... tepatnya di kampung Parakanpolos, Kabupaten Pandeglang.
***
Sore-sore, udara cerah. Abah sudah pulang, sekarang sedang duduk-duduk, di amben depan rumah kami. Menemani aku belajar nulis, pake kapur putih di papan tulis yang berwarna hitam. Selain menulis angka dan huruf-huruf aku juga suka membuat gambar. Gambar layang-layang hahaha, dasar otak layang-layang.
"Gambar apa itu teh?"
Tanya abahku dengan menggunakan panggilan teteh, untuk membahasakan adik-adikku.
"Itu layang-layang Bah, aku membuatnya sendiri.”
"Emang Teteh bisa?" tanya Abah.
"Bisa Bah, waktu itu aku membuatnya, bagus loh dan bisa terbang. Tapi dimarahi kakek dan diomelin serta dicubit ibu," ... "emang anak perempuan tidak boleh main layang-layang Bah?" Tanyaku tiba-tiba.
"Emang Teteh suka main layang-layang?" Abah bukannya menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya.
"Iya aku suka Bah, suka sekali" Abah hanya memandangi saja ketika aku jawab begitu."Kata kakek kalau perempuan main layangan itu pamali. Pamali, apa sih Bah?"
Setelah berpikir sejenak abahku menjelaskan ….
"Menurut abah tidak apa-apa sih Teteh, sesekali main layang-layang, tapi setelah terlebih dahulu membantu pekerjaan Ibu di rumah. Nyuci piring, nyapu, nyuci baju adik-adik, baru main.”
"Hah! … bener boleh Bah?" aku melompat kegirangan.
"Boleh, tapi ingat tidak boleh sering-sering, karena kamu anak perempuan harusnya lebih banyak bantu Ibu di dapur.”
"Iya Bah, tidak apa-apa, yang penting bisa main layang-layang,” aku lompat-lompat kegirangan.
"Aku boleh main layang-layang ya, Bu?" Tanyaku pada Ibu.
"Terus … kalau Ibu jawab tidak boleh, kamu bakal nurut?" Ibuku balik bertanya, hehehe aku nyengir.
"Mubazir ngelarang kamu, nggak ada pengaruhnya.”
Ibu menggerutu sambil mendelik kepada Abah. Sedangkan aku sudah berlari kabur, membawa layang-layang, untuk menantang angin di pematang sawah.
Ooooh indahnya mengenang keberhasilan menaklukan tantangan di dunia kecilku. Untuk pertama kalinya, pada saat usiaku 6 tahun.
Betapa badungnya aku, melawan tirani ‘pamali’ kakek, dengan layang-layang. Dan itu kemenangan yang membekas sangat kuat dalam jiwa, membuat aku selalu ingin membuktikan diri, pada setiap menghadapi tantangan hidup ... hingga saat ini.
CitraRaya, 16 Januari 2015
Mengenang Sekelumit Pengalaman Dunia Kecilku
PERSONALITY #3
Ini cerita tentang hari Senin yang bikin males, kata orang-orang kantoran. Pasalnya setelah dua hari libur, malah jadi males kerja … pengen libur terus. Hahahaha—kelakuan.
Lain dengan yang aku rasakan, ketika jadi orang kerja—Senin justru hari yang sangat mengasikan, karena bisa bincang-bincang asik dengan boss besar, yang biasanya duduk di singgasananya, dengan malas-malasan.
Sakata Sang, begitu aku memanggilnya. Dia berkebangsaan Jepang, usianya kira-kira 45 tahunan. Orangnya saklek mendekati kaku, bahasa parasnya. Walaupun manis, tapi kurang asik untuk menyegarkan mata … dingiinnn.
***
“Ririsu, boleh mingta kohi?”
Tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku. Lidah Jepangnya tidak biasa melafalkan huruf konsonan, jadi bunyi panggilannya Ririsu. Hahaha … lucu. Seperti biasa minta dibuatkan kopi, pagi. Dia suka dengan kopi buatanku, kata dia gulanya pas … tidak terlalu manis.
“Siap, Sang!” Jawabku, sambil menyilangkan telapak tangan di dahi tanda hormat. Biasanya dia akan tertawa lebar, melihat tingkah anehku.
“Sang, malam minggu banyak minum anggurkah?” aku membuka percakapan, sambil meletakan kopi di hadapannya.
“Tidak yaa, cumang empatu botor saja.” Jawabnya sambil cengengesan.
“Empat botol? Wow … banyak itu Sang, anda pasti mabuk berat!” Godaku
“Mabuk, sedikitu, tidak apa-apa.” Dia ngeles.
Sebagai ekspatriat, jauh dari istri dan anak-anak, orang-orang Jepang yang bekerja satu perushaan dengan kami, biasa menghabiskan hari liburnya dengan minum-minum, main golf dan cari kesenangan lainnya.
Lama-lama aku bisa nandain mereka … kalau liburannya diisi dengan mabuk-mabukan, dan senang-senang dengan perempuan penghibur, tampangnya loyo dan males-malesan. Tetapi kalau hari libur main golf atau menyelam, kulitnya nampak coklat tetapi kelihatan segar dan gesit, bekerjanya. Tapi kami lebih suka kalau dia loyo, dan malas-malasan. Bisa kerja santai.
***
“Ririsu, biru minum dame ya, kamisama marahkah?” (“Lilis tidak boleh minum bir ya, Tuhan kamu marah?”) Tiba-tiba Sakata Sang, nanya aku.
Sejurus aku berpikir, sebelum menjawab pertanyaannya. Tidak mungkin juga dijawab dengan bahasa dan alasan agama, dia tidak mengenal ajaran Islam. Sakata Sang, penganut agama Sinto. Selain itu menurutku tidak pada tempatnya menjawab pake alasan ajaran agama, dalam hal ini.
“Tuhanku tidak marah, Sang. DIA sangat tidak dirugikan apa-apa ketika orang minum bir. Tapi orang bisa saja rugi kalau meminumnya.”
Sampai di situ aku terdiam, memperhatikan air mukanya.
“Maksudu Ririsu apa? Benarkah DIA tidak marah?”
Tampangnya kelihatan penasaran, heran. Mungkin informasi yang selama ini dia terima, kalau orang Islam tidak mau diajak minum, karena dimarahi Tuhan-nya. Aku sendiri memahaminya tidak seperti itu.
“Sang, berapa banyak kandungan alcohol pada minuman yang diminum semalam?” tanyaku tiba-tiba.
“Mungking banyaku, Ririsu.” Dia menjawab tergagap … “watasi tidak ingak ya, semalang diantar Andar ke kamar.” Dia kelihatan bingung, menjawab pertanyaanku.
Andar, nama sopir perusahaan yang ditugaskan khusus mengantar Sakata, kapan saja, dan kemana saja dia perlu diantar.
“Sakata Sang pasti mabuk berat ya? Sampai Andar harus antar ke tempat tidur.” Sakata mengangguk malu-malu.
“Sang, itu alasannya kenapa Tuhan larang minum bir. Karena kalau aku minum, apalagi banyak-banyak—pasti mabuk dan lupa. Tidak tahu harus pergi ke mana, akan melakukan apa? Kita akan kehilangan akal sehat, ketika mabuk. Bisa pukul orang, bisa tabrak orang, bisa bunuh orang, dan bisa juga perkosa ona ya, hahaha.”
Dia nampak manggut-manggut, mendengarkan omonganku.
Karena dia terus diam, aku melanjutkan penjelasan tentang minuman menurut pemikiranku. Agar dia paham sikapku, selama ini.
“Sang, alcohol dalam kadar yang tinggi kalau dimasukan ke dalam tubuh, bisa merusak organ kita. Mungkin jantung, paru-paru, ginjal, hati, empedu dan sarap kita rusak. Ketika itu terjadi, apakah Sang tidak merasa susah?”
Mendengar kalimat terakhirku dia nampak kaget, dan berdiri mendekat.
“Ririsu, itu benar … di Japan orang banyaku meningal, jantung sakitu yaa. Orang Japan suka minum biru banyak-banyak.”
***
Banyak yang dia jelaskan tentang penyakit-penyakit yang timbul, menurutnya akibat mengkonsumsi alcohol terlalu banyak. Tapi ribet di kuping, karena bunyi kalimatnya banyak yang lucu, hahahaha.
“Alhamdulillah ....”
Batinku bersyukur, karena tidak harus menjelaskan susah payah. Membacakan ayat atau apa pun juga, yang belum tentu bisa diterima oleh Sakata.
Ternyata dengan menggunakan logika bodohku, dia bisa paham. Bahwa Tuhan melarang manusia minum bir bukan karena marah, tetapi karena sayang. Agar manusia tidak sakit jantung atau hilang akal, hahahaha. Begitu kira-kira kesimpul Sakata, di akhir obrolan kami.
***
“Ririsu, terima kasih … watasi pikir Islamu bagus ya, kasih pelajaran orang. Watasi senang kamu kasih tahu dengan baik.”
Sambil membungkuk berkali-kali, Sakata—boss besar menyalami dengan jabatan tangan sangat erat.
“Terima kasih Sakata Sang, kalau sudah paham.” Kataku, dengan senang hati.
“Terima kasih ya Allah, telah memberikan kefasihan lidahku saat itu. Jika tidak … bisa membayangkan apa jadinya, kalau harus berdebat dengan orang yang tidak fasih ngomong pake huruf konsonan.” Hahahahaha ….
“Sakata Sang, personality-mu tidak bermasalah, meskipun suka ngombe dengan lebaayy!”
CitraRaya, 22 Pebruari 2016.
Mengenang peristiwa tahun 1997 di sebuah pabrik perajutan, di mana aku pernah bekerja.
PERSONALITY #2
"Hai ... kau ada di rumah? Aku mau datang." Begitu pesan WA kukirim pada seseorang yang sudah lama tidak bertemu.
"Ke siniiii ... aku ada, dan senang menyambutmu, hahahaha." Pesanku dibalas dengan gempita ... "jangan lupa capingku dibawa sekalian ya," pesan bersambung.
"Yap! Aku bawa sekalian capingmu, biar cepat dapat bonus," hihihi ... senangnya.
Dengan semangat bonus hari Minggu, aku telusuri jalan yang menjaraki rumahnya dan rumahku. Meskipun belum pernah datang, tidak menjadi kawatir karena dia janji akan menjemput di antara deretan ruko itu.
***
Sudah satu jam lebih aku menunggu di antara deretan ruko. Di bawah sengatan matahari pukul 12:00. Pesan WA terkirim, tapi tidak dibaca, ditelepon nadanya masuk, tapi tidak diterima.
"Pak, apa tahu rumah Tong Bajul, temanku?" kutanya seseorang di dekat pedagang rujak serut.
"Di blok apa rumahnya, Mbak?"
"Wah ... saya tidak tahu, Pak. Dia tadi meminta saya menunggu di sini, sudah satu jam tapi tidak muncul-muncul." Jawabku, agak kesal.
"Susah Mbak kalau tidak tahu blok-nya, ini perumahan ... orang jarang saling mengenal." Jawab lelaki setengah baya itu.
"Telepon lagi aja, Mbak. Mungkin sekarang sudah ada orangnya." Sarannya.
"Terima kasih, Pak." Aku pergi meninggalkannya.
***
Tong Bajul, teman lamaku. Sudah lama sekali kami tidak saling jumpa. Dia seorang yang baik dan peduli terhadap sesama. Segala rupa kegiatan sosial di masyarakat dia ikuti. Baginya kebahagian adalah, ketika bisa membantu orang lain. Sayang ... dia suka berubah pikiran mendadak, dan ketika dia berubah bisa bikin urusan nggak beres. Seperti hari ini, yang dilakukannya padaku ....
Tik ... tik ... tik, kutelepon ulang Tong Bajul ....
"Hah! Telepon tidak aktif? Mati aku! Setelah menunggu hampir dua jam." Hampir kubanting HP
"Mengapa tidak dibatalkan selagi aku masih di rumah, kalau kau tidak siap bertemu denganku, Tong Bajul?" aku bertanya pada angin.
Sudah sekian puluh tahun tidak berjumpa, ternyata dia belum berubah. Suka membatalkan janji tanpa pemberitahuan, apalagi alasan. Baginya cukup dengan mematikan seluruh jaringan teleponnya, dan tidak peduli apa yang dialami korbannya. Bagi Tong Bajul meminta maaf dan berterima kasih itu bukan hal yang penting. Berubah pikiran kapan saja, seolah jadi hak mutlak baginya, dan orang lain tidak boleh keberatan. Penyakit macam apa yang menghinggapi dia bertahun-tahun, dan sudah seakut ini?
****
"Tong Bajul, kau sosok personality yang bermasalah!" Hahahaha.
CitraRaya, 21 Pebruari 2016
PERSONALITY #1
Menurut
Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) "Sifat dan tingkah
laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi
karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendiriran,
kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri
seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain."
***
"Eeee
... Elu kayanya punya masalah personality ya?" Dani dengan marah
menudingku.
"Maksud
Elu apa?" tanyaku, tak kalah berang.
"Mengapa
selalu gampang ngobral janji sih? Lalu seenaknya Lu ingkar juga, itu masalah
personality Elu!" Kemarahan Dani memuncak.
Aku
tertunduk diam. Sejujurnya kebohongan yang aku lakukan hanya untuk
menyembunyikan ketidakberdayaan saja. Sementara orang lain tahunya, bahwa aku
orang mampu. Anak kandung RD. Prawiro--pejabat bea cukai, dan Ny. Siska--Kepala
SMAN Favorit di kota pelajar ... Yogjakarta.
****
Dari
awal aku sudah terlanjur menyembunyikan identitas diri. Tidak mengatakan yang
sebenarnya, bahwa Bapak hanyalah seorang pensiunan Guru SD, sementara Ibu
seorang petani, yang sesekali bakulan sayur mayur di pasar desa. Aku hanya
terobsesi oleh kehidupan Putri Salju, yang aku baca dalam buku dongeng.
Sedari
SMP aku sudah terbiasa mencipatakan cerita yang dimelas-melaskan. Tujuannya
agar kawan-kawan terenyuh, lalu jatuh kasihan. Mendapatkan jajanan gratisan itu
menyenangkan, terkadang bisa dapat pinjaman uang yang cukup lumayan, untuk
nyiblek ... malam mingguan, hahaha. Bahkan hingga SMA kebiasaan yang mengasikan
ini selalu kuulang-ulang.
Selepas
SMA, aku mengenal dunia lebih luas, lebih bebas, dan lebih berpotensi untuk
mengarang cerita. mempengaruhi pikiran dan hati orang, dengan cerita indah,
cerita sedih, cerita horor, dan juga cerita romantis ... agak-agak mesum dikit,
dunia maya. Ya facebook ... ini abad facebooker.
Sudah
tidak terbilang jumlahnya korbanku, korban fisik, korban mental, korban jiwa,
bahkan korban harta. Semua bertekuk lulut, hanya dengan membaca cerita
karanganku. Mereka marah, menjerit histris, menangis meraung-raung. Bahkan
mencaci maki dengan dengki. Tetapi tidak satu pun yang mampu menyentuhku. Aku
di sini, dari kegelapan hatiku tersenyum puas, dengan jumawanya seorang ibis
... wahahahahahaha.
****
"Hai! ... ternyata kamu di sini toh? Aku sudah satu jam muter-muter nyari." Tiba-tiba Zulfikar mengagetkan.
"Hai! ... ternyata kamu di sini toh? Aku sudah satu jam muter-muter nyari." Tiba-tiba Zulfikar mengagetkan.
"Yaa
... eeh ... maaf, aku lupa pamit kamu tadi." Jawabku asal.
Dengan
sisa senyum yang sulit dipahami, aku beranjak menggamit tangan Zulfikar duren
beranak dua, pemilik dealer mobil terbesar di kota Samarinda.
Hari
ini sebuah mobil Grand Livina keluaran terbaru akan segera ada di tanganku,
dengan nama tercantum dalam BPKB "Putri Salju."
Aku
adalah sosok Personality yang bermasalah. Hahahahaha.
CitraRaya,
21 Pebruari 2016
Langganan:
Postingan (Atom)